Kapan Proyek Tanda Batas Kecepatan di Jalan?

Di postingan sebelumnya, saya berbicara tentang gagasan bahwa pembangunan jalan tol bukanlah jawaban yang sesungguhnya atas masalah kemacetan dan itu juga sesuatu yang tidak benar-benar demi keuntungan masyarakat dan justru lebih merupakan komersialisasi yang lainnya. Kali ini, saya akan berbicara tentang satu hal vital lain yang mungkin lebih berarti bagi masyarakat, lagi-lagi dengan perbandingan satu-satunya negara lain di mana saya pernah tinggal. Apa itu: tanda batas kecepatan.

Satu hal yang menjadi masalah–atau lebih menambah masalah–terkait dengan kepadatan lalu lintas adalah kebiasaan kita berkendara. Dari pengamatan saya, pengendara kendaraan di Malang dan Surabaya cenderung ugal-ugalan. Begitu ada kesempatan, mereka langsung tancap gas tanpa ada batasan. Batasan untuk kecepatan di kota Malang dan Surabaya, misalnya, adalah kepadatan lalu lintas. Jadi, selama memungkinkan, pengendara bisa memacu kendaraan sesuka dan semampu kendaraan mereka. Masalahnya, banyak kendaraan (motor, mobil pribadi, truk, bus, dll.), yang memiliki kekuatan lebih dan saat memacu kecepatan terasa mengerikan. Dampaknya apa? Angka kecelakaan yang tinggi.

Angka kecelakaan di Indonesia (terutama di Jawa) sangat tinggi. Saya akan carikan statisiknya kapan-kapan. Sementara, saya tunjukkan saja gambaran singkat. Dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja, saya beberapa kali melihat pengendara yang terduduk di tepi jalan dalam keadaan syok. Mereka dikerumuni orang dan motor mereka terparir berdebu dan ada yang rusak. Itulah hasil kecelakaan.

Contoh lain: Beberapa hari yang lalu, saat subuh-subuh saya pergi dari Malang ke Purwosari, saya melihat tiga kecelakaan, mulai dari yang ringan (truk menubruk motor yang sudah berhenti saat macet) hingga yang parah (mobil kecil tersungkur dengan bemper copot dengan posisi sudah berbalik arah).

Contoh lain lagi: seorang dokter ahli bedah tulang mengatakan kepada saya bahwa dokter bedah tulang dari Jepang terheran-heran dengan Malang karena di sini setiap hari seorang ahli bedah tulang bisa berkali-kali melakukan operasi (nyaris semua hasil kecelakaan lalu lintas) padahal di Jepang dia paling banter hanya perlu mengoperasi dua minggu sekali. Intinya apa? Angka kecelakaan di Indonesia berkali-kali lipat lebih tinggi daripada di Jepang.

Apa penyebabnya? Budaya berkendaraan yang suka ngebut, ditambah kurangnya pemahaman tentang aturan lalu lintas. Sebab nyatanya bisa tak terhitung, mulai motor yang ngambek, hati yang galau saat nyetir, hingga keharusan membaca pesan di smartphone saat nyetir. Tapi, karena kecepatan terlalu tinggi adalah satu sebab yang cukup dominan, kenapa tidak ini dulu yang kita atasi?

Di sinilah kita bisa berbicara tentang pemasangan tanda batas kecepatan. Tanda batas kecepatan adalah sesuatu yang benar-benar absen dari kehidupan lalu lintas (setidaknya di kota-kota yang saya akrabi, kota-kota di Jawa Timur). Orang tidak tahu berapa kecepatan maksimal yang boleh mereka capai saat berkendaraan di satu ruas jalan dan ruas jalan lainnya. Seperti saya bilang di atas: batas kecepatan bagi orang-orang adalah ketika ada kendaraan lain yang tidak memungkinkan kita menambah kecepatan. Padahal, ada batas-batas kecepatan yang bila kita ikuti kita bisa yakin bahwa kita akan aman. Saat ada sesuatu yang terjadi dan kita mematuhi batas kecepatan (yang dibuat dengan mempertimbangkan lebar, kontur, dan bentuk jalur) maka kita akan bisa menghindari kecelakaan dengan menghentikan kendaraan.

Memang tidak ada jaminan bahwa dengan pemasangan tanda batas kecepatan kita bisa langsung mencegah kecelakaan. Tapi, aspek edukasi dari tanda batas itu akan membuat orang (setidaknya yang peduli dengan keselamatannya sendiri) mempertimbangkan apakah dia sudah terlalu ngebut atau tidak. Apalagi kalau polisi juga memberlakukan pendisiplinan bagi pelanggar batas kecepatan (misalnya orang yang ngebut lebih dari 10 km/j di atas batas kecepatan akan ditilang), pasti orang akan pikir-pikir sebelum ngebut.

Belum lagi kalau kita bicara dampak jangka panjangnya, misalnya untuk generasi pengendara bermotor di masa depan. Kalau generasi yang saat ini sudah “kasep” (terlambat) untuk diajari tentang batas kecepatan, paling tidak generasi pengendara kendaraan bermotor di masa yang akan datang akan tahu bahwa kita tidak bisa sesukanya ngebut asal jalanan tampak sepi.

Terus apa yang dibutuhkan untuk proyek pembuatan tanda batas kecepatan ini? Tentu saja: biaya yang banyak untuk membuat tanda jalan dan kemudian memasangnya di setiap ruas jalan. Ini biaya yang sangat besar. Tapi tentu saja tidak sebesar membuat jalan tol seperti yang dibuat selama ini. Dan lagi, kita bisa mencicilnya untuk daerah-daerah tertentu sesuatu dengan prioritas (entah daerah jalan nasional yang rawan kecelakaan, jalan provinsi yang banyak dilalui bus dan truk, dan lain-lain). Tentunya lagi, tidak perlu ada proyek-proyek yang luar biasa rumit (dengan pembebasan lahan dan investor-investor yang kontroversial). Kita sudah memiliki Dinas PU yang ada di setiap wilayah Tingkat II dan Tingkat I.

Tanda batas kecepatan ini juga tidak akan membebani rakyat dengan pajak tambahan dan tidak punya menyasar atau memberi kenyamanan tambahan bagi orang-orang tertentu (bukan untuk yang punya mobil saja). Negara yang dianggap disiplin seperti Amerika, Jepang, Jerman, atau Inggris saja masih membutuhkan ini. Kenapa kita yang cenderung agak longgar dalam hal peraturan tidak punya ini? Jangan-jangan, kedisplinan bangsa-bangsa asing itu sebenarnya bukan sesuatu yang mereka dapatkan dari lahir, tapi justru bentukan karena adanya hal-hal kecil yang membuat mereka harus patuh seperti ini? Nah, kalau begitu, bukankah ini merupakan upaya yang membuat kita jadi lebih baik (dan tentu saja memuat kita tetap hidup)?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *