Beberapa tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2018, saya sempat terlibat workshop yang lebih menyerupai simposium berjudul “Pop Islam” yang diadakan di Universitas Negeri Malang. Waktu itu, saya memberikan presentasi dengan tema perubahan musik Ramadhan dalam album-album religi Gigi. Pada waktu itu, sepertinya istilah “pop Islam” memang baru kali itu saya dengar.
Tampaknya, istilah “pop Islam” itu telah berkembang sedemikian rupa hingga, di tahun 2025, sudah ada buku yang berjudul Pop Islam: Seeing Muslims in the Popular Culture. Buku ini membahas mulai dari Ms Marvel Kamala Khan yang mulai muncul pada era 2010-an, komedi muslim, film-film bertokoh muslim dan sejenisnya. Kurang lebih ini mirip dengan yang hadir di workshop yang saya ikuti di UM waktu itu.

Eh, apa saja sih yang dibahas di workshop yang digelar Kantor Urusan Internasional itu? Saya barusan googling dan tidak bisa menemukan lagi websitenya. Saya ingat ada beberapa hal yang dibicarakan pada waktu itu: antara lain praktik hijab traveler, kecenderungan dan gaya berdakwah seorang ustadz yang populer di kalangan anak muda, representasi maskulinitas dalam film-film islami, lagu-lagu religi dari band populer, perihal kuliner di kalangan masyarakat muslim urban, dan sejenisnya. Nanti kalau ada kesempatan saya salinkan prosiding acara itu.
Apa sebenarnya yang didapatkan dari mendiskusikan tentang kehadiran Islam dalam budaya populer? Dari diskusi yang terjadi waktu itu, terasa sekali bagaimana segala hal yang kita anggap biasa saja sebagai Muslim di Indonesia ternyata memiliki nilai kritis dan budaya yang tidak bisa disepelekan.
Dari pemaparan dan diskusi yang terjadi setelahnya, kita semakin bisa melihat bagaimana keyakinan seorang Muslim atau masyarakat Muslim memiliki relasi yang dinamis dan merespons pada kehidupan. Seorang Muslim bernegosiasi dengan keadaannya dan menghasilkan sesuatu yang tidak lazim pada masa-masa sebelumnya. Bagaimana platform Instagram yang memungkinkan orang memamerkan kegiatannya itu bersinergi dengan perempuan Muslim berhijab yang layaknya banyak orang pada masa kini juga suka traveling. Bagaimana seorang ustadz muda tidak mengenakan baju koko atau sorban tetapi memilih memakai baju keseharian anak muda dan kupluk ski yang biasanya diasosiasikan sebagai “gaul” untuk berdakwah dan mengajarkan hikmah.

Mungkin, kalau hari ini diskusi semacam ini dilanjutkan, akan lebih banyak lagi fenomena kehidupan populer di kalangan masyarakat muslim Indonesia yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kita telah melewati pandemi yang memungkinkan berbagai hal berubah, mulai boomingnya media sosial, sedikit main mata dengan metaverse, live shopping, dan sebagainya.
Di Ramadhan tahun ini, saya ingin menerapkan satu disiplin baru lagi, selain disiplin tradisional Ramadhan. Saya perlu menyelesaikan artikel-artikel laporan penelitian yang sebelumnya tidak pernah terselesaikan. Salah satu artikel tersebut adalah artikel hasil pembacaan saya atas album-album religi Gigi yang pernah saya sajikan hasil sementaranya di workshop Pop Islam tahun 2018 itu. Semoga artikel tersebut selesai dan bisa memberikan sedikit sumbangan terhadap salah atau aspek kehidupan Ramadhan kita hampir 20 tahun ini.