(Sebuah resensi yang pernah dikirimkan ke koran tapi tidak pernah dimuat, hehehe…)
Info buku
Judul: Surat untuk Ayah
Penulis: Franz Kafka
Penerjemah: Sigit Susanto
Penerbit: Komunitas Lereng Medini
Cetakan: I, April 2016
Sepenting apakah membaca sepucuk surat dari seorang anak kepada bapaknya di zaman banjir curhat seperti sekarang? Bagaimana bila surat tersebut ditulis di satu negeri Eropa nyaris seabad yang lalu? Kalau yang dimaksud surat itu adalah surat dari sastrawan Franz Kafka untuk ayahnya yang ada pada buku Surat untuk Ayah, maka jawabannya adalah: sangat penting. Gabungan antara isi surat yang berkisar pada ketegangan hubungan anak-bapak, rekam jejak si penulis surat sebagai penulis yang piawai menelusuri misteri batin manusia, dan tentu saja kelihaian penulisnya dalam bernarasi—ketiganya menjadikan buku kecil ini tetap relevan untuk dibaca pada konteks kita hari ini. Dengan tema yang universal dan bisa dijadikan bahan renungan bagi siapapun, mestinya tidak berlebihan juga bila surat ini dihargai sebagai satu lagi sumbangan praktis penting dari dunia sastra untuk kehidupan sehari-hari.
Franz Kafka adalah sastrawan bahasa Jerman penting yang lazimnya dikenal melalui karya-karya fiksinya. Kafka lahir dan dibesarkan dalam keluarga penutur bahasa Jerman di Praha (dulu ibukota Kerajaan Bohemia dan sekarang ibukota Republik Ceko). Novelet-nya yang berjudul Metamorfosis (terjemahan Indonesia-nya oleh Juni Liem terbit pada 2008) menelusuri pergolakan batin seorang manusia yang bangun pagi dan kaget mendapati dirinya telah berubah menjadi serangga raksasa. Novelnya Proses (terjemahan Indonesia-nya oleh Sigit Susanto terbit tahun ini) mengisahkan tentang seorang lelaki yang menjalani proses hukum tanpa tahu dakwaan yang dikenakan kepadanya. Dalam khazanah sastra dunia, konflik kisah manusia yang terperangkap dalam ketidaktahuan di tengah dunia yang serba ganjil seperti ini belakangan dikenal dengan gaya “kafkaesque.”
Surat untuk Ayah ini pada awalnya adalah benar-benar sepucuk surat yang ingin Kafka kirimkan kepada ayahnya—bukan surat terbuka yang akhir-akhir ini semakin lazim kita baca di media sosial. Surat tersebut pada akhirnya sampai ke tangan ibu Kafka yang tidak pernah sampai hati menyampaikannya kepada sang ayah. Dan kini, jadilah surat tersebut meriwayatkan sebagian penting masa kecil Kafka, menjadi bahan otobiografi Kafka. Bagi pembaca Kafka yang cermat, sebagaimana Sigit Susanto sampaikan di pengantar, ada bagian-bagian penting dalam karya fiksi Kafka yang bisa ditemukan cikal bakalnya dalam kehidupan pribadi Kafka sebagaimana tertuang dalam surat ini.
Secara umum, Surat untuk Ayah ini merupakan penceritaan ulang derita batin sang anak karena perlakuan bapaknya. Kafka mengulang kembali hal-hal dalam hidup masa kecil dan mudanya ketika tinggal bersama orang tuanya, dan kemudian dia menunjukkan bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi perkembangan psikologisnya. Franz menyadari bahwa pada banyak keadaan, mungkin ayahnya tidak bersalah, tapi dia tetap berpandangan bahwa ada masalah dalam cara ayahnya mendidiknya.
Dalam surat ini, Franz juga membicarakan hal-hal besar dan kecil dalam hidupnya yang dipengaruhi oleh hubungannya dengan sang ayah. Terkait hal-hal kecil, misalnya, Franz membahas bahasa dan cara ayahnya berkomunikasi dengan Franz. Dia menguraikan kebiasaan-kebiasan buruk ayahnya yang membunuh kepercayaan diri si anak. Sebut saja di sini kebiasaan sang ayah memperolok anak, melecehkan orang lain di hadapan anak, dan membicarakan keburukan kepada ibunya di hadapan si anak. Memang ayahnya bukan orang yang ringan tangan, tapi sikap yang menyertai kemarahan ayahnya justru membuat Franz merasa tertekan.
Satu contoh terkecil adalah bagaimana si ayah suka mengancam akan memukulnya tanpa benar-benar melakukannya. Hal tersebut membuat Franz merasa lebih sakit daripada benar-benar dipukul atau dicambuk dengan ikat pinggang. Di sini, kita bisa menghubungkan pengalaman Franz dengan satu ungkapan lazim dalam pendidikan dan parenting: “Anak kecil tidak akan selalu ingat apa yang kita ajarkan, tapi mereka ingat apa yang mereka rasakan karena tindakan kita.” Beberapa dari sikap ayahnya ketika kecil itu membunuh kepercayaan diri sang anak, sehingga dia tumbuh sebagai orang yang kerdil ketika berada di sekitar ayahnya.
Selain itu, ada hal-hal besar yang Franz tuliskan terkait bagaimana sejumlah hal besar dalam kehidupan Franz yang terpengaruh oleh hubungan antara dia dan ayahnya. Bagaimana ayahnya memahami dan menjalankan agama menjadi satu catatan tersendiri dari Franz Kafka, yang menurutnya seperti cara beragama orang desa. Dan kritik lain Kafka kepada ayahnya adalah sikap sang ayah terhadap hubungan romantik. Kafka mendakwa ayahnya telah membuat dia mengubah pandangannya terkait pernikahan dengan salah satu pernyataan yang dia berikan ketika dia remaja, dan dia juga mendakwa ayahnya memberikan pengaruh negatif hubungan antara ayah dan ibunya.
Dengan itu, Surat untuk Ayah ini bisa menjadi sarana untuk menyelami perasaan seorang anak yang merasa menjadi korban dari perbedaan antara dirinya dengan sang ayah dan sikap sang ayah yang terlalu mendominasi si anak. Namun, Kafka sadar diri dan membuka kemungkin bahwa bisa jadi ayahnya tidak benar-benar bersalah, dan dia sendiri mungkin anak yang terlalu perasa. Namun, di balik otokritik Kafka kepada dirinya itu, terdapat tuntutan bahwa tetap saja akan lain bedanya bila si ayah lebih memahami putranya dan tidak selalu menjadikan dirinya sendiri sebagai tolok ukur untuk anak-anaknya.
Sebagai sebuah karya terjemahan, ada sedikit yang bisa dikomentari mengenai buku Surat untuk Ayah ini. Di satu sisi, ada sebuah keuntungan bila penerjemah kita adalah penerjemah yang menggarap lebih dari satu buku dari penulis yang sama. Demikian halnya dengan buku Surat untuk Ayah ini. Seperti disinggung di atas, Sigit Susanto, penerjemah buku ini, adalah juga penerjemah novel Proses, novel Franz Kafka yang baru-baru ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Kita juga mendapat keuntungan karena selain akrab dengan karya-karya tulis Franz Kafka, Sigit Susanto juga pernah mengunjungi tempat-tempat tinggal Franz Kafka sebagaimana Sigit tulis dalam buku catatan perjalanannya yang berjudul Menyusuri Lorong-lorong Dunia. Bisa dibilang, Sigit Susanto memiliki modal pengalaman yang lebih dibanding rata-rata penerjemah Indonesia.
Namun, tentu saja itu tidak mencegah terjadinya pilihan-pilihan pengalihbahasaan yang sesekali membuat pembacaan Surat untuk Ayah terasa tidak lancar. Ada kalimat-kalimat tertentu yang merasa sangat dikendalikan oleh struktur bahasa aslinya dan kurang luwes sebagai kalimat berbahasa Indonesia. Bagaimanapun, secara umum, terjemahan Sigit Susanto yang diedit oleh Kurniasih ini terbilang sangat berhasil menghadirkan dokumen sastra penting ini bagi publik Indonesia.
Demikianlah, bagaimana sebuah surat yang ditulis oleh orang yang hidup jauh dari tempat kita, nyaris sembilan puluh tahun yang lalu masih relevan bagi kita. Meskipun hari kita bisa melihat curhatan orang di Facebook dan semakin sering kita baca surat terbuka oleh budayawan, warga biasa, politisi, artis, keluarga politisi, dan lain-lain. Surat ini tentu saja juga sangat penting dibaca siapa saja yang berkesempatan membesarkan anak, atau bila Anda ingin mengenal Franz Kafka lebih dalam tanpa harus repot-repot membaca biografi atau biografi tebal yang komprehensif (meskipun mereka juga penting). Tapi, tentu saja tidak menutup kemungkinan surat ini akan penting bagi Anda yang memang ingin membaca hidup orang lain, mencari bahan untuk direnungkan, tanpa harus kuatir akan mendapat wejangan motivasi di akhir cerita.