Alternatif untuk Sistem Transportasi Umum Berbasis Kompetisi?

Setelah bicara tentang jalan tol dan tanda batas kecepatan, mari kita bicara sesuatu yang jelas merupakan masalah di depan mata: bahwa sistem transportasi publik kita sejak awal sudah berpotensi masalah. Sistem transportasi publik yang non-BUMN kita berbasis kompetisi. Di sini, yang saya maksud sistem transportasi publik mencakup bis dalam kota, bis antar kota, angkutan (non-bis) antar kota, angkutan perkotaan, taksi dan ojek. Sistem kompetisi ini punya elemen kehancurannya sendiri-sendiri.

Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, masalah dari sistem transportasi yang berasaskan kompetisi ini adalah kecepatannya. Kecepatan ini, seperti bisa ditebak tanpa perlu statistik, memiliki risiko kecelakaan besar. Kompetisi antara bus-bus penyedia layanan transportasi di satu trayek seringkali menyebabkan balapan yang korbannya mencakup penumpang maupun pengguna jalan yang lain. Kalau tidak percaya sama saya, cobalah berkendaraan dari Malang ke Porong atau sebaliknya. Di jalur ini, kalau Anda mengendarai motor, Anda harus rela tiba-tiba minggir dari aspal karena ada bus di belakang Anda yang tiba-tiba memaksa minta ruang karena dia harus segera merangsek maju meninggalkan bus lain yang berpotensi mengejarnya.

Di dalam kota, kita bisa menyaksikan bagaimana kompetisi antar mikrolet juga mendatangkan dampak lain: ketidaknyamanan. Kita bisa merasakan berkendaraan di belakang mikrolet yang tiba-tiba berhenti karena si sopir melihat potensi penumpang agak masuk di dalam gang. Si sopir memutuskan untuk mendadak berhenti karena dia tidak ingin potensi penumpang itu diambil mikrolet lain yang ada di belakangnya. Atau, kita sering merasa tidak nyaman karena ada mikrolet yang posisinya agak nanggung di jalan, tidak di pinggir tidak juga di tengah. Tidak di pinggir karena dia ingin lebih lancar. Tapi tidak juga di tengah karena kalau ada penumpang si sopir bisa cepat-cepat minggir.

Belum lagi kalau kita tambahkan faktor lain dalam persaingan antar angkutan perkotaan, misalnya ditambahkan taksi/ojek online. Dua tahun terakhir kita sudah melihat demo di mana-mana, baik oleh sopir angkot maupun taksi konvensional, yang menggugat keberadaan taksi/ojek online, yang merupakan elemen baru dalam angkotan perkotaan itu. Persaingan yang sudah ada di antara para sopir angkot dan taksi kini tambah kompleks dengan elemen lain yang lebih berterima bagi, terutama, generasi yang lebih muda dan lebih ingin praktisnya saja.

Yang jadi pertanyaan retorika: kenapa persaingan ini dilestarikan? Kenapa tidak mencoba menyelesaikan persaingan-persaingan ini dengan alternatif solusi?

Memangnya ada solusi? Tentu. Kalau kita sudah akrab dan mau menerima bahwa tidak ada penyakit di dunia ini yang tak ada obatnya, kenapa sulit bagi kita menanamkan keyakinan bahwa tidak ada masalah di dunia ini yang tidak ada solusinya?

Tidak perlu studi banding ke Jepang dan Jerman untuk mengetahui solusi ini, mari kita tengok praktik-praktik angkutan umum di Indonesia sendiri yang tidak berbasis kompetisi (atau kompetisinya relatif ringan). Lihatlah bagaimana angkutan kereta api dijalankan. Mana ada balapan dan rebutan penumpang antara kereta api satu dan lainnya. Selama ini kereta juga tetap jalan, kan? Ada kereta api ekonomi dan ada juga kereta api kelas eksekutif. Mereka tidak perlu balapan kan untuk berebut penumpang, dan sejauh ini keduanya masih sama-sama ada. Dan tingkat kecelakaan kereta api karena adu kecepatan juga nol, kan? Tidak ada orang yang sebal karena kereta api tiba-tiba berhenti, kan?

Tapi Anda mungkin bilang, ya kan kereta api milik satu perusahaan (BUMN, tepatnya). Baiklah, bagaimana kalau saya tunjukkan jalur bus Malang-Kediri yang dikelola oleh (seingat saya) dua perusahaan otobus, yaitu Puspa Indah dan Bagong. Jalur yang tidak terlalu ramai ini berjalan berdasarkan jadwal dan ada interval antara satu bus dan bus selanjutnya. Dampaknya, mereka tidak perlu kejar-kejaran untuk berebut penumpang. Bahkan, yang menarik, sopir bus yang berpapasan suka menggunakan kode-kode isyarat tangan yang memberitahukan bahwa di depan ada penumpang di lokasi-lokasi tertentu. Mereka tidak perlu terlalu ganas bersaing meskipun tidak terdiri dari satu perusahaan saja.

Anda mungkin bertanya lagi: itu kan jalur yang tidak terlalu ramai dan jumlah bus-nya kan tidak sebanyak Surabaya-Malang. Jawaban saya: terus kenapa memangnya? Apa jalur Surabaya-Malang sudah diisi terlalu banyak bus? Kalau iya, berarti ya memang saatnya dilakukan evaluasi, apakah persaingan itu karena banyaknya bus dan berkurangnya penumpang? Kalau iya, ya silakan dipertimbangkan apa yang perlu dilakukan.

Kompetisi itu racun, kawan, terutama kompetisi yang bermain-main dengan api seperti ini. Sudah saatnya kita menghapus stereotipe-stereotipe terkait nama-nama perusahaan bus (ada perusahaan bus yang terkenal suka membunuh karena sering terlibat kecelakaan). Tapi, untuk menghapus stereotipe itu, menyuruh para sopir lebih hati-hati saja tidak cukup. Para sopir itu kan cuma satu elemen saja. Kalau sistem yang melingkupi mereka masih menuntut kompetisi, ya jangan salahkan merea saja kalau mereka akhirnya berkompetisi dan kemudian menyebabkan kecelakaan.

Saya pikir banyak sekali ahli transportasi dan sejenisnya yang bisa merekayasa cara untuk menghasilkan sistem transportasi yang tidak perlu berbasis kompetisi seperti yang banyak kita lihat hari-hari ini. Masalahnya mungkin adalah sekuat apa mereka berhadapan dengan kepentingan finansial kelompok-kelompok tertentu. Mungkin di situlah pemerintah bisa berperan, sebagai pengemban kepentingan rakyat. Sayang kan punya kekuatan melakukan ini itu kalau tidak dipakai untuk meluruskan jalan bagi orang-orang yang ingin membahagiakan banyak orang lain?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *