Saya merasa telah memanfaatkan waktu saya dengan bijak ketika saya telah membaca sebuah novel tapi saya tetap dihantui novel tersebut, misalnya memikirkan hal-hal di luar novel itu atau dihantui dalam bentuk munculnya novel itu dalam mimpi saya. Pendek kata, setelah saya menyelesaikan halaman terakhir novel itu, saya masih terus memikirkannya atau dipaksa memikirkannya.
Awal minggu ini, saya membaca novel semacam ini. Judulnya The Road, novel keluaran tahun 2006 karya Cormac McCarthy. Anda pasti kenal Cormac McCarthy, yang salah satu novelnya pernah difilmkan dengan judul yang sama No Country for Old Men dengan bintang Tommy Lee Jones dan Javier Bardem. Setelah selesai membaca novel ini, saya dihantui oleh bayangan “kiamat” yang lebih mengerikan dari kiamat yang lazimnya kita dengar dalam konteks agama. Kalau agama mengajarkan bahwa kiamat adalah akhir kehidupan jagad raya, yang setelahnya diikuti dengan hari pengadilan, The Road menyajikan “kiamat” dalam konteks sastrawi, di mana setelah bumi porak-poranda masih ada manusia-manusia yang bertahan hidup. Karya sastra (atau karya sinema) semacam ini seringkali dicanteli label “post-apocalyptic” atau “dystopian.” Kiamat semacam ini banyak kita lihat dalam karya-karya sinema seperti film Mad Max atau Waterworld atau yang sejenisnya. Dalam khazanah animasi, kita bisa menemukannya dalam film animasi Disney-Pixar Wall-E. Di sini kita temukan kiamat yang dicirikan dengan kehancuran bumi, ketidakseimbangan alam, hilangnya semua hasil kemajuan dan teknologi, tapi manusia masih ada, mengais-ngais sampah atau sisa potensi bumi.
The Road adalah novel semacam itu. Kita dipertemukan dengan seorang ayah dan anaknya yang berjalan di antara puing-puing peradaban Amerika, kota-kota yang hangus, hutan-hutan gosong, jalan raya yang amburadul, laut yang luntur birunya, jasad manusia yang mengering dan membusuk, kemanusiaan yang remuk, dst. Tidak kita ketahui penyebab kiamat ini. Cormac McCarthy sendiri juga sepertinya tidak mau berepot-repot menjelaskan kepada kita penyebab dari kiamat ini. Dia cuma menyajikan kepada kita gambaran dari dunia semacam itu itu dan apa konsekuensinya terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pasangan bapak dan anak ini berjalan terus–tentu jalan kaki–dari utara ke selatan di akhir musim gugur. Hawa dingin mencabik, Disebutkan berulang-ulang bahwa mereka berjalan ke Selatan untuk mencari sisa-sisa peradaban manusia, untuk menghindari manusia-manusia yang kehilangan peradabannya dan tenggelam ke dalam kanibalisme–yang bisa dibilang lebih rendah dari kebinatangan (meskipun tokoh dalam novel ini mengatakan bahwa manusia sudah menjadi binatang). Kita melihat bagaimana si ayah menanamkan kepada anaknya nilai-nilai yang dalam konteks novel ini terasa ganjil tapi dalam konteks kita sebenarnya wajar-wajar saja. Si ayah menanamkan kepada anaknya bahwa dia membawa api di dadanya, api yang harus dijaga jangan sampai padam. Sebuah ajaran yang akhirnya dihafalkan anaknya meskipun si anak tidak benar-benar memahaminya. Khusus yang satu ini, mau tidak mau saya jadi teringat tentang konsep agama, kompilasi ajaran yang seringkali kita hafal di luar kepala tapi membutuhkan usaha ekstra kita untuk benar-benar memahami dan menghayatinya.
Novel ini menggambarkan atmosfir pasca kiamat itu dengan cukup rinci: seperti apa suasanya, apa yang dilakukan manusia dengan jenggotnya yang terus tumbuh tapi tidak ada kios yang menjual Gillette G2, bagaimana mencari makanan sementara tidak ada lagi tanaman pangan yang tumbuh, apa yang terjadi saat seseorang pertama kali merasakan gelitikan soda Coca-Cola kaleng, apa hubungan antara perbudakan dan kanibalisme, kehamilan dan kanibalisme, dst.
Dengan gambaran mengerikan seperti ini, bagaimana tidak saya sampai bermimpi masuk ke dunia seperti ini, hidup berlumur debu tanpa ada kamar mandi, menderita pilek tapi tidak ada vitamin C atau susu?
Dalam novel ini, si ayah sempat menuturkan kepada puteranya:
“Saat mimpi-mimpimu dipenuhi dunia yang tak pernah ada atau tak akan pernah ada tapi (ketika bangun) kamu bahagia lagi, itu artinya kamu telah menyerah. Tahu, kan, yang kumaksud? Kamu tidak boleh menyerah. Tak kan kubiarkan kamu menyerah.”
Saya cukup yakin Anda tahu ke mana arah pembicaraan saya. Saya cukup yakin “mimpi” di sini bisa diisi dengan “karya sastra.” Saat sebuah karya berisi dunia antah-berantah, berisi imajinasi yang tak pernah dan tak mungkin akan terjadi, semestinya dia membuat kita berpikir. Kalau setelah membaca karya semacam ini tapi kita tetap santai-santai saja, kita bisa bilang bahwa kita telah menyerah. Kita tidak melakukan upaya menimba pelajaran dari sumur sastra itu. McCarthy sebagai juru dongeng kita tidak membiarkan saya menjadi orang yang menyerah. Dia sajikan kepada saya gambaran yang sebegitu kuatnya hingga mau tidak mau saya menjadi tidak bahagia setelah membaca novel ini. Saya bertanya-tanya apa yang akan menyebabkan terjadinya musibah masif semacam ini? Apakah pengurasan potensi alam yang terjadi saat ini bisa menghantarkan bumi menjadi seperti itu (seperti yang terjadi kepada planet Kripton dalam Man of Steel [2013] yang kehancurannya disebabkan eksploitasi alam–semestinya ada diskusi tersendiri soal ini)?
Dengan begitu, menurut saya, The Road adalah novel yang berhasil dalam mengusung tema distopia, tema keadaan dunia yang mengerikan. Lazimnya karya sastra/budaya bertema distopia, dia membawa pembaca/pemirsanya untuk memikirkan kengerian yang bisa terjadi akibat ulah kita hari ini.
P.S. Mungkin lain kali saya perlu mendiskusikan soal tema utopia, yang merupakan kebalikan langsung dari distopia.