Pengakuan Dosa: Belum Pernah Baca Karya-karya John Updike

Seperti isi bisul, membikin nyeri tapi harus dipencet keluar: dosa. Kalau Anda kuliah S1 sastra Inggris (masuk tahun 1998), dan kemudian berkesempatan melanjutkan S2 Sastra Perbandingan (di sebuah universitas di Amerika, meskipun tidak seterkenal Harvard dan Cornell atau Berkeley), dan kembali mendapat kesempatan melanjutkan dengan S3 Sastra Perbandingan (di universitas yang sama), tapi sama sekali belum pernah baca karya-karya John Updike: itu dosa. Meskipun John Updike bukan termasuk dalam kategori penulisyang menjadi fokus studi Anda, meskipun Anda berniat mulia mempelajari karya-karya sastra dari penulis imigran dan minoritas (khususnya Arab-Amerika dan Muslim-Amerika): itu dosa.

Tapi, tapi, tapi, kalau Anda akhirnya memutuskan untuk membaca John Updike, meskipun bukan Tetralogi Rabbit, maka Anda tergolong memiliki niat baik menebus dosa. Kalau pun yang Anda baca adalah novel kedua terakhir John Updike (yang berjudul Terrorist), yang berkisah tentang seorang pemuda saleh yang digiring menjadi teroris, maka ada secercah cahaya yang bisa menyelamatkan Anda. Kalau Anda berniat untuk membaca lebih jauh satu dua karya lain John Updike (entah itu Tetralogi Rabbit atau bukan), maka Anda tergolong orang yang lapang hatinya, terbuka.

Kalau Anda akhirnya sadar bahwa meskipun Anda ingin serius melihat Amerika dari sudut pandang warga migran dan minoritas (yang tentu berisi banyak kritik dan kebijaksanaan non-mainstream tentang Amerika) tapi juga menghormati “orang dalam” atau orang dari kelompok mayoritas (kulit putih) yang juga kritis terhadap pemerintah dan masyarakat mainstream Amerika, maka Anda adalah orang yang masih ada kesempatan diampuni dosanya.

Kalau Anda termasuk ke dalam golongan orang yang saya gambarkan di atas (yang dalam bahasa Rhoma Irama, “orang yang menyadari kesalahannya dan memperbaikinya”), maka saya turut berbahagia untuk Anda, karena artinya Anda dan saya sama.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

2 comments

Kalau saya gak salah memahami pertanyaan sampean, jawabannya: Sedikit banyak iya.

Setiap kali kita membaca teks yg produksi maupun konsumsinya melibatkan dua budaya atau lebih, sedikit banyak pembacaan kita dipengaruhi Edward Said, karena dia yang mengawali studi intensif atas hubungan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *