Ketika baru lihat judulnya, saya seolah tahu apa maunya film Pantaskah Aku Berhijab (2024). Sempat terlintas bahwa ini adalah film religi yang ceritanya bisa diperkirakan sejak awal. Namun, di lubuk hati saya punya kepercayaan besar bahwa sinema Indonesia bukanlah lanskap sederhana. Benar juga, ketika cerita mulai berjalan selangkah-demi-selangkah, yang terungkap adalah cerita yang sabar dan tidak ingin buru-buru mengantarkan sesuatu yang pasti.

Kita awali dulu dengan gambaran sekilas agar bisa membayangkan ceritanya: Sofi (Nadya Arina) adalah seorang model yang sedang berjuang bisa tampil di produk penting di bawah manajemen sobatnya, si Aqsa (Bryan Domani). Sofia tinggal bersama ibunya, Halimah (Dhini Aminarti), dan dua adiknya di sebuah keluarga single parent yang tampak Islami (ibunya berhijab, adik-adiknya kalau sekolah berhijab, dan kegiatan mereka digambarkan belajar mengaji di rumah). Sofia tidak berhijab kecuali sedang bekerja (sebagai model yang membutuhkan penampilan berhijab).
Konfliknya bermula sejak awal film: Sofi kedapatan hamil dengan pacar LDR-nya. Dia kalut dan meminta tanggung jawab si pacar, tetapi si pacar tidak mau bertanggung-jawab karena tidak ingin kariernya terhambat. Di situlah liku-liku perjalanan Sofi mulai terjadi.
Tentu tidak sepantasnya saya membuka alur cerita yang sangat menarik ini di sini. Namun, saya perlu menunjukkan beberapa hal yang menjadikan film ini tidak biasa sebagai sebuah roman yang dari judulnya saja untuk menyoal hijab.
Yang pertama kentara adalah Sofi tinggal di sebuah keluarga yang secara penampilan dan gaya hidup sangat Islami sementara dia sendiri yang ternyata digambarkan longgar: tidak berhijab, tidak tampak sholat (dan justru kaget melihat sobatnya, Aqsa, sholat), dan pergaulannya yang sampai hamil di luar nikah tentunya tidak selaras dengan nilai-nilai yang dipercaya ibunya.
Namun, perbedaan antara Sofia dan keluarganya itu tidak menjadi persoalan serius dalam keluarganya. Dia disayangi dan dihargai oleh ibu dan adik-adiknya. Dia dipandang sebagai “selebritis” oleh adik-adiknya yang berharap dia bisa memberi mereka hadiah ini dan itu.
Kedua, ada banyak yang tidak diverbalkan tetapi penuh isyarat yang membuat penonton bisa membangun narasi selayaknya. Misalnya, perihal Romi (Indra Birowo), tokoh bapak yang tidak lagi serumah dengan keluarga ini. Tampaknya Bu Halimah telah bercerai. Dan, Pak Romi kelihatan mengentengkan urusan dan tidak bertanggung jawab, sebagaimana terlihat dari gaya hidup dan gaya bicaranya. Dan belakangan kita bisa melihat dari sikap Pak Romi kepada Guntur, yang telah menghamili anaknya. Kita bisa merasakan sepertinya memang dia bukan orang yang tepat untuk hidup bersama Bu Halimah dan anak-anaknya.
Dan, yang paling membuat film ini tidak terduga dan layak dijadikan renungan yang menghibur (layaknya sebuah karya estetika yang paripurna) adalah tidak memilih jalan yang mudah dalam ceritanya. Yang dimaksud jalan yang mudah di sini adalah jalan yang bisa ditebak karena sudah diakrabi penonton, jalan yang paling dramatis dan membuat penonton tergerak sepenuhnya, atau lainnya yang sekiranya mudah.
Terkait hal ini, kita bisa melihat bagaimana Bu Halimah menyikapi kehamilan Sofi. Meskipun beliau dipandang sebagai seorang perempuan memegang teguh ajaran Islam yang melarang hubungan di luar nikah, fakta bahwa anaknya melakukan itu hingga hamil di luar nikah tidak serta menjadikannya bersikap marah dan kecewa sampai membenci anaknya. Kekecewaannya tergambar, namun kalau pilihannya adalah antara menyembunyikan malu dan menyelamatkan nyawa, ternyata dia memilih menyelamatkan nyawa. Ada juga bagian lain di mana semestinya kita bisa mendapat adegan yang dramatis dengan Aqsa menyelamatkan Sofi dari rasa malu dengan menikahinya. Namun, di luar prediksi para penonton, bukan itu yang dia lakukan.
Intinya, cerita Pantaskah Aku Berhijab ini tidak jatuh ke dalam klise-klise dan dramatisasi yang hanya memuaskan emosi penonton. Adegan-adegan yang sekadar membuat asal pelanggan Netflix senang semacam itu tidak begitu saja diberikan. Pilihan-pilihan yang diambil karakter dalam film ini banyak yang merupakan hasil yang sangat mungkin kita ambil dalam posisi itu, dan hasil yang kita ambil itu seringkali tidak mudah.
Dari situlah, saya bisa bilang bahwa ada kepuasan ketika tiba di akhir film. Ada hasil yang bisa diharapka muncul di akhir cerita seperti halnya roman, dan akhir cerita itu menghangatkan jiwa. Namun, bagaimana dia sampai ke sana dan detail-detail dari ceritanya—itulah yang menjadikan pengalaman menonton film ini bisa membasuh batin.
Kalau kalian ini mengkaji sebuah film bernuansa religi tapi tidak dengan belokan-belokan cerita yang mudah diterka, mungkin ini film yang cocok untuk itu.
Mari lihat dulu trailernya: