Apa benar mendengarkan itu hanya urusan membuka kuping? Apa benar hanya dengan membuka kuping kita bisa menikmati musik dengan layak? Kalau direnung-renungkan, sebenarnya mendengarkan yang maksimal itu membutuhkan upaya dan kesadaran. Kesadaran? Mindfulness? Kurang lebih begitu. Inilah postingan yang akan mencoba mencari tahu kenapa mendengar musik analog itu sebenarnya butuh usaha aktif.
Apa itu MIndfulness, Slow Living, dan Musik Analog?
Seperti sebuah makalah yang baik, mari kita awali postingan yang tidak ditulis dengan AI ini dengan definisi. Pertama-tama, apa itu “mindfulness”? Mindfulness adalah kondisi di mana seseorang memiliki kesadaran penuh ketika melakukan sesuatu. Contohnya, ketika kita mencuci piring, kita melakukannya dengan penuh kesadaran dan waspada dengan apa yang kita cuci. Ketika kita melakukan sesuatu secara berkesadaran, kita mencurahkan perhatian penuh dan sadar tentang arti penting kegiatan tersebut. Kita tidak melakukannya karena terpaksa, sambil lalu, atau rutin saja.
Selanjutnya, ada lagi istilah yang sudah mulai overused, yaitu “slow living.” Menjalani hidup secra pelan adalah cara menjalankan hidup tidak dengan tergesa-gesa dengan kesadaran bahwa segala yang dijalankan dengan tergesa-gesa itu berdampak buruk bagi kita. Pola hidup yang bergesa membuat kita tertekan dan tidak bahagia. Karenanya, seperti diurai Carl Honore dalam buku In Praise of Slow, ada tren saat ini di mana orang-orang mulai kembali ke pola hidup yang lambat, mulai dari slow cooking sampai slow sex.
Tapi, untuk urusan slow living ini, sepertinya ada sesuatu yang lucu dalam konteks Indonesia. Orang-orang kota yang bicara soal hidup pelan di media sosial dibalas oleh orang-orang lain yang menunjukkan bahwa di tempat lain di Indonesia ini orang menjalankan pola hidup begitu secara default. Misalnya, orang yang hidup di kabupaten dan tidak terpaku jadwal meeting, hidupnya slow living. Pagi berangkat kerja di pasar, agak siang mampir ke warung atau silaturahmi ke kerabat, dan lain sebagainya. Ada juga konten kreator yang berlagak woles (secara satir) dengan ke mana-mana naik angkot. Bagaimana tidak selow kalau untuk pergi ke tempat yang jaraknya cuma 5 kilo harus berhenti berkali-kali? Kurang lebih begitu.
Terakhir, apa itu musik analog? Istilah ini merujuk kepada mendengarkan musik yang penyimpanannya dilakukan dengan bentuk fisik, biasanya berupa piringan hitam atau kaset. CD terbilang unik. Dia memang memiliki bentuk fisik, tapi karena pola penyimpanan menggunakan teknologi digital, dia bisa dengan mudah ditransfer ke perangkat digital dan pada akhirnya nanti bahkan bisa ditransfer melalui internet.
Mendengarkan musik analog membuat kita harus mencari sendiri lagu apa yang sedang kita dengarkan. Ketika kita ingin mendengarkan lagu yang lain dalam sebuah rekaman, kita perlu sedikit lebih banyak usaha untuk mencapai lagu tersebut. Berbeda dengan musik digital di mana kita tinggal pencet nomor atau mengklik gambar tertentu untuk mencapai lagu yang kita inginkan.
Antara Musik Analog dan Slow Living
Dari definisi terakhir di atas, mungkin mulai terlihat bagaimana musik analog pada prinsipnya masuk ke dalam wilayah slow living. Mendengarkan musik lewat kaset dan piringan hitam membuat kita harus mau bersabar dan berusaha lebih banyak.
