Kali ini, sebenarnya dia tidak harus menggunakan pojok mikrofilm ini. Dia tidak perlu membaca buku atau menulis untuk skripsinya. Dia hanya perlu mencetak sebuah dokumen dari Bank of America yang berisi informasi berapa banyak uang yang ada di rekeningnya saat ini. Dia melihat angka itu dan cukup takjub juga. Betapa banyak uang yang saat ini ada di sana. Tentu saja itu bukan uangnya semua. Bukti bahwa ada ribuan dolar di rekening itulah yang akan menyelamatkan keberadaannya di sini, yang memungkinkan dia tinggal di Amerika hingga beberapa waktu ke depan. Dia harus mencetak bukti itu hari ini dan segera menyerahkannya ke pegawai kampung yang menangani urusan imigrasi. Dan itu harus dia lakukan sebelum mereka pulang kantor sore ini. Uang sebanyak itu, uang Waluyo.
Kadang-kadang dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri jujurkah dia saat melakukan ini? Semestinya dia harus menunjukkan bahwa dia memiliki sejumlah uang untuk menjamin bahwa dia akan bisa bertahan hidup hingga tahun depan. Masalahnya, uang yang ada di dokumen ini bukan uangnya sendiri. Tapi, Misdi mencoba meyakinkan dirinya, sebenarnya boleh saja aku menggunakan uang pinjaman dari orang lain, kan? Semestinya itu boleh, asalkan orang itu sendiri setuju dan menyatakan secara tertulis bahwa dia bersedia membantuku bila kelak aku mengalami kesulitan finansial. Tapi, bukankah Waluyo tidak pernah memberi pernyataan langsung semacam itu? Bukannya dia tidak pernah menulis surat pertanyaan itu? Iya, pikir Misdi, tapi dengan mentransferkan uangnya ke rekeningku tanpa harus ada perjanjian pinjam-pinjaman, bukankah itu berarti dia sebenarnya menaruh kepercayaan yang sangat besar kepadaku? Bukankah itu bisa diartikan dia sebenarnya bersedia meminjamiku uang nanti kalau aku benar-benar kerepotan? Misdi mencoba menalar semua ini. Dia jelas-jelas tidak melanggar hukum asalkan dia bisa menunjukkan uang itu kepada pegawai imigrasi kampus. Tapi yang lebih penting lagi, dia hanya ingin merasa tenang karena tidak membodohi siapapun.
Tapi, kalau dipikir-pikir, waktu terlalu singkat, dan ketika waktu sudah terlalu singkat, segalanya bisa memenuhi syarat menjadi darurat, dan dalam keadaan darurat, segala upaya mempertahankan diri bisa diterima. Asalkan tidak melukai orang lain. Begitu, kan?
Setelah mengirimkan dokumennya ke mesin cetak, dia segera berdiri dan menuju ke mesin cetak yang ada di lobi perpustakaan. Baru saja dia keluar dari ruang mikrofilm, dia berpapasan dengan Jeremy, seorang pegawai perpustakaan yang juga pernah mengambil kelas dengannya beberapa tahun lalu. Sebagai pegawai tetap di kampus, dia bisa mengambil kelas dengan biaya yang terbilang sangat murah, kira-kira 20 dolar per satu mata kuliah. Jeremy sudah mengambil banyak sekali kelas, dan beberapa jurusan. Seingatnya, dia sudah menyelesaikan kuliah untuk bidang Antropologi, Kimia, dan Sastra Inggris.
“Hi, man,” sapa Jeremy. “What’s up?”
“Not much, just printing out some documents,” jawab Misdi. “How about you?”
“Well, working?” jawabnya sambil tersenyum.
“So, how’s the whale doing?” kata Misdi. Ketika mereka sama-sama mengambil kelas di jurusan Sastra Inggris dulu, mereka membaca Moby Dick, dan Jeremy bilang sudah beberapa kali baca novel itu, dan dia tetap keranjingan. Sejak itu, setiap kali bertemu Jeremy yang mereka bicaarkan adalah Moby Dick. Jeremy cerita bahwa dia punya buku yang isinya pikiran-pikirannya tentang Moby Dick. Suatu kali ketika bertemu Misdi bercerita mendengar Moby Dick melalui audio book ketika dia mengikuti sebuah konferensi di Savannah Georgia dan memilih bermobil ke sana.
“Well, my fan fiction character is creating a time machine that can take her to the future to get some kind of technology that enables her to build a world-wide whale scanner and an interdimensional port so that she can slide into the world of literature and go to the past to deliver the world-wide whale scanner to Captain Ahab. That way, Captain Ahab can easily find the whale without sacrificing everybody else, including our narrator.”
“Well, that’s a huge progress from the last time,” balas Misdi. “So, what’s the deal with this science fiction twist?”
“I took a science fiction class last semester,” kata Jeremy. “In the English Department, of course.”
“Ah, sweet,” balas Misdi. “You’re such a lucky person. You can take as many classes as you like in your life, man!”
“I guess that’s okay just for now,” kata Jeremy. “Anyway, I’ll talk to you later, man. I need to be on my desk in case anyone needs assistance.”
“Good to see you, Jeremy,” kata Misdi. “I’ll also have to take care of these old documents too. They’re my future. You’re such a lucky person, man.”
“You as well, man,” kata Jeremy sambil berjalan mundur menuju mejanya.
Semoga, Jeremy. Semoga. Beruntungkah aku? Misdi segera melanjutkan ke mesin pencetak untuk mengambil dokumen yang dia kirimkan ke mesin pencetak tadi. Beruntungkah aku? pikir Misdi.