Sejak awal, ada satu hal yang paling menarik terkait “road trip” atau perjalanan naik mobil lintas negara bagian: pom bensin. Saya sempat menuliskan tentang ini di sini. Kali ini, saya ingin cerita tentang satu episode pom bensin yang membuat saya sempat terpikir betapa bergunanya pom bensin.
Sekadar menginformasikan, pom bensin di negeri Aa’ Sam relatif seragam: 1) ada pompa bahan bakar (tentu!), 2) ada tempat sampah, 3) ada ember yang berisi air pembersih kaca mobil dengan lap penyeka dan pengering (buat kita-kita yang ingin membersihkan kaca mobil), 4) ada swalayan kecil, 5) di dalam swalayan kecil ada dijual kopi dan teh dari mesin penyeduh, dan 6) di swalayan itu ada kamar kecil yang nyaman. Kalau sedang beruntung, di dinding dalam kamar kecil itu ada mesin penjual kondom yang bisa memberi kita kondom berbagai tekstur dan citarasa seharga cuma 75 sen per potong. Ini info saja.
Dalam postingan yang saya tautkan di atas, saya menceritakan bahwa suka mampir ke pom bensin karena berbagai macam “hiburan” yang ditawarkan. Tapi, dalam kesempatan ini, saya ingin menceritakan bagaimana kamar kecil pom bensin ini merupakan tempat yang juga “membantu” kelangsungan hidup para tunawisma.
Sepulang dari silaturahmi ke rumah seorang kawan di sebuah kota kecil di Missouri, kami harus mampir ke pom bensin karena harus wudlu dan beli air minum. Saya dan anak saya langsung menuju ke kamar kecil, yang sayangnya sedang terkunci. Ada orang di dalam. Saya memutuskan untuk menunggu saja karena tidak mau mengganggu orang yang mungkin sedang berkonsentrasi dengan keras di dalam sana.
Setelah sekitar lebih dari lima menit berdiri, seorang lelaki empat puluh tahunan berseragam kemeja merah menghampiri saya. Dia pramuniaga toko yang mungkin sedari tadi memperhatikan saya menunggu di depan kamar mandi:
“Orangnya belum keluar ya?”
“Iya, Pak,” jawab saya. “Saya santai kok.”
Si pramuniaga tampak kesal sambil mengusap konter tempat termos-termos kopi dan es serut rasa pisang stroberi. Setelah selesai membersihkan konter dengan kilat memakai lap kertas, dia segera menuju pintu kamar mandi. Dia ketok pintunya tiga kali dengan cukup keras.
“Tunggu sebentar ya, Dik?” kata si pramuniaga kepada saya.
“Terima kasih, Pak.”
Tak berapa lama kemudian terbukalah pintu kamar mandi. Anak saya sudah girang dan bersiap masuk, tapi saya tahan. Kemudian keluarlah lelaki tua umur lima puluhan tahun (atau bahkan nyaris enam puluhan). Bajunya terlihat kusam. Rambutnya beruban ikal dan agak jarang. Wajahnya tampak gabungan antara basah dan berminyak. Dia membawa gembolan seperti tas plastik besar. Dari tampilannya, sepertinya dia tunawisma.
Saya segera masuk ke kamar mandi dan tampaklah lantainya seperti baru saja dipel. Masih basah tapi sudah siap untuk kering. Dan bersih. Ada aroma sabun pembersih tangan rasa stroberi yang cukup harum–mungkin seperti itu baunya kalau Spongebob dan Patrick bermain gelembung sabun di kamar mandi di negeri berandal dalam The Spongebob Squarepants Movie. Saya menduga bapak tunawisma itu baru saja membilas badan atau bahkan mandi di kamar kecil ini.
Mungkin itulah yang membuat si pramuniaga kesal. Mungkin saja tunawisma itu sudah terbiasa mandi di sini pada saat-saat tertentu.
Mungkin saja dia tidak sadar betapa fasilitas yang ditujukan untuk kenyamanan pelanggan itu juga bermanfaat buat orang lain. Yang lebih membutuhkan.