Cerita Paling “Anjing!”: Ulasan Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari dari Yusi Avianto Pareanom

Anjing! Atau, untuk lebih puasnya: Asu! Tak peduli apa kata orang, saya yakin “anjing” adalah motor penggerak terpenting dari kisah “Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari” karya Yusi Avianto Pareanom. Di sini kata anjing saya gunakan untuk merujuk ke dua arti pentingnya dalam peradaban kontemporer Indonesia: baik anjing sebagai binatang menggonggong yang disayang pemiliknya tapi dibenci tetangganya maupun, lebih-lebih lagi, anjing sebagai umpatan.

Saat membaca cerpen yang ada dalam buku Rumah Kopi Singa Tertawa ini, kita dipaksa mengikuti sebuah petualangan. Ujug-ujug kita sudah ikut rombongan Raden Mandasia, Sungu Lembu dan Loki Tua, plus anjing buruk rupa bernama si Manis. Kita dipaksa ikut perjalanan serba ganjil empat sekawan ini ke arah Barat. Kenapa ganjil? Karena perjalanan ini seolah terjadi di alam imajiner. Ada seorang Raden, ada anjing dari trah tak jelas dengan ciri-ciri gabungan antara anjing gembala, srigala dan hyena, ada perjalanan kosmopolitan membelah gurun, bahasa asing, musim gugur, angin ganas, dan seorang juru masak dari tanah nusantara(?) yang cukup kosmopolitan dengan pengetahuan perbintangan layaknya orang gurun. Pendeknya–setidaknya selagi kisah ini berbentuk cerpen–cerita ini terjadi di tempat dan waktu yang antah berantah. Sementara saya pakai klise itu dulu sebelum menemukan istilah lebih pas.

Uniknya, acap kali kita mendapatkan ketengilan, kecemerlangan, dan pemantik penasaran lainnya selama berlangsungnya cerita. Percikan-percikan itulah yang terus menggamit tangan kita untuk terus mengikuti petulangan ini, seperti dendeng yang dipakai memancing kita manusia-manusia kucing ini. Sebagai contoh: ketika si anjing buruk rupa kecapekan, para anggota perjalanan ini jadi harus bergantian menggendong si anjing, padahal mereka sangat benci anjing yang agresif itu. Atau, lihatlah ketika Loki Tua yang memiliki visi kosmopolitan ini menyuruh Sungu Lembu menulis catatan perjalanan karena–ini dia–manusia yang tidak menulis dan hidup dalam rutinitas itu tak ubahnya seekor ternak yang “makan dan tidur sebelum disembelih.” Si Loki Tua menyuruh Sungu Lembu menulis catatan perjalanan ketika mereka masih butuh lontar untuk menulis. Khusus urusan menulis catatan perjalanan ini, kita menemukan sesuatu yang membuat kita percaya akan kredibilitas cerita ini. Kita jadi yakin bahwa cerita ini tidak asal ganjil atau asal njeplak saja. Ide yang cukup anakronis seperti ini diucapkan oleh tokoh yang tepat. Visi catatan perjalanan di zaman kerajaan yang masih “oral” dan “lontar” ini disampaikan oleh tokoh kosmopolitan, yang tahu tentang kawasan Barat, tokoh yang sarat pengalaman perjalanan.

Selain itu, ada hal-hal lain yang mengusik penasaran, seperti ketika mengetahui bahwa dua anjing buruk rupa itu sudah dilatih oleh pemiliknya untuk “berhemat” dan “mendaur ulang” makanan dengan cara memakan kotoran satu sama lain. Mengetahui fakta ganjil seperti itu, siapa yang tidak bertanya-tanya “keganjilan macam apa lagi yang menanti di ujung sana?” Inilah momen-momen kita menyeru “anjing!” atau, buat orang Jawa, “asu!” Dan momen-momen seperti ini tak urung malah menggerakkan motor kita untuk terus membaca.

Meskipun cerpen Yusi Avianto Pareanom ini menunjukkan usaha yang cukup tumakninah dalam hal memerangi klise–dan berhasil–ada satu dua juga terlihat klise yang masih bercokol dan butuh ditebas. Satu di antaranya adalah adanya kuda-kuda yang bisa dibilang terlalu kuat. Sebagai orang dari kultur sepeda motor, seringkali kita lupa bahwa binatang tunggangan adalah juga binatang, yang punya rasa lelah dan batas tenaga. Kalau kita baca novel-novel western yang cukup setia dengan kenyataan, kita akan tahu bahwa orang-orang Indian yang tangguh atau para penggiring ternak yang berpengalaman pun pasti masih memakai kuda cadangan. Dalam saga giring sapi peraih Pulitzer The Lonesome Dove karya Larry McMurtrymisalnya, kita dipertemukan dengan tokoh Blue Duck, bromocorah pribumi Amerika yang suka menculik perempuan dan nyaris tidak pernah tertangkap. Resepnya adalah: dia selalu punya kuda-kuda terbaik, dan lebih dari satu. Tokoh utama sendiri, Gus McCrae, tidak berhasil mengejar si bromocorah karena kudanya hanya satu dan itu pun akhirnya harus dia ikhlaskan, dia bunuh dan dijadikan sebagai barikade saat terjadi baku tembak, karena dia sadar setelah perjalanan panjang itu si kuda sudah rontok. Dalam “Tiga Lelaki,” Sungu Lembu menyatakan dengan tegas bahwa Loki Tua pintar memilih kuda yang kuat. Tapi perjalanan tiga hari membelah gurun itu sepertinya terlalu berat untuk si kuda.

Satu klise yang belum divakum lainnya adalah ketika para tokoh kita tiba di sebuah gubuk setelah perjalanan membelah gurun. Begitu tiba di pintu gubuk itu, mereka langsung ambruk, seperti layaknya semua tokoh fiksi ujung perjalanan panjang, padahal sebelumnya mereka masih bisa berjalan sampai ke sana. Kenapa mereka tidak bisa menahan capek beberapa saat saja untuk sekadar berbincang-bincang?

Tapi, seperti saya indikasikan di awal dua paragraf terdahulu, dibandingkan banyak cerita Indonesia lainnya, cerpen “Tiga Lelaki” ini adalah cerita yang menonjol karena anti-klisenya dan keasyikan yang ditimbulkannya selama pembacaan. Banyak detil menarik. Dan cerita tidak pernah kehilangan fokus, meskipun kita si pembaca ini seringkali terjerumus hilang fokus. Satu contoh terbagus bagaimana logika cerita tetap singset dan alur tetap fokus adalah akhir cerita sendiri–yang, demi rasa hormat kepada calon pembaca dan si penulis, tidak akan saya ungkap detilnya. Pendeknya, di akhir cerita, kita si pembaca yang sudah diombang-ambingkan petualangan ini akan menemukan fakta yang mengejutkan–dan tentu saja sambil menyeru “anjing!” Tapi pada saat itu kita sudah lupa sebenarnya apa tujuan awal kita membaca cerita “Tiga Lelaki” ini. Tapi, kalau kita baca lagi awal cerita, kita akan tahu bahwa sebenarnya akhir cerita itu adalah pelunasan dari janji di awal cerita. Kalau sudah begitu, kita mau tak mau harus berseru sekali lagi: Asu!/Anjing!*     *(coret yang tidak sesuai selera Anda.)

Untuk mengakhiri ulasan ini dengan  pantas, perkenankan saya mengutipkan beberapa paragraf dari cerpen ini. Kalau Anda baca paragraf terakhir yang saya sempalkan ini, pasti mau tak mau Anda merasa seolah-olah si penulis cerita ini mengajari kita satu trik penting dalam menulis cerita: jangan sebutkan warnanya, berikan padanannya, jangan katakan mobil, tapi berikan mereknya. Silakan:

Dan, sial dangkalan, bukankah Loki Tua sendiri yang dulu memintaku membuat catatan perjalananku dengan Raden Mandasia si pangeran dari Gilingwesi?

“Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan tidur sebelum disembelih,” kata Loki Tua waktu itu.

Awalnya aku menganggap anjurannya sebagai ejekan. Tapi, pelan-pelan aku merasai nikmatnya. Itulah sebabnya aku jengkel meninggalkan Desa Timur Gurun secepat ini. Aku belum puas menulis di lembaran lontarku. Desa ini sudah lama kondang sebagai penghasil kain dengan warna-warna terbaik di dataran luas kaum penyembah api. Berbagai suku datang ke desa ini untuk membeli kain, bahkan tak sedikit dari mereka yang sudi menyeberangi gurun.

Sekitar seratus tahun yang lalu, suatu pertikaian besar membuat leluhur desa mengharamkan warna disebut. Mengenai pertikaian itu sendiri, akan aku ceritakan lain kali. Yang pasti, orang-orang desa kemudian menggunakan cara lain. Misalnya, mereka akan mengatakan yang darah untuk warna merah, yang keluar dari puting hewan ternak dan perempuan atau cukup yang susu untuk warna putih, dan yang langit awal musim dingin untuk biru pucat. Awalnya hal ini menyulitkan orang luar. Lama-kelamaan para pembeli mafhum. Misalnya, aku pernah mendengar seorang datang memesan di salah satu toko, “Aku perlu beberapa bal yang mata anak haram janda ujung desa setelah kedatangan perampok dari utara.” Yang ia maksudkan biru kehijauan. (“Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari” dari kumpulan Rumah Kopi Singa Tertawa hasil buah cipta rasa dan karsa Yusi Avianto Pareanom)

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

3 comments

Cerpen-cerpen Yusi dalam kumcer tersebut memang ajaib. Hanya satu-dua yang tidak membuat saya ber-anjing-anjing-ria. Saya sampai bingung bagaimana caranya mengulas kejeniusannya menulis. Salam kenal!

wawaney says:

Salam kenal, Roy. Daripada bingung-bingung “mengulas kejeniusannya menulis,” bagaimana kalau dibalik prosesnya? Sampean coba mengulas berdasarkan efek yang ditimbulkan kepada sampean sebagai pembaca? Kalau kita mengulas Yusi A Pareadom sebagai penulis dan manusia, saya rasa sulit. Sebab, bagaimanapun, kita tidak tahu isi kepalanya :D. Jadi ya, mungkin akan lebih bermanfaat buat pembaca yang lain dan tidak salah arah kalau sampean mengulas struktur (salah satu) cerpennya, dampak yang ditimbulkan kepada pembaca, kemiripan atau perbedaannya dengan pengarang lain yang menggarap tema yang sama atau menggunakan genre yang sama, dsb. Selamat lebih menikmati. 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *