Kenapa Orang Pakai Topi?

Misdi masih bertanya-tanya apa yang berbeda dengan Frannie hari ini tadi. Ah, rambutnya tergerai! Jarang-jarang dia melihat Frannie dengan rambut tergerai, apalagi saat nyetir mobil. Setidak-setidaknya, dia biasanya mengikat rambutnya. Dia tidak suka hembusan dari luar, hembusan AC atau pemanas memainkan rmbutnya. Katanya risih saat ada rambut bermain-main di lehernya, terutama di bagian tenggorokan. Seringkali, dia memakai topi kampus dengan tulisan atau maskot tim futbol. Misdi ingat perbincangan tentang topi, yang terjadi pada saat sarapan di food court, tempat mereka biasa bertemu, meskipun Misdi selalu masak sendiri di rumah. Karena satu atau lain hal, lebih baik saya terjemahkan saja perbincangan itu:

Dee,” selalu ada jeda sebentar saat Frannie akan memulai diskusi serius. Sedikit pendahuluan: sejak pertama kali berkenalan, Frannie selalu memberi penekanan pada suku kata kedua, Misdee, tanpa tanya terlebih dahulu bagaimana melafalkan nama Misdi. Dan tak lama sejak perkenalan, Frannie lebih memilih memanggil Misdi “Dee,” berbeda dengan orang lain yang cenderung memanggilnya “Miss.” Misdi menikmatinya, terutama karena namanya jadi terasa bernuansa ibukota, setidaknya seperti nama artis dari Bandung. “Kamu tahu, nggak, kenapa orang suka pakai cap.”

Cap apa?” Misdi tidak tahu yang dia maksud.

Cap ini,” katanya sambil menunjuk topi yang dia pakai. “Topi. Ya, segala jenis topi. Topi bisbol. Topi koboi. Topi sopir truk.”

“Oh,” jawab Misdi. “Pasti banyak sebabnya. Tergantung orangnya.”

“Menurutku, Dee,” kata Frannie, sambil tangannya memegang burger sarapan isi telor. “Utamanya ada tiga.”

“Haha,” Misdi tergelak. “Memang ada studi tentang itu?”

“Ada tiga,” kata Frannie, tak mau teralih konsentrasinya. “Pertama, karena ingin menyampaikan argumen, seperti misalnya temanku Jerry yang setiap kuliah ‘American Government’ selalu pakai topi POW, prisoner of war.”

“Hmm,” Misdi menyimak.

“Ya,” kata Frannie mulai serius. Dia letakkan burger isi telor yang belum dia gigit sama sekali itu. Setiap kali bersama Misdi, dia tidak pernah memesan makanan  yang mengandung daging babi asap. “Topi adalah aksesoris paling dekat dengan wajah, dan paling menonjol dibandingkan aksesoris kepala lainnya. Jadi saat melihat orang memakai topi, orang tidak mungkin tidak menyadari adanya topi itu.”

“Oke,” Misdi mengangguk. “Terus, kedua?”

“Kedua,” kata Frannie. “Karena rambut si pemakai mulai menipis dan dia belum benar-benar siap menghadapi kenyataan.”

“Haha,” Misdi kaget.

“Seperti bapakku,” kata Frannie.

“Oh, sorry,” kata Misdi. “Bukan maksudku.”

“Nggak masalah,” Frannie tenang sekali. “Bapakku sendiri yang bilang suatu kali sebelum dia pergi ke rumah temannya malam-malam pakai topi golf.”

“Ya,” kata Misdi. “Topi golf malam-malam.”

“Ketiga,” kata Frannie. “Dan ini yang paling lazim dan sepertinya sayangnya cuma ini yang diketahui semua orang. Terutama orang yang bukan penggemar topi sejati.”

Frannie terdiam sebentar. Misdi mengira Frannie akan mengatakan sesuatu lagi. Tapi dia hanya diam. Frannie mulai menggigit burger isi telor yang sejak tadi belum sempat termakan.

“Jadi apa alasan ketiga tadi?”

“Oh, sori,” kata Frannie. “My bad. Alasan ketiganya adalah untuk melindungi. Dari macam-macam. Ada yang ingin melindungi dari panas. Ada yang melindungi dari hujan.”

“Jadi?”

“Jadi intinya adalah tiga: Menyampaikan argumen atau mengatakan sesuatu, melindungi secara mental, dan melindungi secara fisik. Kalau ketemu orang pakai topi, pasti alasannya satu dari itu.”

“Kalau kamu sendiri, pakai topi gambar [maaf, Misdi mengatakan binatang maskot universitas yang tidak bisa saya sebutkan demi menjaga kerahasiaan Misdi], apakah untuk menyampaikan argumen bahwa kamu fans berat tim futbol?”

“Nggak,” kata Frannie tenang. “Aku karena alasan kedua dan ketiga. Ada harinya aku malas menata rambut waktu bangun tidur. Topi adalah juru selamatku kalau sudah begitu. Dan, aku tidak suka kalau rambutku terbang ke leher dan tenggorokan kalau sedang nyetir.”

“Kenapa tidak yang pertama?” kata Misdi. “Bukannya kita semua ini fans berat tim futbol kampus?”

“Nggak,” tenang. “Abangku mengalami concussion waktu main futbol di SMA. Dia meninggal sebelum umurnya 21 tahun. Dua minggu lagi aku sudah lebih tua dari dia waktu masih hidup.”

Dan Misdi pun sejak itu selalu ngeri membayangkan kejutan apalagi yang akan keluar dari mulut Frannie. Dia tidak pernah mempersiapkan diri untuk berteman dengan orang yang selalu bisa mengejutkannya, dan kejutannya selalu membunuh. Dan kini, dia ingat-ingat, dia lebih banyak membiarkan Frannie bertanya dan bercerita. Dia yakin Frannie tahu lebih banyak tentang Indonesia daripada Misdi tentang keluarga Frannie di kota kecilnya sana.

Misdi melanjutkan langkah menuju food court, kali ini dia ingin benar-benar makan siang. Dia mulai terbiasa makan di food court, burger ikan, ekstra acar. Sendirian.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *