Coban Parang Tejo: Pesona yang Ditinggalkan dan Menjadi Aksesori

Pada akhir tahun 2019, ketika dunia belum mengenal social distancing, seorang tetangga saya menceritakan tentang satu air terjun yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Namanya air terjun Parang Tejo. Seperti biasa, saya mengunjungi air terjun itu bersama anak saya di sebuah Sabtu pagi. Sayangnya, selama perjalanan ke sana, HP saya bermasalah dan akhirnya tidak sempat memotret sama sekali. Yang saya ingat adalah air terjunnya tidak terlalu jauh, banyak spot selfie, ada musholla yang rapi, dan sebagainya.

Hiking berjalan lancar dan saya menikmati kopi dan mie instan setelah kembali ke parkiran. Biasalah anak muda. 2019 berganti 2020, dunia yang ceria menjadi murung, nongkrong-nongkrong berubah menjadi social distancing, dan Parang Tejo pun terlupakan. Selama pandemi, saya hanya beberapa kali hiking bersama anak saya, kebanyakan ke tempat-tempat yang memang sudah kami akrabi.

Hingga beberapa waktu yang lalu, di sebuah sabtu pagi yang tanpa pretensi, kami berangkat ke Parang Tejo. Suasana sudah berbeda. Pandemi telah benar-benar mempengaruhinya.

Tempat Wisata yang Ditinggalkan

Kejanggalan pertama yang tampak adalah bahwa Coban Parang Tejo kurang tersoroti. Ketika pertama kali mengunjungi tempat ini, saya masih ingat adanya banyak papan penunjuk menuju lokasi air terjun. Kali ini agak berbeda. Sepanjang perjalanan, hanya satu kali saya melihat nama Coban Parang Tejo disebut di penunjuk arah. Ketika mendekati lokasi, yang lebih menonjol adalah Kebun Rojo Camp. Di satu belokan, saya bahkan hampir salah arah karena ada satu penunjuk “Coban Parang Tejo” yang sudah pudar dan habis dicabut dan disandarkan begitu saja di pinggir jalan. Yang lebih banyak justru penunjuk jalan menuju “Kebun Rojo Camp.”

Ketika tiba di lokasi, kondisi sudah berubah. Tempat parkir yang dulu ada di sebelah kiri jalan makadam (yang juga jalur pendakian ke Gunung Butak) kini pindah ke sebelah kiri. Kalau diperhatikan lagi, kawasan yang dulunya tempat parkir sekarang masih ada, tapi tempat-tempat para pegawainya sudah tidak terawat dan rusak. Bahkan papan-papan informasi juga sudah kelihatan pudar dan tidak lagi diperhatikan. Sementara, di tempat parkir yang baru, di sebelah kanan, ada pos yang cukup rapi, ada beberapa orang di sana, dan banyak sepeda motor terparki. Di situ juga tampak ada camping ground di bawah pohon pinus yang tertata rapi di lereng bukit yang terus naik.

Pos di pintu masuk ke Coban Parang Tejo tampak sepi, jadi saya mengasumsikan posnya pindah ke dekat tempat parkir itu.

Salah seorang petugas dari pos itu menanyakan:

“Dari Unisma ya, Mas?”

Tentu saya jawab tidak. Pinginnya sih mau menjawab “Saya dari Ma Chung,” tapi tentu itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sepertinya mereka memang menunggu rombongan dari Unisma.

Setelah memarkir motor, saya ke pos dan tanya kepada mbak tentang pembayaran karcis masuk. Ternyata yang diurusi si Mbak adalah pembayaran karcis masuk untuk mereka yang mau camping di Kebun Rojo Camp. Untuk parkir motor, saya hanya ditarik Rp5.000. Ketika saya bilang mau ke Parang Tejo, si Mbak menanyakan apakah saya sudah pernah dan tahu jalannya. Tidak ada tiket untuk jalan ke air terjun.

“Njenengan ini bukan yang ngelola air terjunnya ya, Mbak?”

“Bukan, Mas. Kami cuma di Kebun Rojo Camp sini,” kata Mbaknya. “Kalau kami ini swadaya warga Gading Kulon dengan izin dari Perhutani.”

Dari perbincangan singkat itu, saya mendapati bahwa Coban Parang Tejo saat ini tidak ada pengelolanya. Ketika saya berkunjung sebelum pandemi dulu, tempat itu dikelola oleh investor dari luar yang menyewa ke Perhutani. Namun, saat ini investor itu tidak lagi menangani tempat ini. Katanya, investornya tidak bisa lagi dihubungi. Akhirnya, tempat itu pun tidak ada lagi yang menjaga atau merawat. Semak-semak mulai merangsek dan merebut kembali wilayah yang dulu sempat bersih dan rapi karena dijadikan pos, musholla, gazebo, dan lain-lain.

Inilah kawan-kawan, salah satu korban dari pandemi. Sayang sekali memang: tempat yang baru saja dikelola sebelum pandemi itu akhirnya harus tutup dan mungkin tidak bisa mengembalikan modalnya. Tapi, demikianlah alam bekerja

Hiking ke CobanDengan Tanggung Jawab Sendiri

Ketika masuk ke jalur pendakian menuju air terjun Parang Tejo, kita pun akhirnya dituntut mengurusi diri kita sendiri. Ada jalur bercabang tidak jauh dari pintu masuk. Di situ tidak ada penunjuk. Kami memilih jalur yang naik. Namun, lama-lama semakin naik sementara air terjun terlihat jauh di bawah sana di seberang ngarai. Lama kelamaan, jalur yang kami daki itu pun habis. Ada kesan bahwa ini adalah jalur yang baru dibuat para pekebun. Akhirnya, menyadari kesalahan, kami pun balik arah dan kembali ke percabangan semula.

Sepertinya ini soal kecil. Di tempat yang gratisan, kita tidak bisa menuntut ada penunjuk jalan yang menjamin kita sampai ke tempat yang ingin kita tuju.

Namun, begitu mencoba jalur satunya, saya mulai mengenali daerahnya dan bisa menemukan bangunan-bangunan yang dulu saya pernah lihat dan kunjungi. Di lereng sebelah kanan yang agak tinggi, terdapat toilet berdinding permanen lengkap dengan tandon airnya. Di sebelah kiri terdapat gazebo dan papan informasi. Semuanya sekilas masih lengkap.

Namun, begitu mendekat, tampaklah bahwa tempat ini tidak lagi dikelola. Tandon air tampak kosong meskipun terlihat utuh. Semak-semak sudah mengepung toilet. PIntu toilet terbuka dan terlihat di dalamnya ada sarang laba-laba dan sejenisnya yang mengesankan dia tidak lagi dipakai. Begitu juga dengan gazebo permanen itu. Bentuknya masih utuh, tapi di papannya yang dulu mestinya terdapat pengumuman kini berupa tulisan-tulisan vandal.

Kami melanjutkan perjalanan ke arah air terjun. Bambu-bambu klisik di sebelah kiri tampak rimbun. Sepertinya bambu-bambu kecil ini dulunya ditanam oleh pengelola. Di situ saya jadi sadar tentang sesuatu yang tidak ada: platform kayu yang dulu dipakai buat foto-foto. Bentuknya seperti jembatan kayu yang eksotis. Ketika ke Parang Tejo di akhir 2019, saya ingat ada sebuah platform kayu bagus yang asyik buat selfie-selfie. Platform kayu itu ada di lereng kiri ketika kita baru masuk. Kali ini, ketika masuk, lereng kiri hanya dipenuhi semak-semak. Tidak ada lagi jembatan kayu dan kawasan-kawasan cantik yang bisa dilihat di sini.

Ketika melanjutkan hiking, ke air terjun, ada beberapa bagian yang tampak telah longsor. Mungkin ini risiko alami hiking ke air terjun di kawasan Malang ini. Jalur-jalur yang dibuat bukanlah jalur alami, tapi jalur yang dibuat pada tanah miring. Dan tekstur alamnya yang tanah ini tentu selalu berisiko pada musim hujan. Kadang tanahnya tergerus oleh air yang turun ke dasar ngarai. Terkadang, tanah yang terkena hujan terus menerus itu akhirnya jadi gembur dan ketika diinjak longsor. Ada banyak peringatan yang meminta pengguna jalur untuk berhati-hati. Tapi peringatan itu tentu hanya peringatan: tidak ada yang menjamin akan membantu kita ketika terjadi apa-apa.

Menjadi Aksesori Saja

Ketika mendekati air terjun, kami bisa mendengar suara anak-anak kecil berjeritan. Tampaknya mereka bermain-main di air terjun itu. Tidak bisa kami pastikan berapa banyak anak yang ada di sana. Begitu sudah dekat dengan air terjun, mulai muncul dua anak yang berjalan balik dari air terjun.

“Masih banyak di belakang, Pak,” kata dua anak yang pertama kali berpapasan dengan kami. Setelah ngobrol sedikit sambil menunggu yang lain, saya pun tahu bahwa mereka ini dari sebuah SMP Muhammadiyah di Kota Malang. Mereka sudah kemping sejak sore sebelumnya. Ini adalah kegiatan terakhir mereka sebelum kemudian berkemas dan berangkat pulang.

Kami pun mencari tempat yang agak longgar dan duduk di batu-batu sambil menunggu rombongan itu lewat. Ada beberapa puluh anak SMP kelas 7 dan 8, laki-laki dan perempuan, dengan sekitar 3-4 orang guru. Dari salah satu guru saya tahu bahwa Kebun Rojo Camp ini sekarang sering dijadikan tempat perkemahan, baik sekolah, kuliah, maupun umum.

Tampaknya, kawasan Coban Parang Tejo yang dulunya punya banyak wahana tapi sekarang tinggal air terjunnya saja ini sekarang sudah beralih fungsi. Dia bukan lagi satu kawan wisata tersendiri yang menjadi tujuan orang dari jauh. Saat ini dia lebih merupakan sebuah air terjun yang memang ada dari dulunya yang akhirnya menjadi asesori bagi Kebun Rojo Camp.

Kalau meihat beragamnya pengunjung dan tidak adanya pengelolaan keselamatan secara sistematis dari investor, sepertinya ada satu hal yang perlu dilakukan. Perhutani atau pengelola Kebun Rojo Camp perlu ikut membantu memastikan kawasan air terjun ini tetap terjaga. Perlu ada usaha untuk meremajakan jalur pendakian sambil juga memastikan keselamatan pengunjung. Plus, perlu juga usaha untuk membersihkan sampah-sampah yang masih tampak di sana.

Atau, kalau memang diperlukan, mungkin bisa dicoba melakukan sesuatu yang juga cukup lazim dalam pengelolaan kawasan pendakian: penutupan jalur sepenuhnya selama periode tertentu. Di kawasan Bromo-Tengger-Semeru ada masa-masa ketika tidak boleh ada pendakian. Di Arkansas, negara bagian (The Natural State) yang terkenal dengan banyak tempat hikingnya, ada kalanya jalur pendakian ditutup sepenuhnya biar alam memperbaiki dirinya. Mungkin itu bisa dipertimbangkan untuk Parang Tejo. Biarkan semak atau pohon tumbuh. Biarkan akar menguat. Biarkan alam berjalan tanpa ada orang bawaa plastik makanan, dan sebagainya.

Tapi, kalau masih menginginkan ini sebagai aksesori untuk yang saat ini ada, perlu ada usaha untuk memastikan kerusakan tidak semakin parah.

Seiring bangkitnya kita dari pandemi dan bahkan mulai lupa tentang pandemi, sedikit demi sedikit kita bisa melihat sisa-sisa dari pandemi. Pandemi itu memang nyata dampaknya. Dan mestinya kita tetap mempertimbangkan risiko ini dalam berbagai hal yang kita lakukan, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan dan kesehatan kantong kita–maksud saya ekonomi. Coban Parang Tejo ini mungkin satu kisah tentang mereka yang dikalahkan pandemi.

Oh ya, kok saya belum bicara soal air terjunnya sendiri ya? Ya, air terjunnya tetap indah seperti sedia kala, kawan. Airnya juga tetap jernih. Tapi setelah nonton Tirta Carita dan diskusi tentang film dokumenter itu dengan pakar dari Museum Zoologi, saya tentu jadi tahu bahwa kejernihan air bukanlah bukti bahwa dia layak minum. Untuk melihat gambar air terjunnya, silakan lihat foto ini:

Terakhir, kalau kawan-kawan ingin melihat proses jalan-jalannya, boleh lah melihat video di bawah ini:

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *