Yang namanya orang sedang bertengkar, apa saja bisa dijadikan bahan. Begitulah yang kita lihat hari-hari ini antara orang-orang yang anti-Jokowi dan pro-Jokowi. Dari pohon plastik sampai jalan tol bisa dijadikan bahan. Saya ikut mana? Sementara saya tidak ikut mana pun. Persoalan hidup di negeri ini dari penglihatan sekilas saja tampak kompleks, dan sesuatu yang kompleks mustahil diselesaikan dengan bermain dikotomi hitam-putih macam itu.

Lantas, apakah saya pesimis atau apatis? Amit-amit jabang toddler! Saya memilih untuk membaca analisis orang-orang yang tidak terjebak ke dalam dikotomi itu, atau membaca orang-orang yang berupaya menyelesaikan persoalan pada tataran akar rumput, dan tentu saja mencoba membuat perbandingan-perbandingan dengan apa yang sudah saya lihat.

Maka, dimulailah sejak hari ini: serial postingan renungan tentang negeri ini. Untuk seri pertama ini, saya ingin membahas soal jalan raya dulu. Itung-itung, topik kita hari-hari ini jalan juga, kan?

Proyek pembangunan jalan bukanlah sesuatu yang buruk. Justru itu yang dibutuhkan, misalnya, untuk lokasi-lokasi seperti Papua yang sebelumnya banyak mengandalkan transportasi udara dari satu daerah ke daerah lainnya.

Tapi, proyek jalan tol secara masif juga bukan sesuatu yang sangat cemerlang luar biasa. Jalan tol adalah jalan berbayar dan nyaris semuanya hanya diperuntukkan bagi mobil. Jalan semacam ini sangat penting bagi yang punya mobil atau bagi pengiriman barang-barang secara cepat. Itu pun juga masih harus bayar. Kata Dandhy Dwi Laksono di sebuah postingan Facebook-nya, merayakan pembangunan jalan tol adalah merayakan menjadi konsumen, bukan merayakan kemerdekaan sebagai warga negara.

Jadi, kalau Anda merayakan pembangunan tol dengan gegap gempita, sampai kemudian menggunakannya untuk menyerang kelompok anti-Jokowi yang seringkali menghubungkan antara pembangunan tol dengan utang negara yang semakin meningkat, tolong pikirkan sekali lagi.

Kalau argumen pembangunan tol itu adalah untuk meningkatkan distribusi barang dan mendukung perekonomian, sepertinya kita bisa mempertanyakan itu. Kalau memang tujuannya untuk itu, semestinya jalan semacam ini bisa gratis. Atau, kalau memang tidak ingin terlalu rugi, silakan mengenakan biaya tol yang sangat murah asal bisa membantu menutup biaya perawatan tol untuk jangka beberapa dasawarsa ke depan. Kalau bukan begitu, ya berarti jalan tol adalah sebuah usaha komersial.

Jalan tol di Indonesia pada hakikatnya adalah usaha mendapatkan kenyamanan lebih. Kita tahu, kemacetan di kota-kota besar sangat parah. Dan perjalanan antar kota dalam provinsi atau antar provinsi juga tidak bisa diandalkan dalam hal kenyamanan. Terlalu banyak hal tak terduga yang bisa menghambat perjalanan. Apalagi pada-pada super sibuk seperti saat musim mudik. Maka, jalan tol adalah solusi untuk mendapatkan kenyamanan lebih.

Dengan kata lain, jalan tol adalah sebuah upaya untuk menyelesaikan sebuah persoalan.

Masalah sendiri apa? Sudah jelas: peningkatan kepadatan kendaraan tanpa terkendali saling yang saling mendukung dengan kepadatan penduduk.

Sepertinya, pembatasan peningkatan kendaraan tidak dipertimbangkan sebagai alternatif solusi. Mungkin hal tersebut akan dipandang menghambat laju ekonomi. Mudah kita prediksi bahw abisnis otomotif–yang bahkan belakangan didukung bisnis otomotif hemat biaya dan hemat bakan bakar–adalah bisnis yang banyak menyumbang kepada perekonomian kita. Jadi ya, wajar saja kalau pembatasan kendaraan belum dipandang sebagai solusi yang masuk akal.

Bagaimana dengan solusi mengatasi kepadatan penduduk? Ah, jangan mimpi lah. Sepertinya hal tersebut sudah tidak lagi menjadi faktor dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Mengangkat pembatasan peningkatan penduduk akan membuat Anda dipandang sebagai orang yang anti kehidupan, seperti Thanos.

Jadi, saudara-saudara, kalau saat ini muncul jalan tol di sana-sini, silakan memandang jalan tol tersebut sebagai solusi dari pemerintah kita untuk memberikan masyarakat sedikit kenyamanan tambahan. Kalau dipandang seperti itu, mungkin niat baiknya memang perlu Anda apresiasi, tak peduli apakah Anda pro-Jokowi maupun anti-Jokowi.

Tapi, jangan lupa pula menyadari bahwa jalan tol itu adalah sebuah usaha komersial yang menjadikan kita-kita sebagai konsumennya. Kalau memang ini sebuah upaya negara untuk membahagiakan warga negara (tidak cuma menyamankan), bisa saja negara memurahkan jalan tol asal mencukupi untuk membayar biaya pembangunan dan perawatan. Yang seperti itu tidaklah mustahil: Interstate Highway di Amerika Serikat adalah contohnya. Jalan yang berkualitas tol (yang bahkan bisa dipakai untuk transportasi tank dan pendaratan pesawat) dan menawarkan kenyamanan tol ini sebagian besarnya digratiskan. Dan di ruas-ruas yang tidak gratis pun biayanya sangat murah! Itu yang mendukung distribusi barang dari timur ke barat atau utara ke selatan bisa mudah.

Dan terakhir: ada masalah yang lebih hakiki yang perlu diselesaikan, yaitu kepadatan kendaraan dan kepadatan penduduk. Kalau Anda bilang sudah terlalu padat sehingga jalan tol sangat diperlukan, okelah. Masuk akal kan, daripada sudat padat dan tambah parah. Tapi, kalau memang ada niat menyelesaikan masalah, peningkatan jalan tol ini juga perlu disertai dengan kebijakan-kebijakan pembatasan peningkatan kendaraan. Karena, kalau pun jalan tol yang kali ini bermunculan bisa menyelesaikan masalah sesaknya kendaraan di kota-kota besar, maka itu tidak akan lama: sebentar lagi juga akan terjadi pemadatan di sana-sini.

Oh, kalau Anda yang anti-Jokowi merasa saya adalah bagian dari Anda, sebenarnya tidak juga. Saya tidak melihat Anda melihat lebih jauh dari sekadar anti karena Jokowi bukanlah sosok pilihan Anda. Apakah sosok pilihan Anda memang mau melakukan ini? Sejauh ini saya lihat tidak ada perbedaan hakiki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *