Sebut saja ini apresiasi cerita yang telat beberapa tahun. Karena tidak ada kesempatan membaca Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, saya baca saja buku mas Yusi Avianto Pareanom yang sebelumnya, Rumah Kopi Singa Tertawa. Untuk kesempatan ini, saya akan ngobrol tentang cerita “Durna Sambat” dalam buku tersebut. Cerita “Durna Sambat” ini kuat dan menarik sama sekali bukan karena plotnya, tapi karena lapis-lapis pesona yang ditawarkannya untuk pembaca. Di postingan sebelumnya tentang cerita-cerita di buku ini, saya juga bilang bahwa plot bukanlah yang paling penting dalam cerita-cerita mas Yusi–tapi kali ini alasannya lain lagi.
Plotnya sangat akrab bagi penggemar Bharatayuda atau Mahabharata, baik versi wayang kulitnya maupun versi India-nya. Eh, sebentar, biarkan saya revisi dulu argumen saya barusan: plot-nya ini bisa jadi hanya satu daya pikat cerita ini, khususnya bagi yang tidak akrab dengan cerita Mahabharata. Bukankah memang tidak biasa mendengar cerita tentang seorang pandita dan trah pandita hutama yang bernasib sial selalu disalahpahami dan akhirnya mati dan dijadikan mainan? Tentu tidak biasa kan? Tentu menarik, kan?
Iya. Tapi, seperti saya bilang di muka, masih ada lagi lapis-lapis lain cerita ini yang menjadikannya lebih menarik lagi sebagai sebuah cerita pendek, dan mungkin menjadikannya enak dibaca beberapa kali.
Di lapis pertama, cerita ini bisa dibaca sebagai sebuah apreasiasi, atau kritik sastra lah, atas salah satu karakter dalam Mahabharata (karakter Durna) dan motor penggerak nasib karakter tersebut (selalu disalahpahami). Cerita “Durna Sambat” ini diawali dan diakhiri dengan keluhan Durna bahwa hidupnya dipenuhi kejadian dia disalahpahami orang lain, khususnya semenjak dia meninggalkan pertapaannya. Menurut Durna, saking disalahpahaminya, di akhir hidupnya pun para prajurit memainkan kepalanya yang menggelinding untuk main bola, dan berbahagia, padahal dia sendiri sedang sengsara (bukan karena dibunuh, tapi karena salah mengira anaknya gugur di tangan Bima).
Tentu saja, sebagai apresiasi sastra, cerita “Durna Sambat” ini tidak biasa. Tidak seperti postingan blog ini, yang niatnya mengapresiasi cerita “Durna Sambat” dan bentuknya memang apresiasi sastra yang mencoba runut poin-demi-poin. “Durna Sambat” adalah apreasiasi sastra yang tidak menganalisis dengan mengurai elemen-elemen dari topik yang diapresiasi untuk mengetahui hubungan-hubungannya. Cerita ini mengapresiasi karakter Durna dengan cara mereka ulang. Hasilnya, kita pembaca tidak hanya memahami karakter Durna dalam bentuk analisis atas nasib sialnya, tapi juga ikut merasakan seperti nasib sial Durna yang terus disalahpahami itu. Kalau kita ingat sejarah kritik sastra Barat, ada yang namanya Kritik Baru, sebuah pendekatan mengapresiasi sastra (terutama untuk menganalisis puisi) yang salah satu argumennya adalah bahwa elemen-elemen seperti “ironi” merupakan elemen paling penting dalam puisi yang tidak bisa begitu saja dipahami hanya dengan diparafrase dan dipreteli satu persatu dari puisi. Sehingga, untuk mengapresiasi puisi dengan sepantasnya, kritikus harus bisa merekonstruksi puisi tersebut sehingga pembaca kritik tetap bisa mengalami “ironi” yang terkandung dalam puisi itu, tidak hanya mengetahui adanya ironi dalam puisi yang bersangkutan. Dalam “Durna Sambat,” kita mengalami bagaimana Durna disalahpahami, mulai dari disalahpahami Drupada, Pandawa, Krisna, dan sebagainya.
Satu hal lain yang menjadikan cerita ini seperti sebuah apreasisi sastra adalah konsistensi Durna, si narator, yang sebentar-sebentar mengomentari keseluruhan cerita Mahabharata atau bagian-bagian tertentu dalam cerita Mahabharata. Bahkan, komentar-komentar Durna ini pada bagian-bagian tertentu terasa merasionalisasi episode-episode magis dalam epik ini. Kalau menurut teori-nya, epik berbeda dengan novel karena jaraknya yang jauh dari kehidupan para pembacanya atau kehidupan nyata (untuk lebih jelasnya, coba baca misalnya teori tentang epik vs novel dalam tulisan Mikhail M. Bakhtin). Maksudnya begini: banyak kejadian dalam novel yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Misalnya orang jadi dewa, dewa jadi orang, atau dewa kawin sama orang, atau orang mati hidup lagi, dll. Kejadian-kejadian seperti ini tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata, bukan? Nah, begitu juga dalam Mahabharata, banyak sekali cerita yang magis seperti itu. Dalam “Durna Sambat” ini, narator kita mencoba merasionalisasi hal-hal magis yang terjadi itu, seperti misalnya episode Arjuna mati dan dihidupkan kembali oleh Kresna, atau bahwa Durna yang katanya hanya bisa mati kalau memang dia pingin mati. Narator kita merasionalisasi fakta-fakta epik itu. Artinya, dia seolah hidup di luar epik tersebut, bukan bagian dari dunia epik itu. Dia seperti salah satu teman kita yang mencoba mengapresiasi, mengkritik, menganalisis, menafsir episode-episode magis dalam Mahabharata, khususnya yang berkaitan dengan Durna.
Di lapis kedua, kita bisa melihat cerita ini sebagai permainan logika cerita, kontradiksi antara level tersirat dan tersurat. Kalau secara tersurat kita mendapati Durna yang mengeluh karena merasa terus-terusan disalahpahami oleh orang lain, di level yang tersirat ada kesan bahwa sebenarnya Durna sendirilah yang sebenarnya salah memahami dunia luarnya. Kita bisa melihat ini mulai dari yang paling renik sampai yang paling gajah. Pertama-tama, keluarnya Durna dari padepokan menuju ke kerajaan Pancala itu sendiri sudah merupakan hasil dari salah pahamnya. Dia, yang dari lahir sampai besar (berkeluarga dan punya anak) tinggal di padepokan, mengira dunia luar (dunia politik?) adalah tempat yang tepat baginya. Dia mengira mengajarkan ilmu (sesuatu yang mulai di padepokan) tetap sama artinya di ibukota. Pikirnya, menawarkan keahliannya menjadi guru untuk Pancala akan membawa kebaikan baginya. Ah, salah besar, ternyata dia disalahpahami. Draja Drupada yang dulu adik seperguruannya itu tidak bisa begitu saja menerima niat baiknya, bahkan takut diketahui hubungannya dengan dia. Bisa jadi si raja kuatir dengan motif di balik kedatangannya. Di lain kesempatan, ketika dia sudah menjadi guru bagi Kurawa dan Pandawa, dia merasa dengan menolak murid dengan tegas (dan keji) dia akan mendapatkan rasa hormat dari Pandawa. Ternyata tidak, para Pandawa menganggapnya sebagai orang yang kejam. Begitulah yang beberapa kali terjadi sepanjang cerita “Durna Sambat” yang tidak panjang ini. Intinya, secara tersirat memang Durna mengeluh karena merasa disalahpahami, padahal pada kenyataannya tersirat bahwa dia sendiri yang menyalahpahami dunia. Pemahamannya akan dunia berbeda dengan pemahaman orang lain akan dunia.
Itu tadi baru dua lapis pesona dari cerita “Dorna Sambat” dalam buku Rumah Kopi Singa Tertawa yang saya dapati setelah membacanya beberapa kali. Bagaimana dengan Anda? Apa yang membuat cerita ini cukup penting untuk dimasukkan oleh penulisnya ke dalam kumpulan cerita ini? Silakan lanjutkan!