Nggak kebayang kalau saya bakal menulis perjalanan ke Surabaya. Apalagi perjalanannya dari Malang, naik mobil pribadi (punya teman), dan lewat jalan toll lagi! Tapi kawan, setiap perjalanan layak mendapat tempatnya sendiri-sendiri di hati dan otak. Apalagi kalau perjalanan itu berkesan, meskipun sebenarnya biasa-biasa dan mungkin jadi perjalanan sehari-hari banyak orang.
Baiklah, kita mulai dengan suatu hari di bulan November tahun 2019, ketika ditemukan adanya orang meninggal di sebuah provinsi di negara… Okelah, skip-skip. Intinya, 2019 merupakan saksi menularnya virus korona dari manusia satu ke manusia yang lain dan berlanjut tambah ganas di tahun 2020 dan akhirnya mencapai gelombang-gelombang yang mengerikan di tahun 2021. Intinya lagi, perjalanan bahkan dari Surabaya ke Malang buat banyak orang menjadi sulit. Begitu juga dengan saya. Meskipun sejak 2016 sudah tak terhitung pulang-balik Surabaya-Malang karena operasi dan perawatan gigi dan gusi, sejak akhir 2019 saya tidak pernah lagi dapat kesempatan mengunjungi kota Pahlawan yang punya asyiknya sendiri itu.
Baru awal minggu lalu, di hari Selasa, saya mendapati bahwa saya mungkin harus ke Surabaya. Urusan administrasi perdosenan membuat saya harus ikut tes TOEP (bahasa Inggris) dan TPDA (kemampuan akademik umum), dan kali ini yang terdekat hanya ada di Surabaya. Malang yang terkenal sebagai kota pendidikan pun ternyata tidak bisa mengadakan kedua tes itu bulan November ini. Maka dengan berbagai dramanya sendiri saya dan Pak Ounu dan Pak Felik mendaftar untuk ikut tes di Surabaya itu. Setelah ini-itu, atas kebaikan Pak Felik kami pun berangkat ke Surabaya pada Kamis pagi. Kami rencana akan start jam 5.30 WIB dari kampus Universitas Ma Chung.
Tapi, karena saya harus membersihkan sepatu lama (tersebab sepatu kets biasanya masih basah terkena hujan sore sebelumnya) saya pun terlambat 15 menit sampai ke kampus.
Tapi kawan, ada yang perlu dicatat dari perjalanan dari rumah ke kampus. Pagi itu saya beruntung karena tepat pada pagi itu laron-laron muda sudah cukup dewasa dan didukung hujan deras sepanjang malam sebelumnya, laron-laron pun keluar semalaman dan pagi harinya masih ramai. Mereka ramai memenuhi sepanjang perjalanan. Sebagian tersangkut jaket, helm, dan kacamata saya. Ada campuran antara keindahan melihat sayap-sayap laron itu disorot emas matahari pagi dan kesedihan membayangkan sebagian dari laron ini pagi itu akan mati karena tidak mendapatkan pasangan. Sungguh indah dan menggetarkan melihat mereka berterbangan, tapi pedih rasanya membayangkan mereka segera mati.
Ah, saya terlalu berpanjang-panjang di sini. Sudah lima paragraf tapi belum juga sampai ke Surabaya. Kapan sampainya?
Baiklah, biarlah ini jadi postingan pertama dulu!
seru ya bisa keluar kota lagi setelah sekian lama 😀
jadi kangen pergi ke surabaya juga, terakhir ke sana dah bertahun2 yang lalu. hehe