Minggu lalu, di hari Jumat 24 Oktober 2025, Graha Tumapel menjadi saksi sebuah kejadian yang semestinya bisa mendapatkan perhatian lebih dari yang didapatkannya waktu itu. Ada pameran kaligrafi dan lukisan yang diadakan oleh Pusat Bahasa Mandarin Universitas Negeri Malang didukung beberapa institusi seperti Universitas Ma Chung, Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, dan beberapa lainnya.

Dari Foto hingga Kaligrafi
Seperti apa acara ini? Sebagaimana layaknya pameran, acara ini memiliki sejumlah benda pamer beragam jenis. Yang paling mudah dinikmati pengunjung adalah foto-foto kunjungan negarawan Tiongkok Zhou Enlai pada masa pemerintahan Bung Karno. Ada juga lukisan-lukisan dengan kaligrafi yang menggambarkan berbagai hal, mulai dari kedatangan Cheng Ho, hingga lukisan tentang pemandangan alam dan flora Bali dengan gaya lukisan Tiongkok. Selain itu, juga banyak kaligrafi Mandarin dengan gaya cursive, semi cursive, hingga skrip untuk segel.

Kenapa begitu beragam, dari foto jurnalistik hingga kaligrafi murni berbagai gaya? Itu karena acara pameran ini adalah peringatan untuk sejumlah hal sekaligus, mulai peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok, peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika, dan 620 tahun kedatangan Cheng Ho di Nusantara. Makanya tidak heran semua hal dicakup.

Selain pameran karya-karya fotografi, lukis, dan kaligrafi ini, ada juga atraksi lainnya di pameran ini. Yang paling menonjol adalah demonstrasi pembuatan kaligrafi yang dilakukan oleh guru-guru bahasa Mandarin yang dibawa Confucius Institute dari Tiongkok. Para pengunjung bisa melihat bagaimana para artis ini mendemonstrasikan keahliannya. Selain itu, pengunjung pembukaan acara juga bisa melihat bagaimana musisi gucheng memainkan alat musiknya dengan lihai. Sebagian orang mungkin mengingat adegan di rumah susun dalam film Kungfu Hustle di mana pemain gucheng bisa dengan lihainya bermain musik sambil mengoyak suasana.

Yang agak unik adalah kehadiran Walikota Malang Dr. Wahyu Hidayat. Dalam sambutan yang disampaikan, Sam Wahyu menyampaikan bahwa itu adalah pertama kalinya beliau mengunjungi Graha Tumapel, sebuah bangunan yang masuk ke dalam cagar sejarah yang berlokasi di belakang samping Balai Kota Malang, hanya sepelemparan batu dari Hotel Tugu. Graha Tumapel memang bangunan yang didirikan tahun 1928, pernah menjadi hotel, dan belakangan sempat lama menjadi hunian para pegawai IKIP Malang. Kalau ingin tahu tentang bangunan ini, silakan mampir di sini.
Membutuhkan Sorotan
Kalau ada satu hal yang semestinya bisa dibuat lebih maksimal dari pameran ini, pastilah itu sorotan yang diperlukan. Di sini, sorotan yang dimaksud bisa berupa promosi pra penyelenggaraan acara, yang menurut saya tidak sampai cukup menggema, padahal ada banyak kanal informasi, grup WA literasi atau sejarah, dan media publikasi yang bisa dimanfaatkan oleh penyelenggara. Selain itu, exhibit juga sangat minim informasi. Selain foto-foto kunjungan Zhou Enlai ke Indonesia, tidak banyak informasi yang bisa didapatkan dari exhibit itu. Untuk memahami makna dari lukisan barong dengan kaligrafi Mandarin ini, saya perlu tanya dan mendapat penjelasan dari Song Jiaxing, seorang dosen bahasa Mandarin Universitas Ma Chung yang merupakan volunteer CI.
Kalau saja sorotan yang diberikan ke acara ini dan benda-benda pamernya bisa lebih banyak, mungkin akan lebih banyak pula makna yang bisa didapatkan oleh pengunjung. Tentunya hal ini akan membuat tema acara ini, yaitu “Setinggi-tingginya gunung, sepanjang-panjangnya sungai, suka dan duka dilewati bersama”, akan lebih terasa.

Namun, terlepas dari kekurangan ini, pameran yang terbilang jarang diadakan di Malang ini juga telah memberi sumbangan pengetahuan dan pengalaman bagi warga Malang. Sebagai kota yang dikenal dengan keberagamannya, visinya untuk wisata, industri, dan pendidikan, Kota Malang perlu memiliki berbagai jenis sumber pengetahuan dan pengalaman yang memperkaya batin. Pameran ini telah turut menyumbang itu dengan merayakan pertemuan puluhan dan ratusan tahun dengan kaligrafi dan lukisan.


