Apakah Yusi Pareanom itu Quentin Tarantino Indonesia dan Qentin Tarantino adalah Yusi Pareanom Amerika? Saya tidak berniat memberikan jawaban dalam postingan ini, tapi saya akan coba meraba-raba kemungkinan untuk memahami pertanyaan iseng itu.

Ketika pertama kali membaca cerpen Yusi Avianto Pareanom yang berjudul “Edelweis Melayat ke Ciputat,” saya mendapatkan sensasi seperti ketika pertama kali nonton Pulp Fiction yang disutradarai Quentin Tarantino dan naskahnya ditulis oleh Tarantino dan Roger Avary. Perasaan itu muncul dari adanya berbagai “selingan” tema atau narasi yang seolah tidak langsung berkaitan dengan tema besar cerita. Ketika saya google “Rumah Kopi Singa Tertawa kritik sastra” barusan, saya diarahkan ke situs Salihara.org, yang menampilkan sebuah laporan singkat hasil diskusi atas kumpulan cerpen ini. Poin penting diskusi tersebut, menurut si pelapor, adalah tema “keseharian dan kebetulan” dalam Rumah Kopi. Dua hal ini, menurut saya, adalah elemen yang menonjol dalam gaya Quentin Tarantino. Saya sadar bahwasanya saya butuh membahas lebih jauh lagi soal ini, tapi demi singkatnya, saya sebutkan saja bahwa cerpen-cerpen dalam Rumah Kopi ini banyak menggunakan estetika yang, menurut saya, juga diamalkan oleh Quentin Tarantino. Rasa penasaran itu kian terpupuk manakala* saya membaca cerpen “Telur Rebus dan Kulit Kasim” yang membuat detektor Quentin Tarantino saya berkelip-kelip tanpa henti. Saya lihat ada tendensi tegas dari cerita untuk 1) tidak terlalu tergantung kepada plot (atau, cerita ini punya kecenderungan anti-plot) dan melenakan pembaca dari plot utama, 2) menyentuh indera begidik pembaca, dan 3) mengajak pembaca meringis. Tiga hal ini menurut saya merupakan elemen vital dalam “estetika Tarantino”–sementara saya pakai dulu istilah ini karena, kebetulan, Quentin Tarantino terkenal lebih dulu secara internasional dibanding Yusi Pareanom, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa bisa jadi dia terinspirasi Yusi Pareanom.

“Telur Rebus” adalah cicilan kisah Raden Mandasia, Sungu Lembu dan Loki Tua–yang belakangan saya ketahui adalah bagian dari sebuah novel Yusi. Kali ini, trio kita ini sampai di sebuah kerajaan yang memiliki seorang putri super jelita dan tersohor. Di paruh pertama cerpen ini, si trio melihat sebuah adegan eksekusi yang ganjil. Separuh sisanya adalah tentang upaya si trio untuk dapat menemui putri jelita yang tersohor itu. Hubungan antara kedua cerita ini sekilas terlihat longgar, meskipun sebenarnya cukup signifikan. Cerita pertama adalah contoh eksekusi brutal bagi orang yang gagal dalam misi menemui si putri dan cerita kedua adalah tentang si trio yang rela melakukan apa saja demi menggolkan cita-cita mereka bertemu si putri jelita. Uniknya, di dalam masing-masing bagian itu terdapat subtopik-subtopik menarik yang terus menggelitik dan menyedot perhatian serta emosi pembaca. Saya yakin pembaca bisa dengan mudah lupa hubungan antara kedua paruh cerita itu, seperti halnya saat membaca cerpen “Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari”–tapi bisa jadi saya saja yang memang dasarnya pelupa.

Kecenderungan logika cerita yang sekilas tampak longgar ini juga tampak pada Pulp Fiction. Kata kuncinya: sekilas tampak longgar. Dalam Pulp Fiction, kita disajikan empat fragmen cerita yang disajikan tidak secara kronologis. Yang pertama kita lihat bukanlah awal atau akhir cerita, tapi sesuatu yang bisa dibilang agak di tengah. Dan ketika film berakhir pun, kita juga tidak di awal atau akhir cerita. Alih-alih penasaran dengan plot keseluruhan, si pemirsa malah tersedot dengan kejadian-kejadian kecil dan dialog-dialog menarik yang seringkali membuat kita lupa sebenarnya kita ini mengikuti cerita apa. Tapi, kalau kita lihat lagi dan kita coba melogika fragmen-fragmen cerita tersebut, kita tetap akan temukan juga logika yang menjadi tulang punggung plot film ini–meskipun sebenarnya sudah tidak ada gunanya lagi, karena toh kita sudah menikmati ceritanya. Dalam sebuah paper yang saya tulis dua tahun lalu di sini, saya menyebut keunggulan ini sebagai upaya yang berhasil dalam menghindari komodifikasi plot (kedengaran kayak paper kan? hehehe).

Cerpen “Telor Rebus dan Kulit Kasim” juga memiliki ciri “sekilas tampak longgar” seperti ini, meskipun tidak seektrim Pulp FictionSebelum terlalu jauh, saya ingin singgung juga bahwa sebenarnya ciri semacam ini tidak hanya di cerpen ini; cerpen-cerpen lain dari Rumah Kopi menunjukkan gelagat ini. Kembali ke “Telor Rebus,” cerpen ini tidak sampai menggunakan teknik anti-kronologis seperti Pulp Fiction. Tapi lihatlah: di awal cerita kita langsung dijatuhkan ke setting di mana Raden Mandasia, Sunggu Lembu, dan Loki Tua menjadi saksi sebuah eksekusi keji yang bisa saja terjadi di salah satu film Quentin Tarantino atau di cerpen “Lotere” yang mencekam karya Shirley Jackson itu. Kita secara ikhlas akan tersedot oleh cerita ini. Kemudian, setelah adegan itu selesai, kita akan masuk ke bagian kedua di mana trio kita ini ternyata bercita-cita mempertemukan Raden Mandasia dengan Putri Joodha, yang tinggal di sebuah tempat yang membutuhkan security clearance tingkat tinggi. Kita lihat lah kemudian bagaimana trio kita ini rela menempuh berbagai cara untuk mengegolkan cita-cita aduhai mereka ini. Kembali kita akan tersedot ke dalam strategi yang ditempuh trio kita ini. Dan cerita pun diakhiri ketika … (saya tahan saja lah ini, silakan baca sendiri endingnya). Yang pasti, pada titik ini, kita sudah mendapatkan kepuasan maksimal meskipun kalau ditanya apa hubungan kisah pertama dan kedua kita mungkin agak kesulitan menjawab. Baru kalau kita baca lagi cerita dan kita renungkan pelan-pelan, akan tampak juga–kira-kira–apa hubungan antara kisah pertama dan kedua. Ada celah yang bebas kita interpretasikan di sini–mas Yusi sendiri, yang kaya kosakata, suka menyebutnya “rumpang.” Saya pribadi menganggap mereka mau “menghalalkan segala cara” dalam upaya menemui Putri Joodha itu karena mereka melihat sendiri konsekuensi yang mereka terima bila misi ini gagal (konsekuensinya: eksekusi yang membegidikkan).

Tapi ini kan penggalan novel? Mungkin akan Anda akan bertanya kepada saya. Bisa saja kan dalam bentuk novel nanti strukturnya jadi terlihat jelas? Jawab saya: memang ini penggalan sebuah novel dan mungkin saja nanti sebagai sebuah novel relasi antara satu bagian dan bagian lain lebih jelas. Tapi, perlu juga dipertimbangkan bahwa betapapun “Telor Rebus” ini adalah bagian dari novel, tetap saja dia dihadirkan ke hadapan pembaca sebagai sebuah cerita pendek, dengan ukuran cerita pendek, dan menunjukkan elemen-elemen vital cerita pendek, seperti antara lain keringkesan, kekuatan pada level kalimat, dan pukulan KO di akhir narasi. Terlebih lagi, pelepasan cerpen ini dari novelnya sendiri pun juga melibatkan tindakan memilih (bagian mana yang bisa disajikan terpisah dari konteks besarnya tetapi tetap utuh) dan menambah kurangi (di cerita-cerita cicilan novel ini kita akan ketemu ucapan seperti ini misalnya: “Aku akan ceritakan kepadamu alasannya kapan-kapan” yang pastinya mengacu ke bagian lain di “novel” itu sendiri kalau sudah jadi nanti). Jadi, sekali lagi, sama sekali tidak salah bila kita membaca “Telur Rebus” ini sebagai sebuah cerita pendek utuh.

Bagaimana dengan kemiripan kedua dan ketiga? Sebentar, saya mau bernafas dulu… 😀 (bersambung)

*) Sungguh mati saya nggak pernah menyangka akan berkesempatan memakai kata “manakala” dalam sebuah postingan blog.

4 thoughts on “Yusi Tarantino dan Quentin Pareanom: Telisikan Kilat “Telor Rebus dan Kulit Kasim””
  1. Suka tulisannya… Pulp Fiction itu salah satu film favoritku, dan Rumah Kopi Singa Tertawa itu naga-naganya bakalan jadi salah satu bacaan favoritku… . Semakin dibaca, semakin suka….

    1. Kalau menurut sampean, cerita mana di Rumah Kopi yang mengundang reaksi paling ganjil? Sudah pernah nulis tentang buku ini apa belum?

      1. Aku belum pernah nulis tentang buku ini. Cerita apa ya yang mengundang reaksi paling ganjil? Mungkin ya Telor Rebus ini. Kalau yang paling mengingatkan sama Pulp Fiction, menurutku Sebelum Peluncuran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *