Nyanyikan dengan nada signature Vina Panduwinata:
“Hari ini ku gembira,
Pak pos bawa kacamata
Beli online s’harga tiga
Puluh dolar saaaaja…
Satu dua dan tiga-haaa
Ku mulai membaaaacaaaaaaaa!”
Begitulah kira-kira gambaran hati saya hari ini dalam bentuk lagu. Setelah menunggu seminggu setengah sejak saya klik “check out” di sebuah website toko kacamata online, akhirnya saya melihat kacamata bingkai kura-kura dengan mata saya sendiri (yang waktu itu masih pakai kacamata beli di pasar besar Malang). Apakah Anda sudah bisa merasakan betapa besar arti kacamata yg saya beli online ini bagi saya? Kalau belum, teruskan baca cerita ini: cerita tentang hubungan “it’s complicated” saya dengan kacamata di Amerika.
Waktu akan berangkat ke Amerika Serikat untuk pertama kalinya pada tahun 2008 lalu, saya diwanti-wanti oleh pengelola program beasiswa saya untuk—selain mempersiapkan mental dan fisik secara umum—memeriksakan gigi dan membawa kacamata cadangan. Alasannya sederhana saja: karena dua hal itu sangat mahal di Amerika Serikat, dan sangat jarang ada asuransi (khususnya asuransi standar para pemegang beasiswa) yang menanggung kedua hal itu. Demi mematuhinya, saya pun memeriksakan gigi dan memeriksa (ulang) mata.
Maka, ketika saya naik pesawat di bandara Abdulrahman saleh di Malang pada bulan Agustus 2008 yang terasa muram itu, saya memakai kacamata baru dan tambalan baru di salah satu geraham atas. Di koper masih ada satu lagi kacamata baru yg saya jadikan cadangan kalau-kalau ada musibah menimpa kacamata baru yang satunya ini. Dua tahun adalah waktu yang tidak sebentar, dan banyak yang bisa terjadi dalam waktu dua tahun. Kita tidak tahu.
Benar saja, belum setahun, satu kacamata saya pecah karena terbentur pintu mobil yang saya buka dengan paksa karena tercekat salju. Untung ada cadangan. Memakai ban serep artinya kita harus segera membetulkan ban yg bocor, atau beli ban baru. Demi mendengar gosip kanan-kiri bahwa kacamata sangat mahal di negeri Aa’ Syam, saya pun memesan dari Indonesia. Kebetulan waktu itu ada Kak Lili, teman yg sedang mudik ke Aceh. Akhirnya, terjadilah proses petualangan kacamata. Dari sebuah toko kacamata harga miring di Malang, kacamata pun dikirimkan oleh istri saya ke Banda Aceh, ke alamat Kak Lili. Dari Banda Aceh, kacamata yang tak punya paspor dan visa itu pun menyelundup dalam koper, ikut terbang menyeberang Atlantik dan mendarat di negeri celeng Arkansas.
Alhamdulillah, dinamic duo kacamata ini (cadangan dan utama) bertahan hingga saya balik ke Malang tahun 2010. Selain kegemahripahlohjinawiannya, ada perasaan aman tersendiri tinggal di Indonesia itu. Salah satunya adalah perasaan aman karena banyak alternatif untuk barang-barang murah. Misalnya, banyak tukang jahit jins dengan harga super terjangkau (biasanya mereka punya tulisan “Bikin & Vermak” :D), dan banyak toko-toko kacamata “alternatif” yang harganya jauuuuuh di bawah toko-toko optik yang nyaris tak kenal kata murah itu. Kalau di Malang, saya suka beli di lantai 2 Pasar Besar Malang. Bayangkan, kalau di toko-toko optik kacamata (minus dan silinder) paling murah adalah 200-300-an ribu rupiah, di toko-toko “alternatif” itu kita bisa dapat kacamata lengkap (bingkai dan lensa) seharga 70 ribu.
Bagaimana dengan kualitas hasil karya toko-toko “alternatif” itu? Menurut saya, kayaknya sama saja. Saya pakai kacamata sejak umur 15 tahun (artinya sekarang sudah 17 tahun pakai kacamata), dan selalu beli kacamata (terutama bingkai) dari toko-toko “alternatif” itu. Satu-satunya keluhan saya adalah pernah sekali kacamata terasa kurang nyaman dan bikin pusing. Entah apa yang terjadi waktu itu. Selain itu, tidak ada. Tidak pernah sekalipun mendapat kacamata yang tidak awet. Semuanya standar saja. Seringkali saya pakai kacamata itu sampai terasa tidak cocok (butuh ganti ukuran). Kecuali kalau ada kecelakaan-kecelakaan tertentu.
Mungkin toko-toko optik mainstream punya lebih banyak pilihan dan lebih nggaya. Tapi ini ranah yang sangat bisa diperdebatkan. Soalnya terakhir kali saya ke pasar besar Malang, saya menemukan model-model bingkai yang membuat saya ngiler. Ada banyak bingkai ng-Oakley berlabel Oakley yang super keren. Bahkan ada kacamata sport yang bisa diberi clip-on lensa minus dan disertai beberapa pasang lensa berjuta warna untuk ganti-ganti. Tentu saja semua ini cuma ng-Oakley, alias Oakley palsu. Harganya saja “cuma” 250 ribu (sudah termasuk lensa), padahal Oakley yang asli harganya—embuh!—yang jelas mahal. Jadi, soal gaya, sebenarnya toko-toko alternatif ini tidak bisa dibilang ketinggalan juga sih.
Makanya, ketika saya tahu akan kembali lagi ke Amerika pada tahun 2011, saya pun harus periksa mata lagi dan ke Pasar Besar Malang lagi. Saya beli kacamata ng-Oakley yang bukan sport, seharga 70 ribu. Keren lah. Nggantheng dan profesional. Waktu itu saya sempat ngiler pingin beli ng-Oakley sport yg saya gambar di paragraf di atas. Tapi karena dana waktu itu cekak, saya pun hanya beli satu. Dan ketika saya naik pesawat bulan Agustus 2011 itu (kali ini dari Surabaya), saya hanya membawa sepasang kacamata lama dan sepasang kacamata ng-Oakley itu. Agak ketar-ketir juga sebenarnya, soalnya kacamata saya yang ukurannya baru cuma yang ng-Oakley itu. Jadi ya… begitulah. Saya harus berhati-hati dengan kedua pasang kacamata itu. Jangan sampai pecah. Jangan sampai pecah. Jangan sampai pecah.
Yang namanya musibah, mampir juga biarpun diusir. Dalam sebuah adegan lari dari kelas menuju kamar kecil, kacamata ng-Oakley (yg gagangnya tidak punya lekukan itu, yang sekilas tampak nggaya itu) saya melompat jatuh. Dengan gerak lambat. Membentur lantai. Karena sudah terjadi beberapa kali (utamanya karena tidak ada lekukan di kuping itu) saya pun raba-raba lantai dan ambil kacamata itu. Lensa kanan pecah jadi tiga bagian vertikal. Pecahan yang tengah entah ke mana (Sampai postingan ini diturunkan, saya belum menerima laporan tentang keberadaan pecahan di tengah itu). Saya langsung murung. Saya bilang J.K., teman sekelas yang ketemu di kamar mandi itu, “I broke my glasses, man. This is not good!” Kebeles pipit-pun hilang seketika. Saya jadi tidak tahu mau berbuat apa ketika saya menatap cermin kamar kecil.
Untungnya, seperti moral cerita-cerita sastra dunia (khususnya epik): dari kesengsaraan, dari perjuangan, dari perjalanan berbahaya, muncul kebijaksanaan, timbul pelangi pengharapan, timbul kedamaian. Baca saja kisahEpik Gilgamesh, atauAenid,atauMahabharata, atau kisah Nuh di Perjanjian Lama.
Di dunia saya, musibah ini pun membimbing saya menemukan pelangi. Ehem, ehem. Pasca musibah kaca pecah itu, saya harus melakukan riset tentang harga kacamata. Opsi pertama tentu saja telpon saudara di Malang untuk membelikannya di pasar besar. Tapi itu cara yang terlalu mudah, mungkin lebih murah, tapi butuh waktu lebih lama. Maka, saya pun coba medan lokal. Saya tanya petugas asuransi di kampus tentang kemungkinan periksa mata gratis. Tidak ada! Dia hanya memberi saya kupon diskon untuk beli kacamata di Walmart. Paling murah 116 dolar (lensa saja). Terlalu mahal. Ada dokter mata dan jaringan toko optik agak murah. Tapi jaraknya 70 mil. Tidak bisa dijadikan solusi cepat! Kurang feasible. Akhirnya, setelah sekitar 1 jam cari-cari online, saya pun ketemu toko kacamata online bernama 39 Dollar Glasses, yang tawaran dagangan paling murahnya seharga … 39 dolar! Artinya murah! Meskipun 39 dolar kalau dirupiahkan jadi 350-an ribu, jangan bayangkan nilai 39 dolar itu sama dengan 350 ribu. Bayangkan, fast food di kampus untuk makan siang biasanya 5-7 dolar (burger atau sandwich dan minum). Jadi ya, 39 dolar itu sama dengan 7 kali makan lah. Bandingkan dengan makanan standar di Indonesia! Bayangkan beli kacamata dengan harga 7 kali makan siang.
Saya awalnya agak curiga dengan harga kacamata yang murah ini. Maka saya pun cari info kanan kiri di forum-forum internet. Rata-rata mereka puas dengan toko ini. Katanya sih ini toko kacamata murah paling kredibel di internet dan keluhan yang diterima (menurut organisasi layanan konsumen independen) sangat sedikit. Saya juga sempatkan cari di YouTube, di sana ada review dari beberapa orang yang beli kacamata dari toko tersebut. Semuanya puas.
Maka, bulatlah tekad saya: beli kacamata online. Sebuah pengalaman ganjil. Bayangkan, kita beli kacamata secara online, tanpa memegangnya sendiri (dan tidak mencoba sendiri sambil mengaca-ngaca miring kanan miring kiri). Apalah artinya beli kacamata tanpa mencobanya di depan kaca? Dengan ditemani istri (yang selalu bertindak sebagai pengambil keputusan final untuk semua kacamata yang saya beli), saya pun memilih kacamata dari gambar-gambar yang ada. Yang unik lagi, saya harus bawa meteran jahit istri. Soalnya situs kacamata online itu sudah memberikan gambar dan ukuran, dan saya sendiri yang harus membandingkan ukuran dari website itu dengan kacamata yang saya miliki di sini. Pendeknya menyenangkan memilih-milih kacamata baru dengan hanya memegang meteran dan kacamata lama. Tentu tidak dibutuhkan cermin sama sekali dalam proses ini.
Akhirnya palu pun diketok: saya beli sebuah kacamata model cangkang kura-kura (tidak ada satu pun kura-kura yang dilukai dalam proses pembuatannya, insya allah). Satu hal yang perlu kita selalu ketahui, seringkali toko-toko online di Amerika itu punya menawarkan kupon yang tersebar di mana-mana. Maka saya masukkan kata kunci “39 dollar glasses coupon” ke google dan saya pun mendapat beberapa link yang menawarkan kupon-kupon, mulai dari potongan 15 persen hingga potongan 15 dolar untuk 39 dollar glasses. Karena saya beli kacamata standar saja, tanpa aneh-aneh, maka saya pilih kupon yang 15 dolar. Jadi, ketika saya “check out” kacamata pilihan saya dari 39 dollar glasses dan saya masukkan kupon diskon itu, saya pun dapat potongan hingga hanya perlu membayar 28 dolar (termasuk pajak).
Demikianlah, saat ini saya mengetik postingan petualangan mendebar ini dengan memakai kacamata manis seharga 5 kali makan siang standar. Saya ragu Anda pernah beli kacamata dengan harga sebagus ini. Hanya saja, ada satu dua pelajaran yang perlu Anda jadikan pelajaran juga. Kacamata saya cenderung lebih tipis dari pengharapan saya. Jadi ya, kalau Anda mengukur kacamata saat mau check out dari internet, pastikan bahwa ukuran yang Anda inginkan itu sudah pas. Bagaimana dengan kualitas? Ah, kayaknya tidak berbeda dengan kacamata yang saya beli dari Pasar Besar Malang. Eh, jangan-jangan 39 dollar glasses ini markasnya di Pasar Besar Malang? OMG