Tentang Penyerangan Muslim Syiah di Sampang

Mengejutkan sekali berita di Kompas hari ini. Kekerasan terhadap warga Syiah di Sampang sampai menelan korban. Satu orang meninggal, enam orang terluka, dan dua di antara yang terluka berada dalam kondisi kritis. Menurut artikel Kompas ini, sekelompok warga Sampang menghadang dua kendaraan yang membawa 30 anak usia sekolah yang akan berangkat ke pondok pesantren di Malang. Para penghadang bersenjata ini menyuruh mereka pulang. Selanjutnya terjadi bentrok dan salah satu warga Syiah bernama Hamamah tewas.

Entah bagaimana ceritanya, kenapa orang Islam Indonesia jadi seganas ini? Tentu, sebagai non-peneliti dan non-sejarawan, saya tidak tahu bagaimana ceritanya. Tapi di postingan ini saya ingin membahas beberapa hal yang mestinya layak dijadikan perenungan dalam kaitannya dengan hubungan antara orang Islam “biasa” dan penganut Syiah.

Mari kita mulai saja dengan pelajaran sejaraha kecil-kecilan. Siapa yang menyebarkan Islam di tanah Jawa? Tentu Anda semua tahu jawabnya, yaitu wali songo. Siapakah para wali Songo ini? Menurut buku tulisan Imam Feisal Abdul Rauf, para wali ini (sebagian besarnya) adalah ulama sufi dari berbagai kawasan. Ada yang dari India, dari Arab, maupun dari China. Nah, kalau berbicara tentang sufi, mari kita pinjam tulisan klasik dari seorang Orientalis Inggris bernama Montgomerry Watt yang berjudul Islamic Theology and Philosophy, para sufi itu adalah sekelompok muslim yang menjalankan ajaran Islam yang tidak melepaskan kehidupan spiritual secara rohani dengan jasmani. Kalau dirunut, ajaran para sufi ini ujung-ujungnya adalah Nabi Muhammad SAW dan, tepat sebelumnya, Sayyidina Ali RA (yang diagungkan penganut Syiah sebagai “waliyullah” teman “teman Allah”) karena Ali adalah salah satu sahabat yang paling dekat rasulullah, sebagian besarnya karena dia adalah sepupu sekaligus menantu rasulullah.

Mungkin karena ajaran dari guru-guru yang seperti inilah, dalam kehidupan ber-Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang saya alami sendiri, tampaknya tidak penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita ini Syiah atau Sunni. Buat para wali songo itu, mungkin tidak ada artinya menegaskan bahwa mereka Sunni kalau sebenarnya anutan Islam mereka itu adalah tokoh yang lebih tua daripada pembagian sunni atau syiah (sunni atau syiah muncul belakangan, jauh setelah rasulullah meninggal, tepatnya ketika para pendukung keluarga Ali menyaksikan diri mereka dipersekusi dan Hussein, anak Ali RA dan cucu Muhammad SAW dibantai di Karballa). Bahkan, karena kalau dirunut ajaran para wali songo itu bisa sampai ke Ali RA dan Rasulullah SAW, maka wajarlah kalau Ali dan keluarganya mendapat tempat yang terhormat di kalangan penganut Sufisme dan, pada gilirannya, warga Muslim Indonesia. Saya ingat, beberapa tahun lalu, ketika sowan ke Kediri, sebelum berangkat ke Amerika, mbok mertua saya menganjurkan saya mengirim alfatihah untuk Rasulullah, Ali, Imam Hassan dan Imam Hussein (perlu diketahui, kata “imam” itu memang muncul di sana!).

Anehnya, hari ini, saya membaca berita tentang penyerangan terhadap warga Syiah (orang-orang yang memandang sangat penting arti keturunan langsung Rasulullah SAW sendiri dalam jagad Islam). Apakah sudah tidak berbekas lagi sikap hormat para guru agama kita (maksud saya para wali songo itu) kepada Ali dan keluarganya? Ataukah kita yang tidak sadar bahwa semestinya kita juga turut menghormati rasulullah dan keluarga intinya dan, kalau dipanjangkan sedikit, orang-orang yang sangat menjunjung tinggi keluarga rasulullah (yaitu para pengikut Syiah itu)?

Saya jadi ingat, sepuluh tahun yang lalu, bahkan saya tidak terlalu peduli (dan mungkin tidak tahu) bahwa agama Islam yang saya ikuti itu ternyata bernama Islam versi Sunni. Saya baru tahu tentang itu ketika membaca buku tentang revolusi Iran, sekitar kurang dari 10 tahun yang lalu. Buku tersebut berbicara tentang syiah ini syiah itu syiah ini syiah itu, dan akhirnya saya jadi pingin tahu apa itu syiah–dan sebagai bonusnya saya jadi tahu apa itu sunni. Dan sebagai bonus terakhir, saya tahu bahwa Islam saya itu Islam Sunni. Dan ketika saya tanyakan ke kanan-kiri, kepada orang-orang Jawa yang Islam dan yang awam, saya ketahui bahwa nyaris semua dari kami tidak tahu apa itu Sunni dan Syiah. Saat ini, saya menahan diri untuk tidak bermelankolia dengan menyanyikan “imagine there’s no sunni, and there’s no shiah too, imagine all the Muslims, living life in peace.” Stop, yang seperti itu tidak akan memberikan sumbangan sedikit pun ke dalam postingan ini.

Dari pikiran-pikiran kilat ini, muncul sepasang pertanyaan dugaan di benak saya: Apakah kita jadi liar seperti ini karena tidak benar-benar tahu apa itu Sunni dan apa itu Syiah, dan ketika tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda dan sekilas tampak mencolok di mata tiba-tiba kita merasa melihat “Islam yang sesat”? Atau, apakah kita jadi liar seperti ini karena kita sendiri yang pada dasarnya mulai sok tahu ingin tampil “membela Islam” dari polutan akidah? Atau, apakah kita jadi liar seperti ini karena Islam kita hanya Islam hafalan, dan ketika ada sesuatu yang melenceng dari hafalan kita kita merasa berkewajiban untuk membetulkannya?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

indra jaya says:

Ajaran islam yg sebenarnya juga haram untuk kita menumpahkan darah saudara kita sendiri,walaupun saudara kita tersesat,kewajiban kita hanya mengingatkan,sudah ditakdirkan islam terpecah belah menjadi 73golongan,hanya satu yg selamat,mari kita mencari satu golongan selamat,yg pasti berdasarkan alquran dan hadist yg sahih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *