Kelak, saat Amerika Serikat sudah lingsir dari hidup saya dan menjadi bagian dari sejarah pribadi saya, mungkin salah satu hal yang paling mengingatkan saya kepada Amerika adalah “drive-through” (dan tentu saja “mobil”). Bagi saya, Amerika adalah negara drive-through, negara di mana orang-orang tidak bisa lepas dari mobilnya, di mana orang-orang ingin cepat dan kalau bisa tidak usah meninggalkan wilayah privat untuk melakukan transaksi-transaksi vital dalam hidup. Satu di antara ruang privat tersebut adalah kabin mobil dan transaksi-transaksi vital tersebut antara lain makan dan transaksi perbankan.
Kita selalu bisa menemukan layanan “drive-through” untuk nyaris setiap layanan vital di Amerika Serikat. Mau beli fast food, yg bisa dibilang paling Amerika di antara semua layanan yang ada, ada drive-through. Mau bayar rekening listrik, bagi yang tidak suka bayar online, ada drive-through. Mau ambil uang di ATM atau setor tabungan ke bank, ada drive through. Mau beli obat di apotik, ada drive-through (setelah memesan lewat telepon sebelumnya). Mau kembalikan buku ke perpustakaan, ada drive through juga.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=UtRQ5gVh5kY&w=560&h=315]
Nah, di antara semua layanan drive-through itu, ada satu yang “paling drive-through” menurut saya: yaitu Sonic, waralaba makanan cepat saji. Saking menghayatinya filosofi drive-through ini, restoran Sonic memiliki jajaran tempat parkir mobil yang dilengkapi dengan “booth pemesanan” yang memiliki daftar menu, interkom untuk menghubungi penerima pesanan makanan, sampai slot penerima pembayaran dengan kartu debit/kredit. Setelah memesan, pelayan restoran akan datang ke pintu mobil Anda untuk mengantarkan pesanan Anda. Bahkan, untuk mempercepat layanan, beberapa pelayan akan datang kepada Anda sambil meluncur dengan sepatu roda.
Setelah mendapatkan pesanan, Anda bisa langsung makan di mobil Anda. Jadi, Anda sama sekali tidak perlu repot-repot berjalan masuk restoran setelah melakukan semua ritual penting yang membuat hubungan sosial kita berhasil–misalnya mandi, ganti baju, dll. Kalau buat orang Jawa, mungkin kita bisa bilang: “Pakai sarung pun kita bisa makan di restoran.”
Tentu saja budaya drive-through ini tidak tanpa risiko. Kita semua pasti sering mendengar kritikan yang diarahkan kepada masyarakat Amerika yang katanya pola makannya tidak sehat dan pola hidupnya juga begitu. Mobil benar-benar menjadi perpanjangan kaki manusia. Orang-orang Amerika juga sangat mengandalkan mobil, sampai-sampai “melupakan” hak kakinya untuk berjalan dan memperlancar peredaran darah. Gerak badan jadi kurang tentunya kalau kita terlalu mengandalkan layanan drive-through semacam ini. Kalau Anda lihat film animasi “Wall-E” pasti Anda merasakan kritikan yang seperti itu. Di film tersebut, manusia-manusia yang tinggal di stasiun luar angkasa itu sudah sedemikian terbiasanya hidup di atas kursi mereka yang super serba bisa, bisa berjalan kemana-mana, dilengkapi sarana komunikasi yang bisa menghubungkan mereka dengan siapa saja, dan lain-lain, sampai-sampai mereka tidak perlu menggunakan kaki mereka untuk sehingga akhirnya kemampuan berjalan pun hilang. Saya melihat dunia Wall-E yang seperti itu sebagai kritik atas budaya drive through di Amerika saat ini.
Di sisi lain, budaya drive through seperti itu juga menjadikan banyak hal lebih efektif. Kita pasti pernah mendengar bahwa salah satu keunggulan kapitalisme adalah efektivitas-nya dalam mengelola perekonomian–dan kehidupan secara umum. Drive-through ini mungkin salah satu elemen terpenting yang menyumbang terwujudnya efektivitas hidup dalam kapitalisme. Transaksi bank terus berjalan meskipun orang yang mau ke bank sebenarnya malas mandi dan ganti baju. Jual beli makanan tetap berlangsung meskipun orang yang buru-buru berangkat kerja tidak punya cukup waktu untuk memasak di rumah atau berlama-lama di restoran. Transaksi di restoran tetap bisa berlangsung meskipun sepasang kekasih sebenarnya ingin menikmati waktu privat bersama tanpa gangguan banyak orang. Dan seterusnya.