Mengubah Paradigma: Merangkul Preprint dan Mengkritisi Obsesi Publikasi

Hari-hari ini, keunggulan sebuah universitas seringkali seolah-olah terikat pada peringkat kampus. Publikasi ilmiah (yang di jurnal-jurnal itu!) seringkali dijadikan ujung menuju pemeringkatan itu, sampai jadi obsesi. Namun, dalam pencarian saya untuk menemukan formula komunikasi penelitian tanpa terjerat obsesi publikasi, saya menemukan sebuah pemahaman yang membuka berbagai peluang. Saya menemukan bahwa ada berbagai cara untuk mengkomunikasikan temuan penelitian, dan di antara semua itu, preprint muncul sebagai alternatif yang menjanjikan, tanpa terlalu bergantung kepada publikasi jurnal tradisional.

Preprint, atau versi awal dari karya ilmiah yang dibagikan secara terbuka sebelum melalui proses peer-review, telah mendapatkan perhatian di bidang fisika dan biologi di negara-negara maju. Preprint ini memungkinkan para peneliti untuk menyebarkan hasil karya mereka dengan cepat dan menerima umpan balik dari komunitas ilmiah sebelum melewati proses penerbitan yang memakan waktu. Metode ini mendorong transparansi, mempercepat kemajuan ilmiah, dan mendorong kolaborasi antara para ahli di seluruh dunia. Banyak kisah orang yang mendapat mitra riset setelah dia publikasikan riset awal yang dia kerjakan dan menarik perhatian peneliti lain.

Namun, ketika saya menggali lebih dalam tentang lansekap komunikasi penelitian di Indonesia, saya menemukan realitas yang mengagetkan. Preprint masih belum populer, dan mindset dominan masih lebih mengutamakan publikasi jurnal sebagai ukuran tunggal kesuksesan akademik. Saat itu pula saya mengenal karya Dasapta Erwin Irawan, seorang akademisi dari ITB yang penuh semangat memperjuangkan penggunaan preprint di Indonesia.

Irawan menyadari potensi revolusioner preprint dan memulai misi untuk mempromosikan adopsi preprint di negara ini. Blio memahami bahwa obsesi saat ini terhadap publikasi jurnal tidak hanya menghambat penyebaran penelitian secara tepat waktu, tetapi juga melanggar prinsip etika. Kayaknya soal prinsip etika ini buat diskusi di waktu yang lain deh.

Menerima preprint sebagai solusi menawarkan banyak keuntungan yang dapat mengatasi dilema etika yang terkait dengan sistem publikasi jurnal. Dengan membagikan temuan penelitian secara terbuka dan segera, para ilmuwan dapat menerima umpan balik berharga, menyempurnakan karya mereka, dan meningkatkan kualitas penelitian secara keseluruhan. Selain itu, preprint memungkinkan para peneliti untuk mendapatkan prioritas atas hasil penemuan mereka, mencegah kasus pencurian ide atau penundaan pengakuan yang tidak adil.

Di luar keuntungan-keuntungan ini, preprint juga mendorong kolaborasi, pertukaran interdisipliner, dan inklusivitas. Mereka memungkinkan para peneliti dari berbagai lokasi geografis, institusi, dan latar belakang untuk mengakses penelitian terkini, yang pada gilirannya meningkatkan diskusi ilmiah yang lebih beragam dan kuat. Demokratisasi pengetahuan ini memperkaya ekosistem ilmiah, mendorong inovasi, dan menciptakan peluang bagi peneliti yang mungkin menghadapi hambatan dalam kanal penerbitan tradisional.

Menurut saya inilah saatnya komunitas akademik di Indonesia untuk merangkul potensi preprint dan menahan diri dan mengkritisi obsesi kita terhadap publikasi jurnal ilmiah yang masif pada saat ini. Tentu ini bukan berarti menentang jurnal ilmiah. Konyol dong ya gak sih? Dengan mengubah fokus kita pada komunikasi penelitian yang terbuka, transparan, dan efisien, kita dapat membangun budaya penelitian yang lebih kuat dan lebih etis. Melalui upaya tanpa henti dari para akademisi seperti Dasapta Erwin Irawan, kita memiliki kesempatan untuk membentuk masa depan ilmu pengetahuan di Indonesia, dengan mendorong kolaborasi, inovasi, dan dampak sosial yang melebihi batasan peringkat universitas.

Mari kita ciptakan jalan yang mendorong berbagi pengetahuan, merangkul keberagaman, dan mendorong kemajuan di dunia yang terus berkembang.

More From Author

Teknologi Penerjemahan: Seri Tulisan

Kita sudah tahu Google Translate, CAT Tools, and ChatGPT yang bisa membantu penerjemahan. Itulah teknologi…

Kafe Pustaka Pamit dengan Bangga

Setelah 9 tahun, melewati badai event literasi, gelombang demi gelombang pandemi, dan pergeseran administrasi perguruan…

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

1 comment

Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa preprints kebanyakan hanya jadi placeholder artikel ilmiah sebelum dapat pendanaan untuk publikasi, co-author yang agak “mentereng”, atau justifikasi-justifikasi lainnya sebelum mengirim artikel ke penerbit ilmiah.

Di arxiv, preprints.org, plos, medrxiv, atau server lainnya; kelewat banyak artikel dengan “0 comment” dan nampak tidak ada pergerakan dalam waktu yang lama. Bahkan di RIN-arxiv (dulu: INA-arxiv) tidak ada menu untuk memberikan komentar. Blog Pak Wawan lebih kaya fitur in this regards. Kantin dan warung kopi antar-jurusan bisa jadi wahana diskusi yang lebih bermakna daripada sekadar menaruh artikel preprint.

Obsesi publikasi itu tidak sehat, preprint tentunya tidak sempurna. Tapi rasanya kalau kita menghendaki Indonesia yang lebih cendekia, komunikasi yang santun dengan semua pihak (teman sendiri, orang asing, orang yang sok kenal sok dekat, atasan, orang di pinggir jalan) dan runtun (dalam tulisan); rasanya kita semua setuju.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *