Review Dark Academia

Agak dilematis juga sebenarnya posting tentang buku ini. Judulnya saja sudah berpotensi bikin resisten, khususnya buat mereka yang sehari² hidupnya di perguruan tinggi.

Tapi buat mereka yang percaya proses berpikir yang dialektis dan dialogis, tentu pandangan yang antitesis terhadap apa² yang lazim kita temui ini adalah sebuah kesempatan untuk keluar kotak. Untuk kemudian melihat diri sendiri. 

Begitulah mestinya insan kampus mendekati buku ini. 

Di sini Peter Fleming menyoroti kasus dan pengalaman di perguruan tinggi Amerika, Eropa, dan Australia. Dia urai bagaimana 1) biaya pendidikan semakin melonjak dan banyaknya lulusan yang terlilit utang buat biaya kuliah, 2) besarnya tekanan yang dirasakan dosen, staf, peneliti dan mahasiswa, 3) relasi antara pimpinan PT dan para dosen/staf yang menjadi dingin, pragmatis, dan berbagai hal lain. 

Dalam kondisi itu, Universitas tidak lagi menjadi tempat manusia meningkatkan potensinya, menjadi manusia seutuhnya dalam suasana collective collegial yang setara dan memungkinkan terjadinya diskusi. 

Bagaimana dengan perguruan tinggi di negerinya Ki Hajar Dewantoro ? Apakah yang seperti itu terjadi? Apakah kengerian yang dilihat Fleming juga terjadi? 

Untuk itulah sepertinya kita perlu membaca buku ini. Dia akan menjadi daftar centang atau cermin, kaca benggala buat kita mematut² diri. 

Buku ini memang tidak banyak memberikan solusi, tapi dia cukup detail (dan graphic–istilah Inggrisnya) dalam menggambarkan kengerian itu. Mungkin dari situ, dari melihat masalah dan mengafirmasi masalah demi masalah itu, kita jadi bisa membayangkan solusi, atau pagar yang perlu dijaga. 

Mungkin dari situ kita akan memilih untuk berpegang teguh pada kolegialitas, kesejawatan, human touch, hubungan yang profesional namun personal dan empatik, riset yang tidak di menara gading tapi juga tidak mematikan pengejaran² rasa penasaran, dan sedikit woles dengan metrik. 

Merdeka Belajar tengah ramai²nya hari² ini dan buku ini sepertinya kawan yang tepat unit ikut menafsir dan memaknai gegap gempita ini. Dengan cara yang merdeka. 

Memang ada kekesalan dan resistensi saat baca buku ini, tapi sepertinya itu proses yang diperlukan. Sepertinya.

More From Author

The Boy and the Heron: Miyazaki doesn’t Need to Prove Anything

The Boy and the Heron (2023) is a truly captivating film by Hayao Miyazaki, marking…

“Menari” dan Atmosfer Sindy yang Berubah

Atmosfer musik berubah, attitude lirik yang lebih berani, dan warna suara yang living up to the…

Fiksi Sains apa FIksi Ilmiah? Mencari Science Fiction yang Akurat vs yang Inklusif

Kemarin, saya mendapat link dari Budi Warsito yang mengarah ke tulisan “Fiksi Sains Indonesia” karya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *