Kebijakan Kampus & Panitia Asian Games

Beberapa waktu terakhir ini, ada tambahan tugas buat saya selain jadi dosen. Tugas baru ini membuat saya membuka mata lebih dan menyisihkan perhatian lebih dari sebelumnya. Nah, salah satu dampak dari tugas-tugas ini adalah bertemu dengan orang-orang dari luar kampus. Kebetulan, dua hari terakhir berkesempatan ketemu dengan orang-orang yang menurut saya tidak biasa dengan cerita-cerita khas.

Di kesempatan pertama, saya bertemu dengan dua dosen Pendidikan Bahasa Mandarin yang memiliki pengalaman sangat unik. Karena satu dan lain hal, saya sebut saja nama kedua dosen itu Dr. H dan Dr. L. Tapi kali ini kita bicara tentang Dr. H saja dulu. Saat ini, beliau sudah menjadi seorang dosen senior dan disegani dalam pendidikan Bahasa Mandarin. Di awal karirnya, beliau merupakan guru bahasa Mandarin SMA.

Salah satu poin yang menjadikannya unik adalah bahwa Dr. H ini adalah orang yang tumbuh di keluarga yang beragam. Kakak dan adiknya menganut agama yang berbeda-beda karena satu atau lain hal. Ada yang Kristen, Katolik, Budha, Kong Hu Cu, dan bahkan Muslim. Alih-alih mendapat masalah karena perbedaan mereka, para saudara ini justru malah sering bertemu karena di setiap perayaan keagamaan mereka berkumpul di rumah orang tua.

Mengkaji Gagasan Ideal

Selain itu, Dr. H ini juga bercerita tentang pengalamanny berkuliah bertahun-tahun di Tiongkok untuk jenjang S1, S2, dan S3. Satu hal yang unik dari masa belajarnya di Tiongkok adalah pergaulannya. Karena mendapatkan beasiswa, maka dia berkumpul dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Dia kenal orang dari berbagai penjuru dunia dengan berbagai kecenderungannya. Namun, terlebih dari itu, dia juga seorang pengamat yang jeli dan tidak hanya terfokus pada satu wilayah saja. Dampak dari pengamatannya ini adalah bahwa dia juga bisa mengamati bagaimana kampus mengelola mahasiswa internasional plus apa yang dilakukan ketika terjadi masalah dalam kebijakan pengaturan tersebut.

Contoh yang dia berikan adalah tentang kebijakan mencampur mahasiswa asing di universitas tempatnya belajar. Tujuannya adalah agar para mahasiswa dari berbagai budaya itu bisa saling melebur dan memahami. Namun, di satu titik terjadi masalah antara mahasiswa dari berbagai budaya itu. Akhirnya, kampus mengambil tindakan untuk mengkaji kebijakan yang pada awalnya memiliki intensi baik tersebut. Kampus yang punya gagasan ideal itu pun akhirnya harus mengkaji lagi gagasan idealnya berdasarkan kenyataan di lapangan.

Jadi Panitia Asian Games tanpa Menonton Pertandingan

Dan, satu hal yang menurut saya membuat saya nyambung dengan Dr. H ini adalah bahwa selama berkuliah dia juga sempat kerja yang membuatnya terlibat dengan orang-orang internasional. Menurut Dr. H, dia berada di Tiongkok saat diadakan Asian Games tahun 2010 silam. Tidak hanya berada di sana pada saat tersebut, dia juga sempat kerja mendukung Asian Games. Pendeknya dia terlibat jadi bagian dari panitia Asian Games. Namun, anehnya, anehnya, anehnya, dia tidak bisa sama sekali ikut menonton pertandingan yang ada di sana.

Alasanya adalah: dia bekerja sebagai pemandu respons audiens terhadap permainan. Dia memandu para penonton untuk melakukan gerak ini itu untuk memeriahkan acara. Saya tidak tahu detailnya bagaimana, tapi sepenangkapan saya, mestinya yang dia maksud ini adalah gerakan-gerakan ombak atau respons penonton yang mengangkat kertas warna ini dan itu yang ketika ditangkap kamera akan tampak indah.

a man conducting the audience response in an international sports game

Karena menjadi pemandu respons penonton inilah dia jadi harus selalu menghadap ke penonton sepanjang pelaksanaan kegiatan. Dr. H hanya boleh menghadap ke penonton. Kalau balik badan untuk melihat pertandingan, dia pasti akan mendapat teguran dari atasannya.

Dari dua cerita terakhir Dr. H ini, dan dari cerita Dr. L juga, saya jadi semakin sadar bahwa di sekeliling kita ini banyak orang yang memiliki pengalaman dan kisah hidup unik. Bila kita ada kesempatan mendengarkan cerita-cerita yang unik ini, mungkin kita bisa semakin yakin bahwa sebenarnya hidup ini sangat berwarna dan ada banyak pilihan di dalamnya. Hal ini pada akhirnya tentu akan berhubungan dengan kecenderungan kita dalam menyikapi berbagai hal dalam hidup.

Yang paling nyaman buat kita adalah sesuatu yang kita akrabi. Ketika ada satu praktik yang telah dilakukan terus-menerus, kita cenderung terikat kepadanya. Bahkan ketika kita menghadapi masalah, kita cenderung melihat praktik yang sudah kita akrabi itu untuk mendapatkan solusinya. Dengan membiasakan diri menyadari ada begitu alternatif cara yang bisa kita coba untuk mencari solusi untuk setiap masalah, mungkin jalan kita menuju pemecahan masalah menjadi lebih dekat. Memang tidak ada solusi bahwa kita bisa menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi secara institusi. Tapi, setidaknya dengan mencoba berbagai solusi, kita bisa membantu mengkurasi alternatif-alternatif solusi yang ada.

Eh, kok jadi ngomong institusi? Biarlah ini jadi pengalaman membuka mata buat saya sendiri dulu lah. Untuk detail dan lain-lain, tentu lebih baik kita menunggu Dr. H sendiri yang menceritakan kisah-kisah uniknya ke kita lewat bukunya.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *