The Architecture of Love, Ketika Komedi Romantik Kembali Bertunas

Setiap industri perfilman punya masanya sendiri-sendiri. Bagi Hollywood, tampaknya komedi romantik sudah kembang kempis, tidak lagi sepopuler dulu. Namun, dalam konteks industri perfilman Indonesia, tampaknya komedi romantik sedang naik daun, dan banyak penulis yang saat ini sedang menggarap film-film cinta yang berakhir bahagia seperti itu. The Architecture of Love adalah salah satu film yang turut mengobarkan tren itu.

The Architecture of Love diawali dengan Raia Rasjid (Putri Marino), seorang penulis yang sedang mendapat berkah karena novelnya diadaptasi menjadi film, menghadapi kejutan dalam rumah tangganya. Kejutan itu membuat dia kabur ke New York dengan harapan menenangkan diri dan fokus menyelesaikan tulisannya–prahara rumah tangga membuat sumber inspirasi menulisnya mampet. Di New York, dia dimakcomblangi kawannya dengan seorang pemuda Indonesia. Tapi dia ketemu cowok lain yang tampaknya lebih menyenangkan buat dia. Namun si cowok ini, River Yusuf (Nicholas Saputra) namanya, punya ransel masa lalunya sendiri. Dengan begitu, bahan-bahan untuk sebuah romantik komedi pun sudah lengkap.

Kisah dalam film ini lumayan didominasi scene-scene di Amerika Serikat, tepatnya di New York. Ada party khas Amerika yang intim dan diadakan di dalam seluruh apartemen, mulai dari ruang tamu, meja makan, kamar mandi hingga dapur. Banyak juga adegan jalan-jalan melihat hutan beton Manhattan. Dan tidak lupa adegan duduk-duduk di bangku besi taman (Central Park?) pada musim gugur. Pendeknya, silakan dibayangkan ini sebagai adegan-adegan yang diambil dari filmnya Richard Gere dan Winona Ryder, Autumn in New York.

Bangku taman di musim gugur.

Tapi, berbeda dengan film-film komedi romantik yang selalu memiliki adegan dinner yang keterusan dan bangun tidur di apartemen salah satu tokoh, The Architecture of Love tidak punya itu. Dan justru di bagian itu yang menjadikan film ini menarik: ada hubungan yang ditahan-tahan, antara beban bagi tokoh perempuan untuk menyampaikan perasaan cintanya dan ransel trauma masa lalu yang dibumbui depresi. Dua hal ini dipadukan untuk menghasilkan perjalanan perasaan yang cocok diulur hingga menjadi 3 babak atau lebih tepatnya 8 etape perasaan.

Saya tidak tahu ini prestasi Teddy Soeriaatmadja ataukah prestasi Ika Natassa sebagai penulis novel yang kemudian diadaptasi menjadi film ini. Yang pasti, penikmat film komedi romantik akan bisa mendapatkan kenikmatan dari uluran jalannya perasaan cinta itu.

Namun, terlepas dari hiburan yang ditawarkan dengan perjalanan perasaan, ada hal-hal yang akan menggelitik seorang penonton yang terus-menerus membandingkan film ini dengan film Hollywood. Perbandingannya adalah ketika River Yusuf dan Raia Rasjid kembali ke Indonesia. Ada perbedaan yang sangat mengganggu:

Di New York, kehidupan para tokoh kita ini begitu down to earth. Mereka tinggal di apartemen yang dari ruang tamunya bisa melihat trotoar, lalu lintas, dan teras di mana orang bisa duduk dan menunggu saat menjemput. Karakter cowok bisa jalan kaki dari apartemennya dan mendatangi apartemen si perempuan dan menunggunya di undak-undak depan khas East Village, NYC. Mereka begitu dekat dengan orang-orang yang lain.

Di Indonesia, mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah mewah yang bisa dibayangkan pasti tinggal di kawasan yang cukup elit dan pastinya ada pagar antara pintu depan rumah dan jalan raya (yang mungkin jalan kompleks khusus perumahan elit). Wajarlah, keluarga ini memiliki rumah di Amerika dan bisa mengirimkan anaknya untuk belajar di Amerika.

Di New York, karakter Raia bekerja di toko buku kecil yang eksotis, yang intim, khas toko-toko buku historis di Amerika dan Eropa. Sementara di Indonesia dia adalah seorang penulis yang novelnya diadaptasi menjadi film dan terlibat dalam industri perfilman. Ketika hidup tidak ramah, dia bisa berangkat ke Amerika (dan visanya memungkinkan dia bekerja?).

Hal yang sama tampaknya berlaku buat River. River adalah seorang arsitek sukses yang pekerjaannya tidak hanya membangun rumah di Jakarta tapi juga sampai ke Melbourne, dan tentunya bisa pergi ke New York untuk menyembuhkan diri dari persoalan hidupnya. Di Indonesia bisa dibilang dia pemuda yang sukses (meskipun digambarkan tinggal di rumah orang tuanya pada saat-saat tertentu.

Hal-hal ini begitu menggelitik dan tampaknya tidak semestinya dibahas di sini. Mungkin akan lebih tepat kalau hal-hal yang menggelitik ini jadi bahan untuk digali dan diteliti dalam sebuah artikel jurnal ilmiah. Dan karena untuk mendiskusikannya kita harus mengabaikan nilai kejutan dan lika-liku plotnya, maka tampaknya akan lebih tepat kalau saya hentikan bagian itu di sini.

Pada intinya, buat yang kangen dengan komedi romantik ala Richard Gere, Hugh Grant, Winona Ryder, Drew Barrymore, film ini bisa menjadi tombo kangennya. Tentu dibutuhkan keterbukaan dan keikhlasan untuk menerimanya. Namun, bagi kita-kita yang suka menggali-gali, membaca ini dan itu di balik cerita, terutama hal-hal yang tampaknya tidak menjadi daya tarik utama film, maka film ini menyajikan lahan yang belum banyak tergarap.

Selamat menikmati!

More From Author

Mengingat Pop Islam di Indonesia Pasca Pandemi

Beberapa tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2018, saya sempat terlibat workshop yang lebih menyerupai…

Dunia Pedro Paramo, Kota Hantu yang Samar

Juan Preciado dapat wasiat dari ibunya untuk mencari bapaknya yang bernama Pedro Paramo. Juan tidak…

Membaca Hitam 2045, Merenungkan Sentenial

Buku ini kita orang punya sejak 2022, tapi baru beberapa minggu lalu ada alasan cukup…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *