Apakah ungkapan “witing trisna jalaran saka kulina” itu masih berlaku di masa ini? Rasanya kok tidak ya? Kita dikondisikan untuk selalu mencari alternatif ketika sesuatu yang ada di depan mata, di bawah hidung, di samping kuping, dan di genggaman tangan kita tidak begitu saja membuat kita senang. Biang keroknya adalah keberlimpahan bahan digital. Tapi piringan hitam atau vinyl records adalah obatnya–atau salah satu obatnya.
Sebagian tamu blog ini mungkin akan muntap, kalap, atau bahkan mberot mendengar klaim di atas. Tapi, jikalau Tuan dan Puan terhormat berkenan dan benar-benar ingin mendapat jawaban, sudilah kiranya Tuan dan Puan menunggu hamba bercerita. Kalau ada waktu, silakan baca seluruhnya mulai “Update kehidupan vinyl” di bagian berikut ini. Tapi kalau buru-buru dan ingin segera kembali ke yang lain, langsung saja lompat ke “Vinyl dan acquired taste” untuk menemukan jawabnya
Update kehidupan vinyl
Siapa sangka, sudah lebih dari 2 tahun sejak saya memposting pengalaman mendadak vinyl ini. Di satu sisi, ternyata cukup lama juga saya bergaul dengan vinyl. Di sisi lain, ternyata saya termasuk “pendiam” sebagai seorang blogger yang juga mendengarkan musik dari piringan hitam. Mestinya saya bisa lebih cerewet menceritakan pengalaman dengan berbagai rilisan musik fisik yang saya punya.
Untuk itulah postingan kali ini ada. Perkenankan saya mulai agak cerewet bercerita tentang pengalaman mendengarkan plat vinyl.
Update saja, sejak memiliki lungsuran pemutar piringan hitam sekaligus beberapa piringan hitam istimewa, sudah banyak yang terjadi dengan kehidupan vinyl saya. Jumlah vinyl di rumah pun bertambah seiring semakin kenalnya saya dengan seluk-beluk tokopedia dalam hal vinyl. Nyaris semua piringan hitam di rumah saya beli dengan harga miring di Tokopedia. Ada yang terasa baru, ada yang sangat tua, ada yang tidak lagi sempurna. Ada yang benar-benar baru gres nyobek plastik pembungkusnya (kita akan bicarakan ini di bagian selanjutnya–tunggu sebentar).
Dalam hal turntable, saya sudah melakukan upgrade. Kalau awalnya saya menggunakan turntable entry level made in China dari Pak Jasmin, saat ini saya menggunakan yang kualitasnya sedikit lebih baik: Audiotechnica versi paling murah dengan Bluetooth dan jack 3.5. Oh ya, di usia berapa kalian sadar kalau logo Audiotechnica itu mirip logo Linkin Park? Saya beli pemutar vinyl ini bekas dari seseorang yang mendapatkan turntable tersebut sebagai hadiah–dan belum pernah memakainya. Kalau yang made in China ada speakernya kecil, yang Audiotechnica ini tidak punya speaker, sehingga saya harus belikan speaker aktif Simbadda yang meskipun ekonomis bassnya cukup kuat. Berkat paduan jarum stylus berbeda bawaan Audiotechnica dan speaker aktif, kali ini detail suara dari piringan hitam jadi lebih terasa.
Berkat sedikit upgrade itu, saya jadi bisa mengapresiasi pendapat umum bahwa vinyl sangat bagus untuk menjaga kualitas rekaman. Dari beberapa piringan hitam lama, saya bisa mendapatkan detail musik yang disajikan, misalnya dari lagu-lagu Perry Como di album Dream away with me, Bob Dylan Blood on the tracks, dan lain-lain. Berganti turntable dan speaker yang proper membuat musik terasa tetap hangat tapi semakin detail.
Untuk musiknya sendiri, koleksi saya sudah bertambah secara signifikan. Ada beberapa piringan hitam yang saya beli sendiri dengan berbagai motivasi. Saya pernah membeli karena merasa ada cukup rejeki yang bisa saya belanjakan dan mencari piringan hitam yang terlihat paling murah tapi pantas dibeli. Biasanya yang seperti ini adalah piringan hitam yang saya tidak terlalu akrab tapi dapat harga murah. Ada juga yang saya beli karena saya memang ingin punya salah satu rekaman fisik dari penyanyi tertentu, misalnya Broery Marantika dan The Supremes (album I hear a symphony).
Namun–ini dia yang paling unik–ada alasan umum kenapa sebuah album saya beli: harganya affordable, masih cukup bagus, meskipun saya sama sekali tidak kenal siapa mereka itu sebelumnya. Saya memiliki keyakinan bahwa rekaman-rekaman itu dibuat dengan susah payah dan ada yang pernah membelinya dan memutarnya; saya menduga, sehingga pasti ada bagiannya yang enak entah di mana. Dengan kepercayaan semacam itu saya pun membeli rekaman tersebut dan mencoba membuka diri dan mencerapnya. Di sini, sebut saja nama band Jepang seperti Kodomo Band (Rock and roll will never die), Paper Lace (And Other Bits of Material), Sadao Watanabe (Tokyo Dating), Sam “The Man” Taylor (album berisi OST).
Vinyl dan acquired taste
Nah, bagian terakhir inilah yang membuat saya merasakan pentingnya menikmati rekaman fisik seperti kaset, piringan hitam, dan CD: mengalami acquired taste. Saya kembali diingatkan akan gagasan yang mungkin semakin jauh hari-hari ini, yaitu acquired taste atau selera yang tumbuh karena usaha. Saya memang berniat mendengarkan dan menikmati semua musik karya musisi yang baru saya kenal (meskipun sangat terkenal secara global). Dalam kondisi begitu, saya biarkan diri terbawa tanpa buru-buru menghakimi (atau mungkin tanpa menghakimi sama sekali?). Kalau ada liriknya, saya mulai perhatikan liriknya, kalau ada liner notes saya baca dia (buat non-kolektor rilisan fisik: liner notes adalah istilah untuk “kata pengantar” di piringan hitam, CD, kaset dan rilisan fisik lainnya), dan saya dengarkan dengan seksama setiap bunyi-bunyian yang ada di sana.
Bagian inilah yang menurut saya bisa menghadirkan kembali kenikmatan mendengarkan musik dari zaman kaset dulu. Meskipun dulu terbilang sangat jarang beli kaset (kebanyakan pinjam!), saya selalu menikmati momen ketika mendengarkan kaset dan memegang sampulnya yang memanjang itu sambil membaca-baca isinya, mulai lirik sampai ucapan terima kasih. FYI, kalau kasetnya karya musisi Indonesia, dari ucapan terima kasih masing-masing anggota band kita jadi tahu agama mereka apa, haha! Tidak ada yang namanya buru-buru skip ke lagu selanjutnya. Terima saja apa yang sedang terdengar.
Baru ketika kita mengamalkan laku seperti ini, yang namanya acquired taste itu bisa terjadi. Dengan secara ikhlas mendengarkan musik yang mungkin tidak pernah sekalipun saya dengar, sedikit demi sedikit apresiasi atas apa-apa yang menjadi potensi musik tersebut bisa terjadi. Pada akhirnya, rasa cinta pun tumbuh. Baru pada saat itu kita akan mengalami “witing trisna jalaran saka kulina”, rasa cinta itu tumbuh karena terbiasa, karena adanya usaha kita untuk memaparkan diri kepada dia yang layak dicintai.
Kesempatan untuk mengalami “witing trisna jalaran saka kulina” terhadap musik atau hiburan lainnya itulah yang saat ini semakin berkurang. Di tengah dunia yang berlimpah dengna materi digital, kita begitu dimudahkan untuk memilih yang lain ketika yang sedang ada di depan mata atau kuping kita tidak segera membuat kita senang. Istilah “keberlimpahan digital” itu saya ambil dari judul buku Jay David Bolter, yaitu “digital plenitude”. Keberlimpahan ini menyebabkan devaluasi konten. Kita dikondisikan untuk mudah bosan dan ketika bosan harus melanjutkan ke konten yang lain.
Nah, kembali lagi ke diskusi awal soal update hubungan saya dengan piringan hitam, akhirnya saya punya vinyl yang saya beli baru gres. Beberapa waktu yang lalu, istri saya dikirim tempat kerjanya untuk mengikuti short course di Melbourne. Nah, di situ saya menemukan sesuatu. Saya masih punya keyakinan bahwa di setiap kota besar luar negeri pasti ada toko musik yang menjual piringn hitam bagus. Di situlah akhirnya saya titip dia untuk membelikan vinyl salah satu musisi yang paling awal membuat saya ingin mendengarkan piringan hitam: Miles Davis.
Saya titip satu album penting dari Miles Davis yang saya kurang akrab. Biasanya yang disebut vinyl Miles Davis wajib punya bagi para penggemar jazz dan kolektor adalah Kind of Blue (1959). Namun, saya merasa sudah terlalu akrab dengan semua lagu di album itu (terima kasih YouTube dan Spotify!). Saya minta dicarikan album lain, yaitu Birth of the Cool (1957), yang menandai kelahiran gaya “cool”-nya Miles Davis dan kawan-kawannya itu. Maka istri saya belikan album ini versi 20th Century Masterworks Colored Series yang berisi semua lagu di album asli Birth of the Cool ditambah beberapa track lain, liner notes berbeda,dan vinyl berwarna merah.
Maka, beberapa minggu ini, ketika ada kesempatan saya luangkan waktu mendengarkan lagu demi lagu di album ini. Rasanya memang berbeda: inilah Miles Davis yang lebih hidup, yang sebenarnya lebih banyak muncul daripada Miles Davis versi syahdu di Kind of Blue yang mungkin lebih diakrabi para penggemar jazz paruh waktu yang hanya fokus ke karya-karya paling sukses dari seorang musisi jazz. Dan, yang menjadikan album ini penting adalah bahwa di nonet (istilah untuk band 9 orang) inilah Miles Davis belajar memimpin band dan bereksplorasi bersama Gil Evans dan lain-lain untuk menemukan gaya “cool” yang puncak kesuksesannya ada di album Kind of Blue itu.
Ternyata cukup panjang juga ya versi update ini. Tapi ya begitulah kawan-kawan bagaimana kehidupan vinyl saya sudah bergulir dan berkembang selama dua tahun terakhir ini. Mungkin di kesempatan selanjutnya saya bisa mulai bercerita sedikit demi sedikit tentang masing-masing album yang pernah saya beli itu.
karena yg dibeli album itu, berarti witing tresna jalaran saka coolina :p
Ini dia sumbangsih penting Bung Budi yang membuat kejadian bisa semakin bermakna wkwkwk