Metropolis, MD. Akhirnya, terjawablah keingintahuan semua orang. Anwar Baruna diganjar hukuman 20 tahun kerja paksa (KP) oleh Hakim Radja Dahana, S.H., M.H. pada persidangan terakhir Kamis (15/3). Ketika memutuskan hukuman, hakim menambahkan—menggunakan hak kepeneguhannya—bahwa Anwar Baruna tidak bisa mengajukan banding.
Hingga berita ini diturunkan, hakim masih berpikir keras untuk memutuskan jenis KP yang akan dijatuhkan kepada Anwar Baruna. Pengamat hukum dari Universitas Nasional mengatakan, “Dengan menunda penjatuhan hukuman, Hakim Radja telah bersikap sangat bijak. Saya hampir yakin beliau akan mengajak beberapa tokoh kehakiman untuk bersama memutuskan jadwal kerja paksa.”
Hakim Radja Dahana, S.H., M.H. sendiri merasa tidak perlu buru-buru memutuskan jadwal kerja paksa karena menurut hakim “Toh, dia tidak akan bisa banding apapun hukuman yang kita jatuhkan nanti. Yang pasti, Anwar Baruna sudah menjadi narapidana sekarang, dan itu tidak bisa diganggu-gugat.”
Hakim mendasarkan penggunaan hak kepeneguhan mengingat sifat dari kesalahan Anwar Baruna yang abadi. Pasal 479 yang berbunyi “kesalahan tertulis, terekam, terpotret akan abadi, kesalahan yang terucap dan terlaku tanpa tertulis, terekam, terpotret akan terlupa” menurut Hakim Radja Dahana, S.H., M.H. dengan sendirinya menjadi alasan yang cukup kuat untuk menjatuhkan vonis tanpa kemungkinan banding.
Seperti dilaporkan sebelumnya, Anwar Baruna menulis sebuah buku tentang masa kecil Menteri Urusan Tawar-Menawar Feril Firdaus (yang lebih dikenal dengan sebutan Pepi). Buku ini awalnya disinyalir mengandung elemen pengangkatan citra sang menteri yang terlibat kasus telaga lumpur. Belakangan Jaksa Penuntut Umum menemukan bahwa buku Anak Sejuta Binatang—lebih parah dari tuduhan sebelumnya—memiliki elemen pelupaan yang kuat. Buku Anak Sejuta Binatang, yang mengisahkan kebaikan Pepi kepada satwa liar dan domestik, terbukti berpretensi membuat orang lupa akan Tragedi Telaga Lumpur (Tritelu) yang telah memakan ribuan korban. (MD)