Dijamu Keluarga Indonesia di Tampere, Finlandia

Ketika berada di rantau, bertemu orang dari kampung halaman adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Apalagi ketika di rantau itu kita menjadi minoritas dan berbeda sendiri dengan orang lain. Wah, bertemu orang sekampung halaman terasa seperti musafir gurun pasir ketemu oasis. Hal itu terlintas di pikiran saya ketika meyakinkan diri sendiri apakah pantas saya menghubungi mahasiswa Indonesia di Tampere, Finlandia, ketika ada urusan di sana.

Ketika tahu akan jadi berangkat ke Finlandia, saya coba googling dan mencari mahasiswa Indonesia yang sedang berada di Tampere. Ada beberapa nama yang muncul. Saya mencoba menghubungi satu tetapi tidak berbalas, mungkin sedang sangat sibuk atau sedang menjauh dari media sosial. Namun, ada satu sosok yang diulas di Indonesia Mengglobal ini. Saya pun bersiap mencoba menghubunginya.

Singkat kata, saya menghubungi penulisnya dan meminta dihubungkan dengan Mas Tholchah ini. Selain itu, saya juga mencoba menghubungi dia lewat LinkedIn. Ternyata, penulisnya membalas lebih cepat dan setelah mendapat izin dari Mas Tholchah, dibagikannya lah kontaknya dengan saya. Maka di situlah saya mulai bercakap-cakap lewat WhatsApp.

Singkat kata lagi, tibalah saya di Tampere, Finlandia. Mas Tholchah yang baik hati ini menjemput kami di stasiun Tampere jam 22.00 WIB. Rombongan saya naik kereta api dari Helsinki ke Tampere (2 jam perjalanan). Dia menemani kami ke hostel tempat kami menginap dan berbincang-bincang kanan kiri sampai malam. Saya ingat diri saya sendiri yang suka sekali ngobrol dan bahagia sekali ketika bertemu dengan orang Indonesia ketika dulu di negeri Hogslandia.

Keesokan harinya, setelah mengikuti acara, kami diajak ke rumah Mas Tholchah. Sore harinya, Mas Tholchah mengirimkan pesan WA ke saya, “Ibunya tanya berapa orang yang datang.” Saya bilang kemungkinan ada tiga orang. Saya sungkan kalau sampai merepotkan, tapi mas Tholchah bilang bahwa dia biasa menjamu sampai 20-an orang setiap bulan untuk acara pengajian dan sejenisnya.

Akhirnya, pada malam harinya, baru kami bisa memastikan bahwa yang ikut nantinya hanya dua orang, yaitu saya dan mas Permata dari Jakarta. Mas Tholchah menjemput kami ke hotel dan mengajak kami naik bis. Ternyata dia sudah membawa semua kartu bis tahunan yang biasanya dia pakai. Untuk naik bis, butuh sekitar 2 Euro. Tapi, para penduduk biasanya membeli kartu bis langsung setahun seharga 400 euro. Sekilas terlihat mahal, tapi kalau mengingat bahwa dalam sehari kita bisa naik lebih dari sekali, maka 4o0 euro terbilang murah.

Suhu di luar ruangan sekitar -10 derajat celsius, tapi di dalam bis tentu hangat. Ada satu bagian empat kursi berhadap-hadapan. Di situ ada seorang lelaki 30-an membawa semacam keyboard di dalam tas. Ketika mas Tholchah duduk di dalam satu kursi, dan tahu bahwa ada kami bertiga, lelaki pembawa keyboard tadi langsung berdiri dan mempersiapkan salah satu dari kami masuk, dan dia pun pindah ke kursi lain, mungkin agar kami bisa bareng.

Mas Tholchah dan mas Permata berjalan menuju apartemen

Apartemen Mas Tholchah berada sekitar 8 menit dari halte depan hostel kami. Dari halte, kami berjalan sedikit di tengah salju yang sangat banyak. Apartemen di Finlandia berbentuk gedung-gedung bertingkat, tapi liftnya agak unik: pintunya tidak ikut naik, hanya ada pintu menuju lift, tapi di dalam lift tidak ada pintunya. Jadi… ketika lift naik, kami bisa melihat pintu yang berusan kita lewat itu menghilang dan kemudian berganti dengan pintu lain. Ngeri dong kita orang.

Di rumah, kami disambut keluarga Mas Tholchah, dua putri dan satu putra. Ada paling tua dan paling muda perempuan. Ternyata, istri Mas Tholchah sudah mempersiapkan banyak sekali untuk kedatangan kami. Saya jadi merasa sangat bersalah karena tidak bisa mengajak semua peserta kegiatan untuk datang. Mestinya makanan ini pas untuk semua orang.

Kami berbincang panjang lebar tentang kisah hidup di Indonesia dan hari-hari di negeri Finlandia. Sebagian dari ceritanya mengafirmasi bagaimana Finlandia menjadi negara yang begitu diagungkan dalam hal pendidikan. Tapi, ada juga hal-hal yang menyingkap bahwa ada juga miskonsepsi-miskonsepsi yang kita dengar tentang pendidikan di negara ini. Dan, yang penting lagi adalah wawasan tentang bagaimana hal-hal baik tentang Finlandia itu bisa terwujud. Tentu akan ada banyak cerita yang bisa disampaikan soal ini.

Sedikit contoh saja: di Finlandia, pajak cukup tinggi. Namun, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan pemerintah gratis. Bahwa sektor pendidikan tidak terpisah dari sektor-sektor yang lain, sehingga ketika seorang anak itu kelihatan bermasalah, dinas sosial juga tahu dan kemudian menawarkan solusi. Semuanya terjadi melalui sistem Social Security Number yang terintegrasi. Ada juga perbincangan tentang aturan bahwa mahasiswa yang memiliki jumlah anggota keluarga sekian hanya boleh tinggal di rumah dengan spesifikasi tertentu. Sehingga, tidak ada ceritanya orang yang tinggal di tempat yang tidak layak hanya untuk menghemat uang. Begitu juga dengan pasangan mahasiswa: ada banyak kegiatan yang disediakan dinas sosial untuk meningkatkan kapasistas mereka atau agar tidak bosan selama ditinggal pasangannya kuliah.

Di sela-sela obrolan, anak-anak Mas Tholchah datang ke meja sesekali untuk membisikkan sesuatu. Kedua anak Mas Tholchah yang paling kecil berbicara dalam bahasa Inggris. Dengan ibunya mereka berbicara selang-seling Inggris dan Finnish. Istri Mas Tholchah bisa berbicara bahasa Finnish karena mengikuti kursus. Penguasaan bahasa Finnish itu memungkinkan beliau bisa bekerja dan kenal lebih banyak orang. Memang banyak orang Finlandia yang bisa berbahasa Inggris, tapi tentunya lebih banyak lagi yang hanya bisa berbicara bahasa Finlandia. Penguasaan bahasa Finlandia itulah yang memungkinkan orang bisa bekerja di sektor apa saja.

Kami menikmati berbagai kenikmatan kuliner duniawi selama berada di rumah Mas Tholchah. Sop buntut, tempe, gorengan, dan lain-lain ada semua. Kami benar-benar merasakan kenikmatan yang nyaris mustahil ditemukan di ravintoli (bahasa Finnishnya restoran) yang ada di seluruh Tampere. Saya sampai terkantuk-kantuk dan merasa sangat tidak sopan. Tapi ya bagaimana lagi, namanya juga orang kekenyangan. Hahaha.

Setelah semua selesai, kami pamit dan diantarkan Mas Tholchah kembali ke hostel kami dengan naik bis. Salju terus turun dan udara semakin dingin ketika bis kami berhenti di halte di depan hostel. Saya hanya berharap semoga Mas Tholchah tidak terlalu kerepotan dengan kedatangan saya dan Mas Permata. Mas Permata yang pernah tinggal cukup lama di Korea Selatan juga bersepakat dengan saya bahwa bertemu orang dari kampung halaman ketika berada di rantau adalah sesuatu yang membahagiakan. Semoga begitu yang dirasakan Mas Tholchah.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *