Boy: Gimana, Yad, ngehancurin ekspektasi loe nggak?
(Katanya sambil matanya menunjuk ke soto betawi yang ada di depan mata.)
Yadi: Pastilah, bos. Soto ya ini? Hehehe… kayak kari ya?
Boy: Soto pasti dong, man!
Yadi: Hahaha… Soto, tapi pakai santen. Hmm… jadi mikir, rukunnya soto itu sendiri apa sih? Kenapa setelah bid’ah–maksudku inovasi–pake santen dan lontong begini kok tetap soto judulnya?
Boy: Hahaha… Kalau memang ada yang namanya rukun soto, kayaknya isinya cuman satu, yaitu air?
Yadi: Ya nggak bisa lah. Kalau cuman air, berarti es cendol termasuk soto dong.
Boy: Maksudnya yang dipakai buat teman makan nasi, bukan buat seger-segeran?
Yadi: Nggak sesederhana itu, Bos. Kalo gitu sayur asem termasuk soto dong?
Boy: Hmm…
Yadi: Ayo kita teroka dulu.
Boy: Te– apa?
Yadi: Teroka…
Boy: Makanan tradisional dari mana lagi itu?
Yadi: Hahaha… bahasa Melayu lah, bos. Kata itu termasuk yang suka dipakai novelis Anwar Baruna itu.
Boy: Yang nulis biografinya si Pepi itu ya?
Yadi: Bukan biografi lah, dia sendiri di twitternya bilang–mungkin dengan rendah hati–kalau dia tidak nulis biografi, kalau biografi butuh lebih banyak dari itu. Lagian, yang dibahas juga sepenggal masa kecil si menteri Pepi.
Boy: Oh, gitu ya. Terus, menu–
Yadi: Bentar, Oom. Tahan dulu diskusi soal Anwar Baruna. Nanti banyak banyak kesempatan ngobrol soal itu sama si Hardi Simanjuntak, tadi di SMS katanya sudah dekat TIM, tapi nggak tahu kok belum datang-datang.
Boy: Hardik Simanjuntak?
Yadi: Hardi!
Boy: Tapi dipanggil Hardik juga nggak papa. Dia yang suka kritik-kritik keras itu kan?
Yadi: Hahaha… iya, HARDIK Simanjuntak. Pas juga sebenarnya. Hahaha… Oke, sebentar, mari kita teroka dulu Soto Betawi ini… Apa benang merahnya sama Soto Lamongan, Soto Madura, Soto Daging, dan–
Boy: Dan sotoooo many other sotos di negeriku Indonesia…
(Di beberapa kata terakhir Boy jelas-jelas mencoba setengah mati–dan memang dia mati nada–menirukan nada lagu “Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia” dari Dewa 19.)
Yadi: Hahaha… ayo-ayo, diperhatikan dulu…
(Yadi seperti terlihat mengambil jarak dengan sotonya, mencoba memicingkan mata… terlihat agak serius, mengamati soto yang masih mengepul di depan matanya itu. Ada gundukan tepat di tengah-tengah mangkok itu. Di atas sendiri atas serpihan bawang goreng. Setelah itu ada dagung dan jeroan yang saling tumpang tindih silang sengkarut membentuk gundukan yang manis. Di bawah daging dan jeroan itu memang tidak terlihat bentuknya, tapi yang pasti ada massa potongan-potongan lontong yang dari celah-celah tumpukan daging dan jeroan terlihat kuning kehijau-hijauan hijau kekuning-kuningan karena paduan antara beras dan lunturnya pigmen dari daun pisang saat dikukus. Selepas itu, yang ada hanyalah genangan kuah dengan warna kuning pucat dengan lemak bercampur cabe tumbuk berwarna kemerahan melambai-lambai di permukaan kuah itu.)
Boy: Gimana? (Selama beberapa detik itu Boy hanya menunggu temannya yang berasal dari Malang itu menyelesaikan observasinya atas Soto Betawi.)
Yadi: Ya allah! Sudahlah, kalau dipikir-pikir malah bikin ngiler. Makan dulu aja lah, Bos, nanti kita lanjutkan diskusinya sambil jalan.
Boy: Hahaha… Hajar, Cak!
Yadi: Ahh…. Tapi sementara… (Setelah sruputan kuah yang pertama.) Kalau diingat-ingat, semua soto ini mengandung, pertama, kuah kaldu, kedua, daging dan ketiga… embuh lah. Soalnya, Bos, kalau jangan lodeh…
Boy: Sudah, Man, loe makan dulu aja. Teori soto dan rukun-rukunnya dan macem-macemnya bisa kita tanyain ke Wikipedia entar…
(Maka dengan diskusi pun berhenti. Yadi malah tidak repot-repot menjawab dengan kata-kata. Dia hanya mengangguk, terlalu tenggelam pesona soto pagi hari…)