Saya sadar sekarang kenapa saya tidak pernah berhenti membuang-buang: karena saya masih punya banyak. Ya, dirantai kayak apapun, yang namanya urusan yang satu itu, saya masih bisa menyempatkan membuang-buang.

Seminggu terakhir, mereka merantai saya, membelenggu kaki saya, mencucuk hidung saya. Mereka suruh saya belok ke kanan, ke kiri, ke depan. Merasa masih belum cukup menyuruh-nyuruh saya seperti itu, mereka tingkatkan lebih jauh: mereka suruh saya maju tapi dari belakang saya ditahan, mereka suruh saya berjalan ke kanan, tapi kuping kiri saya ditahan. 

Tapi, begitu mereka lelah dan membiarkan saya beristirahat sejenak, tetap saja saya balik ke kebiasaan membuang-buang. Saya buang semua. Berceceran. Saya hambur-hamburkan dia tanpa hasil. 

Hingga mereka akhirnya mempercepat istirahat mereka dan segera kembali ke saya. Kali ini mereka bilang:

“Dasar binatang gak tahu diuntung!” kata mereka No. 1.

“Dasar tengik busuk!” kata mereka No. 2.

“Kamu ini memang terlahir untuk kami suruh-suruh. Dasar kunyuk lompat!” kata mereka No. 3.

Saya langsung sadar saya kembali membuang-buang. Yang tidak saya sadari sebelumnya. Maka mereka pun pasang lagi tali di hidungku, pasung di tanganku, bola besi di kakiku, sambil mereka lecut tengkukku.

“Ayo maju!” kata mereka No. 1.

Tapi mereka No. 2 menginjak bola besi di kakiku. 

“Enak begini, kan? Gak ada lagi yang bisa kamu buang-buang?” kata mereka No. 2.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *