(Masih lanjutan dari Dvnia Joyce)
Seperti bisa ditebak dari judulnya, A Portrait of the Artist as a Young Man berkisah tentang masa muda seorang bakal seniman bernama Stephen Dedalus. Novel ini dimulai dari satu episode di masa paling kecil yang bisa diingat Stephen Dedalus. Kemudian disusul dua episode lagi dari masa Stephen menempuh sekolah dasar. Kemudian momen-momen penting dalam masa muda Stephen diperlihatkan saling susul: episode ketika Stephen diajak ayahnya menjual tanah kekayaan warisan, ketika Stephen pertama kali kehilangan keperjakaannya, ketika Stephen merasakan ketakutan yang besar setelah mendengar kotbah retret di sekolahnya, ketika Stephen memutuskan lebih memilih seni tinimbang agama, ketika Stephen menampilkan kecakapan penalarannya atas dalil-dalil filsafat tentang seni, dan ketika Stephen bertekad meninggalkan ibu kandung serta ibu pertiwinya pada akhir cerita. Nah, begitulah kiranya isi A Portrait.
A Portrait adalah novel semiautobiografis. Sebagian besar isi cerita diambil dari kejadian nyata dalam kehidupan nyata. Namun, seautobiografis apapun novel tersebut, masih saja ada banyak bagian yang diubah-ubah demi komposisi dan kelogisan cerita, ditambah-tambahi untuk keperluan dramatis, dan direduksi demi koherensi dan kepadatan. Contoh: 1) James Joyce masuk sekolah asrama pada saat umurnya sudah agak besar dan menjadi salah satu siswa tertua di kelasnya, namun Stephen masuk sekolah saat masih kecil dan menjadi siswa termuda di kelompoknya, 2) James Joyce mengikuti sekolah gereja setelah lulus SD dan sebelum melanjutkan ke Clongowes Wood College, namun Stephen hanya disebutkan setelah SD libur sebentar dan baru kemudian masuk Clongowes Wood, 3) James Joyce baru membaca dalil seni versi Sir Thomas Aquinas ketika sudah berumur 20-an lebih, tapi Stephen sudah bisa menceramahi temannya soal dalil seni Aquinas ketika masih berusia 18-19 tahun. Nah, dari sini saja ketahuan bahwa sebanyak apapun elemen autobiografis dalam A Portrait, tetap saja James Joyce harus mengubah-ubah sejumlah hal demi kenovelan atau kesastraan cerita ini.
Kembali ke James Joyce, A Portrait adalah karya pertama di mana Joyce dengan terang-terangan menyebutkan mengadopsi stream-of-consciousness alias alur kesadaran. Gaya ini dia adopsi dari teori serupa lontaran William James, yang mengacu pada iring-iringan pikiran atau lesatan pikiran di otak seseorang. Lantas, bagaimana wujud stream-of-consciousness ini dalam karya sastra. Kira-kira begini (ini cuma kira-kira lho ya?):
1. cerita terkadang berubah jalur secara tiba-tiba ketika si tokoh melihat sesuatu yang memicu ingatannya akan sesuatu
2. diksi, ungkapan, dan gaya berbahasa sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keadaan emosional si tokoh utama
3. sudut pandang cerita bisa orang pertama atau orang ketiga (dalam A Portrait, yang dipakai adalah orang ketiga), namun jika memakai orang ketiga pun yang bisa diselami hanyalah pikiran si tokoh utama, tokoh lain hanya diceritakan sejauh yang bisa dilihat, didengar, dihidu dan diraba (atau bahkan mungkin dikecap?) si tokoh utama.
4. …
Terkait dengan penerapan lebih lanjut dari stream-of-consciousness, kita bisa melihat gaya bahasa yang dipakai Joyce. Untuk episode pertama, dua lembar pertama A Portrait, yagn mengisahkan sebuah momen di masa balita Stephen Dedalus, James Joyce menggunakan kalimat-kalimat amat sederhana yang membahas sesuatu yang tidak sederhana layaknya seorang anak kecil bercerita. Pada bagian selanjutnya, ketika Stephen masih sekolah dasar, James Joyce menggunakan diksi-diksi yang relatif sederhana namun konstruksi kalimat yang mulai panjang dan tak putus-putus. Hal ini bisa dikaitkan dengan bagaimana seorang anak kecil berbicara tanpa henti, seakan ada berjuta hal yang menunggu untuk disampaikan. Selanjutnya ketika Stephen mulai bisa menyuntuki puisi, gaya bahasa Joyce juga mulai beraroma puitis. Untuk ini kita akan bahas secara terpisah ya (untuk pertemuan berikutnya, 😀 ).
Ada satu lagi keunikan: jalannya cerita yang zig-zag (semoga istilah ini berterima). Kira-kira begini: bab 1 dimulai dengan sebuah keadaan ketika tokoh utama dalam posisi lemah (Stephen masuk sekolah sebagai siswa terkecil dan diintimidasi teman-temannya) dan diakhiri saat posisi Stephen sedang bagus-bagusnya (dia berhasil mengadukan seorang guru kepada kepala sekolah karena telah menghukumnya dengan sewenang-wenang, dan teman-temannya pun menghormatinya), bab 2 dimulai dengan keadaan saat tokoh utama dalam posisi lemah lagi (di sini diawali dengan episode ketika Stephen tidak lagi sekolah dan merindukan teman-temannya dan ditambah lagi dengan selalu dipaksa latihan olahraga oleh seorang paman) dan diakhiri dengan keadaan ketika Stephen bisa melepaskan diri dari tekanan cinta remaja dengan cara menyalurkan hasratnya di lokalisasi, dan demikian pula dengan bab 3, 4 dan 5.
A Portrait bukanlah jenis cerita dengan plot terencana dan menggiring pembaca kepada sebuah penyelesaian dengan harap-harap cemas. Novel ini tersusun atas episode-episode yang masing-masingnya adalah sepenggal kejadian yang dialami Stephen Dedalus di masa-masa mudanya. Seperti disinggung kemarin, episode-episode ini merupakan hasil penggarapan ulang dari epifani-epifani, ingatan-ingatan atas kejadian penting, yang dicatat Joyce sejak dia berusia delapan belas tahun. Ada: 1) beberapa menit dari masa balita Stephen yang meninggalkan kesan, 2) beberapa episode dari masa sekolah SD Stephen, 3) sebuah episode dari masa puber Stephen ketika dia diajak ayahnya mengunjungi kota Cork, 4) beberapa episode dari masa sekolah menengah Stephen, 5) satu episode beberapa jam dari masa kuliah Stephen Dedalus, dsb.
Meski kesannya terpisah-pisah, episode-episode itu memiliki semacam pita merah, yakni proses bertranformasinya Stephen Dedalus dari seorang balita yang hidup di tengah-tengah keluarga pecandu persoalan politik menjadi seorang murid sekolah asrama dengan pendidikan Katolik yang kuat, lalu menjadi seorang penyuka puisi, dan kemudian menjadi remaja cilik penggemar rumah bordil, dan berubah menjadi seorang pemeluk Katolik yang saleh, kemudian memutuskan untuk meninggalkan agama Katolik, dan pada akhirnya meninggakan keluarga serta negaranya.
Sama halnya dengan Dubliners yang terbit dua tahun sebelumnya, A Portrait juga menghadapi masalah dengan kejujurannya menyingkapkan hal-hal. Dalam A Portrait, James Joyce harus mengakui bahwa episode Stephen mengunjungi rumah bordil pertama kali pada usia 16 tahun itu merupakan sesuatu yang sulit diterima kebanyakan orang. Maklumlah, ketika itu masih tahun 1916-an. Ketika itu, kata umpatan “bloody” masih sering dipermasalahkan jika keluar dalam sebuah novel. Tapi, sekarang, ketika orang lebih memuja kekuatan ekspresi ketimbang nilai moral sebuah karya, wajar saja A Portrait bisa menduduki posisi ketiga dalam daftar 100 Novel Terbaik Abad Ini versi penerbit Random House. Terus siapa yang menduduki posisi kedua dan ketiganya? Keduanya adalah novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald. Dan di tempat pertama ada Ulysses bin James Joyce.
Lha ceritanya Ulysses sendiri bagaimana sih? Nah, itu untuk bagian selanjutnya, saya mau buka-buka referensi dulu ya…. 😀