Mungkin inilah saatnya saya curhat lagi. Beberapa waktu ini–mungkin sekitar setahun–saya jadi ada perasaan malas menulis pada banyak kesempatan. Setidaknya sudah dua musim panas ini saya malas sekali menulis. Padahal, bisa dibilang, dua musim panas ini saya melakukan pekerjaan yang mungkin di suatu masa sempat menjadi impian. Dalam impian saya dulu, kalau saya punya pekerjaan ini, pasti saya punya banyak bahan untuk dijadikan tulisan.
Sekilas info: saya bekerja di sebuah lembaga, bukan sebagai orang yang duduk di meja atau komputer, tapi sebagai orang yang sangat mobile (dalam berbagai level makna istilah “mobile” ini). Saya “mobile” karena saya harus pindah ke sana ke mari, mengurusi ini dan itu. Dan saya juga “mobile” karena salah satu elemen penting dalam pekerjaan saya itu adalah nyopir “mobil” mengantarkan orang-orang. Karena sifat dari pekerjaan saya itu, saya jadi kenal orang-orang dari berbagai penjuru dunia, mulai dari Moskwa yang super dingin di musim dingin, hingga Togo yang super panas di musim panas. Mulai dari Mongolia yang cenderung misterius, hingga Mauritania yang sangat tidak saya ketahui. Mulai dari Lesotho yang dikepung Afrika Selatan, hingga Brazil yang secara geografis bercokol di segala penjuru Amerika Selatan. Mulai Uruguay yang penduduknya cuman 3 juta biji hingga Meksiko yang di Amerika Serikat saja bisa ditemukan di mana-mana.
Semestinya, dengan intensitas pergerakan geografis dan persentuhan psikologis semacam ini, saya punya bahan untuk dituliskan di blog-blog saya yang menjamur seperti wartel di tahun 2000-an. Tapi kenapa saya malah tidak pernah benar-benar bisa menuliskan pengalaman-pengalaman ini dengan semangat juang bergelora seperti dulu lagi? Kenapa saya tidak lagi blogging dengan gusto seperti akting Al Pacino dalam Dog Day Afternoon itu? Apakah karena saat blogging saya tidak mendapat bayaran sebanyak Al Pacino saat berakting di film keluaran tahun 1975 itu? Ah, kenapa baru tiga paragraf blogging saja saya sudah berbelok menyinggung soal “bayaran”? Apakah saya sudah menjadi begitu pragmatisnya?
Balik ke diskusi soal kemalasan ini, saya sebenarnya agak-agak curiga. Jangan-jangan kemalasan seperti ini disebabkan oleh sifat pekerjaan saya yang sangat menyita tenaga itu? Terus terang, sepulang kerja saya seringkali merasa capek dan lebih nyaman leyeh-leyeh sambil menonton X-Files di handphone atau duduk di depan komputer sambil merebahkan punggung di kursi. Saya kuatir, saya jadi malas menulis (dan mungkin juga berpikir–kalau kita menghayati pekerjaan menulis itu sebagai sebuah olah pikir), karena secara tidak sadar saya merasa butuh mendapatkan “gratifikasi” secara fisik atas pekerjaan fisik yang telah saya lakukan. Apakah bawah sadar saya menuntut haknya untuk bermalas-malasan karena telah melakukan pekerjaan yang menguras potensi otot?
Kalau sudah begini, saya jadi khawatir. Sejak entah berapa waktu yang lalu, saya sudah mengenal diri saya sebagai orang yang selalu merasa paling bahagia kalau bisa melakukan pekerjaan yang benar-benar saya senangi. Dan pekerjaan yang sangat saya senangi adalah membaca, menerjemah, mempelajari hal-hal baru, mempelajari ketrampilan-ketrampilan baru, dan menyajikannya kepada orang lain. Bisa dibilang, saya suka pekerjaan yang sifatnya adalah berpikir dan meluangkan waktu cukup panjang sendirian. Tapi, di sisi lain, saya sadar bahwa saya tidak boleh mengeksklusifkan diri hanya mau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seperti itu. Saya harus siap dan dengan senang hati melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat fisikan, pekerjaan yang dilakukan lebih banyak orang di muka bumi ini. Saya tidak ingin tinggal di menara gading dan melukis apa-apa yang dilakukan orang-orang di sawah, jalan dan pasar.
Lantas bagaimana? Kalau saya melakukan pekerjaan golongan kedua, saya jadi tidak bisa melakukan yang pertama. Kalau saya menuruti keinginan melakukan pekerjaan golongan pertama, saya harus menyunat hubungan saya dengan orang-orang dari golongan kedua. Bagaimana?
Apa solusinya agar kedua hal ini tetap terakomodasi dengan seimbang? Saya tidak tahu. Lebih tepatnya, saya belum tahu. Lebih tepatnya lagi, saya belum benar-benar tahu.
Sementara, saya sering teringat hasil “menguping” saya di tukar komentar di sebuah postingan facebook temannya teman-teman saya. Konon, menurut komentar seorang teman yang ditinggalkan di postingan temannya teman saya itu, seorang teman saya yang lain, namanya Dr. Saiful Mahdi, seorang dosen dan peneliti yang membidani kelahiran, menyusui dan merawat sendiri ICAIOS (International Center for Aceh and Indian Ocean Studies), pernah bilang: “Kalau kita berhenti berpikir, berarti kita berhenti menjadi Muslim.”
Saya tidak tahu kesahihan dari ucapan Dr. Saiful ini. Yang pasti, ucapan ini menghantui saya, menjadi petir kecil-kecil di atas kepala, menciptakan pergerakan elektron yang sedikit lebih cepat di dalam otak saya. Mungkin solusinya sesederhana itu. Saya tinggal memaksa diri saya duduk, berpikir, dan menulis (atau–untuk kasus saya–menulis dulu baru dipikir kemudian :D). Mungkin saya perlu makan makanan yang lebih bergizi, mandi lebih sering, atau mungkin sedikit pull up dan push up agar kelesuan fisik dan pikiran ini bisa diberantas.
P.S. Ah, tiba-tiba sadar (inilah enaknya menulis, kita tiba-tiba bisa menyadari apa-apa yang selama ini kita biarkan berlalu di depan mata) sebenarnya keseimbangan hidup saya itu ada di depan mata. Dalam pekerjaan musim panas ini, saya utamanya berurusan dengan dua kelompok orang. Yang pertama adalah guru-guru bahasa Inggris dari berbagai negara (sebagian besar Meksiko). Yang kedua adalah para peneliti atau calon mahasiswa pasca sarjana yang didanai Department of States/Fulbright Foundation. Kelompok pertama adalah orang-orang mencurahkan segenap enerjinya untuk mendidik anak-anak bangsa di negara mereka masing-masing mulai dari Uzbekistan hingga Panama agar menyukai bahasa Inggris dan bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Kelompok kedua adalah orang-orang yang sedang atau akan mempelajari teori-teori yang kelak dipakai orang-orang di lapangan. Saya belum sempat menganalisis lebih jauh bagaimana dua kubu yang cukup berbeda sifatnya ini bisa memberikan jawaban untuk saya. Tapi saya yakin jawabannya ada di sana, atau seperti kata Fox Mulder di serial The X-Files: “The truth is out there.”
renungan yg asik mas bro..
terima kasih bu lik. sugeng midangetaken. 🙂