Untuk mencapai sebuah lagu, pertama-tama kita harus mencari dulu di mana posisi lagu tersebut. Untuk piringan hitam, misalnya, minimal kita perlu tahu apakah kita harus mencarinya di sisi A atau sisi B. Setelah menemukan sisinya, kita harus lanjutkan mencari track lagu tersebut. Kita perlu melihat guratan (groove) di piringan hitam dan memposisikan jarum untuk mendekati lagu itu. Untuk kaset, mencari lagu tertentu bisa lebih menantang. Berbeda dengan piringan hitam yang lagu-lagunya mudah dilihat secara kasat mata, kaset tidak memungkinkan hal tersebut.

Kurang slow living apa kalau untuk mendengarkan sebuah lagu saja membutuhkan usaha semacam itu. Orang banyak mungkin akan bilang: “Apa kamu tidak punya kerjaan lain sampai punya cukup waktu luang melakukan hal-hal semacam itu? Berapa menit sendiri yang harus kamu habiskan untuk yang begitu itu?” Nah, dari situ pasti ketemu jawaban kenapa mendengarkan musik secara analog itu masuk ke dalam zona slow living.
Mendengar Secara Analog, Mendengar Secara Aktif … dan Mindful
Terakhir, ada yang unik dengan mendengarkan musik secara analog, yaitu bahwa kita mendengarkan secara aktif. Bagaimana itu ceritanya? Dalam khazanah pengajaran bahasa, ada dua jenis ketrampilan yang perlu dikuasai seorang pembelajar bahasa: ketrampilan reseptif (receptive skills) dan ketrampilan produktif (productive skills).
Seperti bisa ditebak dari labelnya, kemampuan reseptif itu berhubungan dengan ketrampilan untuk menerima informasi, yang terdiri dari listening dan reading. Sementara itu, ketrampilan produktif berhubungan dengan memapuan menghasilkan ujaran, yang mencakup writing dan speaking. Namun, tentu saja bahkan dari kemampuan reseptif itu ada dibutuhkan keaktifan, makanya ada istilah active listening, yang kurang lebih berarti mendengarkan secara aktif, misalnya dengan mendengar sambil mencatat dan menghubungkan dengan pengetahuan kita sebelumnya. Dengan active listening, kita bisa mendapatkan informasi sambil juga memproses agar informasi itu relevan buat kita.
Nah, lompat kembali ke ranah hobi dan hiburan, mendengarkan musik secara analog adalah sebuah usaha mendengarkan yang termasuk active listening atau tidak sepenuhnya receptive. Alasannya adalah, ketika kita mendengar musik secara analog, hasil yang kita dapatkan cenderung sesuai dengan usaha yang kita keluarkan. Kualitas musik analog bisa berubah-ubah tergantung banyak variabel, antara lain rekaman yang dipakai (kaset atau piringan hitam), perangkat pemutarnya (turntable atau cassette player), speakernya, dan sebagainya.
Oleh karena banyaknya variabel itu, kita sebagai pendengar jadi perlu melakukan usaha ekstra. Mari kita ambil dua variabel pertama. Saat mendengarkan piringan hitam, kita pertama-tama harus mengetahui kualitas platnya. Apakah platnya bersih, berdebu, berjamur, atau punya goresan. Masing-masing keadaan ini menghasilkan kualitas suara yang berbeda. Kalau plat berdebu, musik yang terdengar akan kretip-kretip. Itu masih terbilang wajar; sebagian orang bahkan merasa itu adalah salah satu keunikan suara piringan hitam. Kalau berjamur, suaranya bisa tidak jelas dan sebentar saja jarum stylus akan kotor dan akhirnya musik jadi aneh. Kalau terlalu banyak goresan serius, musik bisa lompat-lompat (istilahnya skipping) atau berputar ke bagian yang sama (looping).
Oleh karena kondisi-kondisi ini, kita pendengar musik harus selalu awas dan sadar untuk menjaga kebersihan piringan hitam. Ada alat-alat sederhana untuk membersihkan plat, mulai dari sikat halus, lap microfibre dan sejenisnya. Begitu juga dengan cara-cara merawat plat. Tahukah kalian kemiripan piring makan dan piringan hitam? Sama-sama bisa dibersihkan dengan Sunlight! Biar apa? Tentu biar “bersih bersinar”! Begitu juga dengan kaset, ada saja perangkat yang diproduksi untuk merawat kaset. Pendeknya, pendengar musik analog perlu sadar, aware, dan mindful dalam mendengarkan musik biar hasilnya sesuai.
Untuk variabel suara kedua, yaitu perangkat pemutarnya, ada juga rutinitas yang harus dijalankan seorang pendengar musik analog: merawat perangkat pemutarnya. Kalau ada modal, tentu kita bisa beli pemutar plat baru dari harga yang bersahaja sampai yang menyebabkan asam lambung. Alat baru cenderung lebih menenangkan. Tapi, tidak semua penggemar kaset atau plat bisa dapat alat baru. Tidak sedikit yang hanya bisa beli tape compo atau tape deck dari era 90-an atau awal 2000-an untuk mendengar kaset. Tentu bisa dibayangkan seperti apa usaha yang diperlukan untuk memastikan perangkat mereka berjalan dengan baik dan memberikan suara yang maksimal.
Tapi, kawan-kawan, di situlah mindfulness berada. Dengan kesadaran dan kesabaran, mindfulness dan slow living, mendengarkan musik analog bisa terjadi. Kalau tidak ada kesadaran untuk membersihkan head atau pembaca kaset, tentu suara yang kita dapatkan tidak akan jernih. Musik akan terdengar seperti tenggelam 20 cm di bawah permukaan air. Suara Mariah Carey mungkin masih bisa terdengar, tapi tidak dalam kondisi prima, seperti blionya sedang pilek.
Ini semua tidak terjadi di dunia mendengar musik secara digital. Kalau kita mendengarkan musik dari CD, memang kualitasnya bisa terdampak oleh kotoran di CD. Namun, karena perekaman dan penyimpanannya sudah dengan teknologi digital, isi CD itu bisa dengan mudah di-rip dan dimasukkan ke komputer dengan format file yang kita suka (.wma, .mp3, .wav, atau .flac). Kalau sudah benar-benar sepenuhnya digital begitu, tanpa lagi tergantung ke perangkat penyimpanan fisik, kualitas musik akan tetap bertahan. Yang jadi variabel hanya speakernya.
Mas Andra Ramadhan dari Dewa 19 pernah bilang gini terkait suara “kemretek” dari piringan hitam: “Kalau nggak [mau] ada kemretek, nyetel CD ae” di sini. Inilah statemen yang sebenarnya memantik postingan ini.
Kesimpulan
Kurang enak apa coba, habis baca panjang lebar ada simpulannya. Pada akhirnya, kita bisa katakan bahwa mendengar musik secara analog itu adalah aktivitas yang butuh usaha. Kita tidak bisa semudah menyambungkan laptop ke speaker bluetooth dan kemudian mendapatkan suara jernih dari Spotify atau YouTube. Kita perlu luangkan waktu memastikan bahwa pemutar kita prima, piringan hitam kita cukup bersih, dan itu artinya terkadang kita harus ke wastafel dulu ketika habis beli piringan hitam.
Namun, kalau kita memang ingin merasakan hidup yang tidak hanya bergegas, yang lebih awas, mendengarkan musik analog adalah satu latihan yang pas. Setelah mendengar musik secara analog, mungkin kita bisa jadi lebih awas kalau ada yang tidak beres di lingkungan kita: apa ada tetangga yang suka parkir mobil di pinggir jalan yang sebenarnya tidak terlalu lebar, apa got kita sudah bebas dari sampah, apa pejabat publik di kota kita sudah menjalankan tugas sesuai yang dia kampanyekan dulu tanpa terlalu tenggelam dalam pencitraan, dan lain sebagainya.