Kitab Omong Kosong: Kisahnya Kisah-kisah

Kitab Omong Kosong (2001 sebagai cerita bersambung dan 2004 sebagai buku) adalah sebuah kisah tentang ribuan kisah. Menyebutnya kisah tidak biasa adalah meremehkan cerita ini. Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah Padangan kata untuk “storytelling” dalam bahasa Indonesia. Maka biarkan saya hiperbolik dalam paragraf pembuka ini. Karena memang hanya penulis pilihan yang mampu menuliskan cerita berisi banyak cerita.

Kitab Omong Kosong dibaca malam-malam

Kitab Omong Kosong adalah offshoot dari kisah Ramayana karya Valmiki. Kisah ini sudah cukup diakrabi di Indonesia (khususnya Jawa?) melalui kisah-kisah wayang kulit yang disampaikan para dalang, adaptasi oleh penulis Indonesia R. A. Kosasih, maupun melalui versi-versi sérial nya yang dulu pernah tayang di TPI. Selain itu, banyak juga karya-karya sastra modern yang mengambil inspirasi atau mengadaptasi sempalan-sempalan kisah Ramayana.

Di tangan Seno Gumira Ajidarma, kisah Ramayana menjadi titik tolak sebuah kisah yang berisi banyak cerita (saya belum sempat menghitungnya). KOK adalah kisah perjalanan Satya dan Maneka menelusuri Dunia pasca-apokaliptik di anak benua (Asia Selatan). Dalam perjalanannya itu, Satya dan Maneka bertemu dengan banyak karakter dengan banyak sekali cerita masing-masing. Entah sebanyak apa, tapi ang pasti, setiap karakter yang cukup berarti atau berarti bagi hidup para tokoh utama memiliki ceritanya sendiri (mulai dari penolong ketika tokoh utama kabur hingga sapi yang menarik pedati si tokoh utama).

Omong-omong tentang cerita, apokalipse di cerita ini pun sebenarnya adalah sebuah cerita tersendiri. Setelah ditaklukkan Rama dan pasukannya, Ravana berubah menjadi gelembung-gelembung yang menyebar ke segala penjuru dunia dan mempengaruhi semua orang, semacam menjadi benih kejahatan. Rama pun tak bisa mengelak. Bentuknya adalah… kecurigaannya bahwa Sita tidak lagi suci yang akhirnya berujung ke kaburnya Sita. Di satu titik, Rama memilih melakukan “persembahan kuda”, di mana seekor kuda putih super dilepaskan dan ke mana pun dia pergi tempat itu menjadi pilihan invasi kerajaan Ayodya. Buntutnya, seluruh anak benua alias Asia Selatan menjadi porak poranda. Budaya fisik hancur, pengetahuan hancur, dan pendeknya peradaban pun hancur.

Gambarannya persis kejadian pasca-kiamat nuklir atau kiamat-zombie yang banyak ditampilkan di film-film Hollywood. Terjadi kelangkaan pengetahuan dan sumber daya. Orang menjadi refugee menjadi sumber daya. Dalam kondisi seperti itu, Satya mendapatkan pencerahan untuk mencari sebuah kitab yang berisi semua intisari pengetahuan yang bisa membantu manusia agar tidak harus mengawali peradaban dari nol. Di situlah petualangangnya. Ini saja sudah cukup menjadi satu novel yang asyik, kan? Bahkan novel The Road dari Cormac McCarthy itu saja tidak sepadat ini.

Untuk KOK, itu baru bagian awalnya saja, hanya satu bagian cerita besar saja. Kalau kita ikuti, kita akan bertemu satu demi satu karakter yang masing-masing punya cerita. Banyak dari cerita itu samar-samar kita akrab karena memang muncul dalam Ramayana karya Valmiki, yang secara global bisa diakses versi transkreasinya oleh P. Lal. Namun, banyak dari kisah-kisah itu yang mungkin baru kali ini kita temukan, lahir dari meja kerja sang penulis Saksi Mata, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Iblis Tak Pernah Mati, dan lain-lain ini.

Selain cerita-cerita karakter tersebut, ada juga cerita-cerita lain yang di dalam buku ini merupakan isi kitab. Bayangkan juga, kalau membuat kisah-kisah para karakter saja sudah seperti pekerjaan yang cukup menyita perhatian, kita juga bisa temukan buku-buku di dalam buku ini. Masing-masing buku (atau lebih tepatnya Kitab) di buku ini memiliki cerita dan premisnya sendiri-sendiri yang diceritakan kepada kita para pembaca. Dan cerita atau isi kitab-kitab itu (bila bukan cerita) juga mempengaruhi perjalanan hidup karakter kita.

Mungkin kondisi cerita di dalam cerita yang berserak semacam ini berpotensi menjadi distraksi. Cerita di dalam cerita bukanlah sesuatu yang baru. Buku-buku semacam kumpulan dongeng 1001 malam (yang dinarasikan lagi oleh Husain Hadawy) atau petualangan Gulliver (yang dikarang Jonathan Swift) adalah cerita semacam itu. Bingkai-bingkai ceritanya cukup teratur. Namun, novel KOK ini tidak mengambil cara rapi seperti itu; ceritanya muncul pada saat-saat yang tidak mudah diduga. Ada kalanya di bagian utama, ada kalanya ketika kita Tengah mengikuti sesuatu yang seru. Kondisi ini memungkinkan cerita ini berpotensi menjadi distraksi bagi pembaca yang secara tradisional harusnya dimanjakan dengan cerita yang membuai dan tak terputus. Dan ada kalanya memang kita jadi merasa terjeda.

Namun, KOK pada akhirnya tetap bisa mengarahkan pembaca ke bagian utama lagi karena memang cerita ini punya premis yang tegas. Premis bahwa Satya dan Maneka perlu menemukan Kitab Omong Kosong untuk bisa mengatasi permasalahan dunia itu pada akhirnya membawa lagi pembaca poros utama perjalanan dalam novel ini.

Memang banyak tema yang bisa digali dari berbagai permasalahan novel ini. Setidaknya ada 8 artikel di Portal Garuda yang membahas Kitab Omong Kosong ini dari berbagai posisi. Ada yang melihat adaptasi karakterisasi, ada yang berbicara tentang peran cerita, intertekstualitas, juga peran karakter perempuannya. Masing-masing poin ini menunjukkan bagaimana kitab “omong-kosong” ini Ternyata punya potensi isi yang melimpah-rumah, yang tentu saja sudah bukan tanggung jawab Seno Gumira Ajidarma lagi.

Bagi saya sendiri yang kebetulan sudah belasan tahun sejak terakhir kali membaca novel ini, pengalaman diombang-ambingkan cerita ini sempat menghadirkan satu pikiran kecil: tampaknya bagus kalau hidup kita punya premis yang kuat. Dengan premis yang kuat seperti KOK ini, mungkin sebanyak apapun hidup memberikan distraksi, kisah-kisah kecil, kembang-kembang kehidupan, kita bisa dengan mudah mereorientasi diri.

Eh, tapi, tentu tidak pada tempatnya postingan singkat ini menjadi tempat untuk interpretasi yang menggurui. Lebih tepat kalau kita masuk ke dalam Kitab Omong Kosong dan melihat sendiri bagaimana narasi bekerja memanfaatkan narasi sebagai titik tolak perenungan.

More From Author

Teori Penerjemahan dan Terjemahan Puisi Shastra Deo

Beberapa waktu terakhir ini saya mengulik teori-teori penerjemahan sastra, khususnya untuk penerjemahan puisi. Ada beberapa…

Urban Hiking di Jakarta: Menjawab Penasaran Menjelang Laga Indonesia-China

Sebagai orang daerah, Jakarta adalah sebuah misteri yang selalu menghadirkan misteri. Jalan pagi adalah salah…

Resensi Film – Pantaskah Aku Berhijab

Ketika baru lihat judulnya, saya seolah tahu apa maunya film Pantaskah Aku Berhijab (2024). Sempat…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *