Di bagian mesin pencetak, dia segera menuju sebuah komputer kecil yang berada di antara dua mesin pencetak. Di situ dia segera mengetikkan nama dan kata kuncinya. Di layar selanjutnya, terlihat beberapa dokumen yang sudah dia kirimkan ke mesin pencetak. Dia tinggal pencet “Print.” Selang beberapa detik kemudian terdengar dengung dari salah satu mesin pencetak, yang selanjutnya menyajikan dokumen itu di tatakan kertas. Beberapa lembar kemudian, Misdi segera meninggalkan komputer dan mengambil lembar-lembar dokumen tersebut. Dia periksa sebentar lembar-lembar itu, dan begitu yakin bahwa hanya itu dokumen yang dia cetak, dia segera berjalan kembali ke pojok mikrofilm.
Di ujung lorong, di pintu masuk atau keluar perpustakaan, tampak seseorang yang dia kenal. Matthew. Dia salah satu mahasiswa paling cemerlang di jurusannya. Dan seorang kawan yang cukup baik. Misdi melangkah cepat-cepat menuju pojok mikrofilm. Bukan saat yang tepat untuk bertemu dia, pikirnya. Lagipula, tambahnya, hari ini waktuku tidak banyak.
Misdi menyelinap ke pojok mikrofilm untuk kembali duduk di komputernya. Dia periksa email, dokumen-dokumen dari Bank of America. Dia juga ambil folder kertas dari dalam tas selempangnya untuk memastikan dia masih punya dokumen-dokumen lain yang dia butuhkan. Beberapa waktu yang lalu dia membuat salinan halaman identifikasi di paspornya, lembar visa, dan lembar masuk Amerika Serikat. Sepertinya dia sudah punya semua dokumen yang dibutuhkannya. Begitu yakin dengan apa-apa yang dia butuhkan, Misdi segera log off dari komputernya dan beranjak pergi.
Dia berjalan melewati lobi perpustakaan menuju pintu keluar. Tapi, ketika sudah nyaris mendekat interchamber, terdengar:
“Misdi dude!” tampak Matthew berdiri di depan mesin pemindai kilat. Tangannya kirinya menekan buka yang ditelangkupkan di atas layar mesin pemindai. Tangan kirinya mengangkat penutup pemindai.
“Hey, Matt!” jawab Misdi. Tentu ini bukan pertemuan yang dia harapkan.
“Where’ve you been, dude?” tanya Matthew, penuh antusiasme seperti biasa. “You never show up in our events. I’s like, what’s going on with this guy?”
“Well, you know,” jawab Misdi.
“Well, I know!” jawab Matt. “So what? The hell, dude!”
“Hahaha,” jawab Misdi. “The hell…”
“Yeah, the hell! Say it with gusto, dude!”
Selanjutnya pertemuan yang tak diundang itu pun berlanjut menjadi perbincangan kecil tentang disertasi yang sedang mereka kerjakan. Tak bisa digambarkan, bagaimana dalam perbincangan impromptu nan insidental itu, banyak teori di bidang mereka yang terlontar santai seperti bola futbol yang dilempar antara dua kawan SMA yang baru bertemu kembali setelah sekian lama. Tapi, sebagaimana saya sebutkan di depan, demi melindungi identitas Misdi dan demi merahasiakan jurusan Misdi, saya tidak akan menceritakan kepada Anda detil perbincangan antara Misdi dan Matthew ini.