Makan Bagel, Makan Kenangan

Ada banyak makanan yang baru kita orang kenal untuk pertama kalinya waktu di negeri Amang Sam. Bagel adalah salah satunya. Waktu pertama kali makan bagel di Portland saat Orientasi Fulbright, kita orang ngira itu donat yang agak terlalu keras. Dan, waktu ada kawan membawakan krim, kita orang oleskan itu di atasnya. Untung kawan kita dr Jerman cukup sabar dan tidak judging waktu menjelaskan. Di situlah pertama kali kenal bagel.

Bagel beli di Malang

Kelak, kita orang tahu bahwa bagel ini makanan yang sangat populer di Amerika. Di kampus Fayetteville ada kedai bagel keren bernama Einstein Brothers. Agak Mahal sih buat ukuran kita orang, tapi ya pernah juga lah beli. Kalau diberi pilihan pastry, croissant, donat, cookie, dan bagel, tentu pilihan jatuh ke bagel. Nggak terlalu manis, nggak terlalu lembut, dan ya… kurang lebih cukup mengenyangkan.

Belakangan, seiring semakin banyaknya tahu tentang minoritas etnis Amerika, kita orang jadi tahu bahwa bagel ini adalah salah satu “makanan Yahudi.” Tentu di sini maksudnya adalah makanan yang dibawa imigran Yahudi Ashkenazi asal Polandia yang awalnya banyak tinggal di kawasan New York.

Namun, seperti halnya Pizza yg dibawa orang Italia, Taco yang dibawa orang Latino/a, bagel juga jadi “makanan Amerika.” Ada seorang guru di tempat kerja kita orang dulu yg bilang “you’ve never lived in the US until you like Mexican food.” Kamu belum lengkap kerja di Manhattan kalau belum pernah makan siang dengan pizza (tipis ala new York) terlipat di satu tangan sambil jalan balik ke kantor.

Mungkin ini bombastis.

Kembali ke bagel, waktu kerja di Spring International, kita orang sering dapat tugas menyiapkan continental breakfast Kalau menyambut mahasiswa peserta summer program yang baru datang. Yg pesan makanan kayaknya bos besar: bagel beberapa kardus, cream cheese berbagai rasa (saya suka rasa Philadelphia cheese original, tapi kadang juga suka yg rasa blueberry), kopi dalam kardus (ya, kita bisa beli kopi panas dalam kardus!).

Kita orang kebagian tugas menjemput semua sarapan kontinental ini ke restonya dan menatanya sebelum para peserta summer program datang.

Karena inilah, makan bagel terasa seperti makan kenangan.

Setelah balik ke Malang lagi, saya tidak pernah ada keinginan untuk mencari bagel. Bagel seperti bagian dari kenangan yang hanya bisa diakses di pikiran. Tapi kemarin seorang kawan mengajak ke satu tempat yang salah satu makanan andalannya adalah bagel. Akhirnya ketemu lagi dengan bagel. Bagelnya enak dan cream cheese-nya juga pas. Tapi, entah kenapa, sepertinya saya masih lebih suka kalau bagel ini menghuni kenangan saja.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *