Kalau melihat jajaran adiwira Indonesia yang hadir di komik sejak era 70-an, sulit membantah anggapan bahwa Adiwira Indonesia adalah respons (jangan pakai “copycat”) atas superhero Amerika. Banyak yang telah menunjukkan kemiripan Godam-Superman, Sri Asih-Wonder Woman, Gundala-Flash, dan lain-lain. Namun, ketika digali lebih jauh, memang ada pembeda-pembeda yang menjadikan para adiwira lokal ini berbeda dengan superhero Amerika, seperti misalnya terungkap dalam kajian yang sudah dilakukan oleh Kurniawan (2017) dan Saptanto dkk (2020). Kurniawan juga mengutip Joko Anwar yang pernah menyatakan bahwa ada yang jelas berbeda dalam hal asal-usulnya: kisah jagoan super Indonesia terpengaruh kisah mitologi nusantara. Hal ini berbeda dengan kisah-kisah superhero Amerika yang mengandung planet lain. Jagad adiwira Indonesia ini adalah fiksi ilmiah yang tidak hanya memelintir ilmu fisika, tapi juga ilmu sosial (antropologi dan sejarah). Yang tak kalah uniknya, ketika hadir dalam bentuk film, muncul lagi perbedaan mendasar antara kisah adiwira Indonesia dan Amerika yang tampak pada film Sri Asih (2022), yaitu perbedaan sikap terhadap tradisi.

poster sri asih dari bumilangit untuk menunjukkan tampilan Sri Asih di film

Tradisi bisa dimaknai dengan berbagai cara dalam film Sri Asih. Ada tradisi berupa bahasa, ritual, dan busana Jawa yang hadir secara menonjol. Tapi, ada tradisi dalam bentuk lain yang juga muncul menonjol di sini, yaitu tradisi dalam artian praktik yang dilakukan seseorang karena pengaruh pendahulunya. Di film ini, Alana (Pevita Pearce) mengalami kehadiran tradisi dalam arti kedua ini ketika dia harus memilih antara mengikuti pancingan Dewi Api yang memintanya meluapkan kemarahan atau sebaliknya mengendalikan amarahnya agar dia bisa mendapatkan kekuatan sejati Dewi Asih. Dewi Api (Dian Sastrowardoyo) dan Roh Setan (Reza Rahadian) sempat bersama-sama membujuk agar Alana merangkul kemarahan. Tapi Alana justru memilih ketenangan yang di film ini hadir dengan iringan tembang dan puisi yang mengalun lembut: “Jagad Ira Jagad Edi.” Alana memilih tradisi.

Tentu ini berbanding terbalik dengan keputusan Carol Denvers di Captain Marvel (2019) yang menolak untuk mengikuti manipulasi mentornya agar menahan kekuatannya. Carol Denvers dan sejumlah superhero Amerika (bahkan Sam Wilson yang menerima tameng vibranium Kapten Amerika dalam The Falcon and the Winter Soldier [2021]) tetap mengedepankan subjektivitasnya, kediriannya yang unik.

Dalam Sri Asih, alih-alih menonjolkan diri yang khas, film ini lebih mengunggulkan tujuan bersama. Yang lain bolehlah menunggu. Adegan yang sangat apik dalam mewakili kecenderungan ini terjadi pasca kemenangan Alana mengalahkan Roh Setan. Ketika harus membantu Sancaka (tetapi kostum Sri Asih masih belum selesai diperbaiki setelah terkena ledakan bom), Alana tidak keberatan sama sekali, dan bahkan tampak tersenyum bangga di tengah layar ketika ibunya, Sarita Hamzah (Jenny Zhang), mengatakan: “Masih ada peninggalan baju Nani Wijaya.” Busana adalah bagian dari identitas, tapi buat Sri Asih, yang lebih utama tetap tujuan akhirnya. Tak jadi soal baju sendiri atau lungsuran. Di sinilah terbukti bahwa tampilan visual para adiwira Indonesia boleh dituduh “copycat,” tapi jiwa yang merangkul tradisi ini jelas berbeda. Dan dia bangga dengan “peninggalan baju” itu.

Referensi

Saptanto, D. D., & Dewi, M. K. (2020). Gundala and Gatotkaca in the concept of modern Indonesian superheroes: Comparative analysis of the Indonesian and American superheroes. EduLite: Journal of English Education, Literature and Culture, 5(1), 136-147.

Kurniawan, R. A. (2017). Metode Perbandingan Karakter Komik Superhero Indonesia Dengan Amerika: Studi Kasus Gundala dengan The Flash (Doctoral dissertation, PPS ISI Yogyakarta).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *