Laporan Studi Banding dari Kampus Universitas Harvard

Maka, saudara-saudara penggemar studi banding yang sangat saya hormati, akhirnya saya harus membuat postingan blog langsung dari tempat kejadian. Mungkin ini untuk yang pertama kalinya. Tapi saya punya alasan yang semoga cukup kuat untuk melakukan ini: karena saya tidak bisa memotret.

Dengan demikian, saya mulai laporan studi banding kali ini, dari Perpustakaan Widener di Universitas Harvard, Cambridge, Massachusetts (ejaan ini akurat, karena digoogling dulu sebelum dituliskan.

Tujuan saya masuk ke perpustakaan ini sebenarnya ada dua: karena saya butuh tempat yang tenang untuk menulis, dan kedua karena saya pernah lihat perpustakaan ini di film With Honors (1994) yang dibintangi oleh Brendan Frazer dan Joe Pesci. Saya lupa pemeran perempuan di film itu, yang sejak awal sangat urakan tapi lebih punya hati dibandingkan tokoh utama yang dibintangi Frazer, yang meskipun sangat cemerlang tapi sepertinya kurang punya hati.

Saya yakin, setelah membaca paragraf di atas, Anda jadi tahu mana alasan yang lebih kuat menyebabkan saya masuk ke perpustakaan ini. Ya, Anda benar. With Honors terlalu bagus, dan terlalu kuat kesannya bagi saya.
Awalnya, saya pikir masuk perpustakaan ini ya biasa-biasa saja. Tapi, ternyata masuk perpustakaan ini harus lewat semacam pintu masuk yang dijaga seorang ibu. Dan itu hanya boleh dilakukan oleh mahasiswa Harvard saja.
Saya nyaris saja tidak bisa masuk ke perpustakaan ini. Si ibu bersikukuh bahwa kalau bukan mahasiswa saya tidak bisa masuk ke perpustakan ini. Saya balik badan, sudah nyaris saja keluar, tapi si ibu bilang:

“Yang melingkar di lehermu itu apa, Dik?”

“Oh, ini,” saya ingat keplek yang menggantung di leher saya. “Oh, ini ada seminar buku. Saya ikut seminar di sini.”

“Berarti sampean boleh masuk kalau begitu,” kata si ibu. “Aku pikir sampean tadi cuman turis biasa.”

“Bukan, Bu,” kata saya. “Matur suwun full, bu.”

Saya pun masuk dan langsung duduk di salah satu meja yang mungkin pernah disentuh Brendan Frazer. Dan langsung bertanya-tanya, bagaimana mungkin perpustakaan ini bisa seketat itu, sampai-sampai hanya mahasiswa Harvard Saja yang boleh masuk? Mungkin saja perpustakaan ini sedemikian antiknya.

Ah, kapan-kapan saja saya akan riset soal perpustakaan ini. Saat ini, biarkan saya gambarkan seperti apa pemandangan di sini. Ya, harus saya gambarkan dengan kata-kata saja, karena memang barusan ada tulisan dilarang memotret, dan harus minta izin ke seseorang dulu sebelum memotret.

Ketika masuk, saya lihat semua meja sudah terisi orang barang satu atau dua. Biasanya, tiap meja berukuran sangat besar, seperti dua meja kayu yang ditata berhimpitan (meskipun sebenarnya cuma satu meja). Di tiap meja ada empat kursi. Saya lihat yang paling dekat saya ada sebuah meja yang hanya diduduki seorang mahasiswa perempuan. Di sebelahnya ada kursi kosong yang belum ditarik, masuk mepet ke meja. Di atas kursi itu tersampir sebuah jaket tebal warna krem gelap dan sweater garis-garis horisontal warna putih dan toska pudar. Ada setumpuk buku juga, sejumlah. Yang paling bawah paling besar. Mahasiswa perempuan, satu-satunya yang duduk di meja ini menatap saya dan saya mengangguk, semacam memberi gestur bahwa saya ingin duduk di situ dan dia mempersilakan. Tidak akan ada perbincangan karena ini ruang sunyi dan tidak semestinya kita ngobrol. Dia sibuk SMS-an, dan saya langsung duduk untuk menulis postingan ini.

Terdengar hanya desis AC dan gemerisik kertas, sambil sesekali seseorang mingsek-mingsek, mungkin karena alergi.

Atap ruangan ini sangat tinggi, terbuat dari kaca lengkung, yang memungkinkan saya melihat awan mendung bergerak pelan, menyingkap langit yang ingin cerah, tapi kemudian tertutup kembali.

Orang-orang terlihat sangat santai, dan saya pun harus mulai menuliskan apa yang sebenarnya tadi perlu saya tuliskan sebelum mulai blogging ini…

Salaam,

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *