Misdi baru saja keluar dari kantor Mahasiswa Internasional untuk menyelesaikan urusan ijin tinggal yang memang harus segera dia perbaiki. Segalanya sudah selesai dan sekarang dia tinggal memastikan status pekerjaan musim panasnya.
Dia berjalan menuju bagian tengah kampus, menuju salah satu food court. Seharian ini dia belum makan karena terlalu resah dengan apa yang harus dia selesaikan. Dia bayangkan, seperti inilah nanti kalau memang sedang tidak ada uang. Sementara sih, belum pernah dalam hidupnya kekurangan uang. Dulu, ketika kuliah di Malang, pernah beberapa kali dia tidak punya uang sama sekali. Tapi dia punya teman kost yang tidak akan mungkin membiarkan dia sendirian saat mereka keluar mencari makan. Lagipula, sejak tahun kedua kuliah, dia sudah ngajar kursus privat pelajaran. Jadi, dia selalu punya uang tambahan. Di sini, mungkin saja dia tidak punya uang, tapi dia punya teman sekamar yang selalu siap membantunya. Paling tidak, dia suka membagi makan malamnya saat dia benar-benar tidak sempat memasak.
Di perempatan, dia sudah akan memencet tombol menyeberang, tapi lampu tanda menyeberang sudah menyala. Ketika sedang berada di tengah jalan, di ujung matanya dia merasa ada kendaraan mendekat. Indera laba-labanya langsung aktif. Sebuah sedan Jepang merah muda mendekat. Dia langsung menyangka itu Frannie. Kilauan matahari sore dan bayangan langit di kaca depan membuatnya tidak bisa segera melihat dan mengenali si sopir. Tapi, karena dia percaya tidak banyak sedan Jepang merah muda di Kota S ini, dia semakin yakin itu Frannie. Misdi tidak menghentikan langkahnya sambil terus mencoba memastikan siapa pengemudi sopir itu. Mobil itu tidak memasang plat mobil, seperti kebanyakan mobil di negara bagian ini, tapi dia semakin yakin. Sebentar dia bisa melihat orang yang ada di kursi penumpang, seorang lelaki muda, mungkin mahasiswa. Sesaat kemudian, Misdi baru bisa melihat sopir. Frannie. Rambut coklatnya bebas seperti biasa.
Tanpa sadar Misdi mengangkat tangannya, seperti akan melambai. Frannie hanya mengangkat jari-jarinya, tanpa melepaskan tangannya dari setir. Seolah-olah dia sekadar mengkonfirmasi diterimanya pesan Misdi yang terkirim tanpa sengaja.
Senyumnya terhalau. Terhalau kaca. Terhalau sesuatu.
Seorang pengendara sepeda mendahuluinya, begitu juga beberapa orang lain. Sepertinya Misdi menyeberang terlalu lambat. Dia menoleh ke arah lampu penyeberangan, masih ada sekitar tujuh detik lagi sebelum lampu penyeberangan berubah merah. Ketika dia menoleh lagi ke arah mobil Frannie, terlihat Frannie berbicara dengan pemuda yang duduk di kursi penumpang. Lagi-lagi bayangan langit di kaca mobil menabiri Frannie.