Tiba-tiba Kenal Vinyl

Sekitar 10 tahunan lalu saya mulai kenal vinyl atau piringan hitam kayaknya karena blog Berburu Vinyl. Kemudian dari postingan-postingan mas Budi Warsito. Meskipun penasaran dan punya minat besar, tetap saja vinyl terasa seperti sesuatu yang nyaris tak terjangkau buat saya, sampai akhirnya bulan Juni kemarin terjadi sesuatu yang membuat saya mendadak punya beberapa vinyl dan turntablenya.

Kepergian Kawan, Kedatangan Vinyl

Beberapa bulan yang lalu, Pak Jasmin, kawan kerja yang lebih senior, bilang bahwa dia akan resign dari tempat kerja kami dan pulang ke negeri asalnya. Kenapa dia resign tentu tidak untuk dibahas di sini. Yang pasti, dalam persiapan resignnya itu, dia melungsurkan banyak hal buat kami kawan-kawannya. Ada buku, topi Apache, jas almamater, dan sebagainya.

Sebagai kawan yang baik, tentu saya membantu semampunya. Prinsipnya ya biar transisinya ke negeri asalnya tidak sulit. Toh dia tidak mungkin membawa terlalu banyak hal dengan perjalanan udara yang cukup merepotkan.

Hingga satu titik, suatu siang, dia mampir ke ruang kantor saya dan bilang: “Since I know you appreciate music, I’d like to give you something that I hope you like.” Ternyata, dia mau memberikan saya “sedikit piringan hitam” yang dia punya sekalian dengan turntablenya. Dia bilang “The turntable is dusty and made in China, but it works.” Bam!

Di situ saya langsung kaget. Saya bilang bahwa saya sempat pingin beli turntable dan piringan hitam karena tertarik dengan suara analog yang katanya berbeda, dan tentu saja tertarik dengan suara kemriyeknya yang lofi itu. Tapi ya, keinginan hanya keinginan karena saya sungkan bilang ke istri saya sementara saya sediri sudah punya karep macem-macem. Hahaha.

Maka tawaran di siang hari itu saya terima dengan lapang dada dan saya bilang akan menjemput vinyl itu ke rumahnya begitu ada kesempatan.

Ternyata: Vinyl yang tidak Main-main

Akhirnya, ketika datang kesempatan itu, saya pun bersama istri main ke rumah Pak Jasmin dan menjemput “sedikit piringan hitam” itu. Ketika sampai di sana, tahulah saya bahwa turntable-nya berbentuk klasik dengan motif kayu dan berdebu. Memang berdebu! Sudah agak lama tidak dipakai rupanya. Dalam keawaman saya, tentu tidak tahu apa bedanya turntable made in China dan made in lainnya (bahkan saya tidak tahu made in mana yang bagus itu!).

Namun, bersama turntable itu, saya melihat album-album para artis yang tentu tidak asing lagi. Pertama muncul adalah Golden Collection-nya Elvis Presley! Di bawahnya ada Platinum Collection-nya Dean Martin (btw, Dean Martin ini mengepalai fakultas apa ya?). Dan, yang tak kalah pentingnya, ada juga Bob Dylan dengan album Blood on the Track, sebuah album yang disebut sebagai album terbaik Bob Dylan. Masih ada piringan hitam Titik Sandhora dan lain-lain di situ! Ada juga vinyl-vinyl kecil bertuliskan Celine Dion, The Stylistics (band-nya anak linguistik?) dan lain-lain.

Oke, “sedikit piringan hitam” itu ternyata untuk ukuran saya yang baru pertama kali punya piringan hitam tentu tidak sedikit. Dan nama-namanya juga sangat berarti!

Saya curiga saya akan mengalami perjalanan yang cukup berarti dengan musik dan piringan hitam setelah ini. Sumpah, saya kuatir akan keracunan vinyl dan resah sendiri karena pingin beli album ini dan itu. Namun, tentu saja, sebagai seorang dewasa berkeluarga, saya sudah siap-siap menangkalnya.

Kesan Bulan-bulan Awal

Sekarang, di bulan Agustus ini, sudah lebih dua bulan saya punya turntable dan piringan hitam di rumah. Saya taruh piringan hitam itu di satu posisi yang manis di ruang tengah, dekat meja kerja. Kalau diputer, suaranya bisa terdengar di ruang utama rumah saya (ruang tamu, dapur, dan semua kamar). Semua piringan hitam yang ada sudah dimainkan berkali-kali kalau ada kesempatan. Dan memang rekaman fisik ini menawarkan pengalaman yang berbeda.

Yang paling awal tentu saja adalah tidak ada otomatisasi. Semua dilakukan secara manual, mulai menaruh piringan hitam, menurunkan jarum stylus, dan kemudian memilih lagunya.

Yang juga sangat penting adalah, perlunya perawatan sadar. Pertama kali memakai turntable, suaranya terasa agak tidak beres. Kemudian, stylus saya tarik dan suaranya tambah rusak. Ternyata, stylus-nya perlu diganti. Berkat bantuan orang-orang baik di YouTube, jarum stylus pun saya ganti. Ini dia prosesnya:

Nekad mengganti stylus dengan modal nonton YouTube

Selain itu, tentu juga ada perawatan rekaman fisiknya. Pak Jasmin mengajari saya membersihkan piringan hitam, yaitu dengan menggunakan sabun cuci piring dan mengelapnya dengan lembut. Oalah, gusti, ternyata piringan hitam itu dibersihkan dengan sabun cuci piring tho! Ya pas lah!

Semua hal yang sifatnya manual dan membutuhkan banyak usaha ini menjadi penikmatan musik terasa lebih “slow.” Musik jadi ada tidak untuk diabaikan dan dijadikan ambience saja. Dia jadi harus diperlakukan dengan self-awareness. Makanya, tidak heran banyak sekali orang yang begitu mengglorifikasi mendengarkan musik lewat rilisan fisik, terutama piringan hitam vinyl ini.

Kalau kawan-kawan googling sedikit buat mencari meme yang berhubungan dengan vinyl, saya yakin tidak sulit menemukan ucapan-ucapan semi filosofis tentang menikmati musik lewat vinyl. Saya pernah (dulu sekali!) temukan ujaran bahwa vinyl adalah cara menikmati album sepenuhnya karena kita hanya “play and sit back without fast forward or skip track.” Dan, terkait crackle atau bunyi kemriyek yang sesekali terdengar, ada meme yang diberikan Budi Warsito ke saya tentang “surface noise” pada vinyl itu tidak ubahnya seperti kehidupan, yang memang dipenuhi dengan surface noise (banyak hal yang tak terduga dan membuat hidup tidak selinear yang kita rencanakan.

Demikianlah kawan-kawan kisah saya yang mendadak vinyl. Untuk detail musik yang saya dengarkan, mungkin itu semua akan jadi postingan yang lain kalau ada kesempatan. Sekadar info, selama menulis postingan ini di pagi yang sangat dingin ini, saya ditemani oleh album The Versatile Mr. Bellafonte yang suara kemriyeknya lebih banter dari yang lain.

turntable made in china untuk vinyl yang tak ternilai harganya
Turntable yang katanya made in China tapi memutar vinyl yang tak ternilai harganya

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *