Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Pantai Selatan Malang sudah dikembangkan secara maksimal dalam satu dekade terakhir. Pembangunan Jalur Lintas Selatan yang semakin panjang dari kawasan Sendang Biru hingga ke Barat (direncanakan sampai tembus Blitar pada 2025) membantu kegiatan ekonomi dan mengekspos berbagai pantai indah kawasan ini, termasuk Pantai 3 Warna yang hebat konservasi mangrovenya itu.

Namun, bukan berarti sudah semua pantai di kawasan selatan Malang sudah terekspos. Masih banyak daerah di Malang Selatan yang jalannya tidak sebesar Jalur Lintas Selatan dan pantainya jadi ikut sulit dijangkau. Desa-desa yang ada di Kecamatan Tirtoyudo tampaknya termasuk di sini.

Kawasan Tirtoyudo yang juga terkenal karena kopinya ini adalah daerah yang unik. Lokasi ini dataran tinggi, tapi kalau kita terus berjalan ke arah Selatan, kita akan ketemu Laut Selatan. Jadi, lokasinya bisa dibilang dari tinggi terus secara drastis turun. Hasilnya, lokasi yang naik-turun secara ekstrim.

Pendeknya, bukan jalur yang sangat memanjakan. Tapi di sisi lain juga jadi jalur yang menyenangkan bagi orang-orang tertentu.

Mengenal Pantai Selatan Baru

Kejutan seperti itulah yang saya alami akhir pekan ini. Pengalaman saya di pantai selatan Malang praktis hanya pantai-pantai yang berada dalam jangkauan Jalur Lintas Selatan. Meskipun tentu saya sudah pernah sampai ke pantai-pantai itu jauh sebelum ada Jalur Lintas Selatan.

Pada prinsipnya, pengalaman saya di pantai-pantai selatan Malang terbatas pada pantai-pantai yang sudah cukup populer sejak dulu. Dengan kata lain, yang pernah saya alami hanya perjalanan ke pantai-pantai dari Sendang Biru hingga ke Barat sampai pantai Jonggring Saloko.

Pantai-pantai yang agak ke timur, saya belum pernah sebelumnya. Dan masalahnya adalah saya berasumsi jalurnya kurang lebih sama dengan pantai-pantai di Jalur Lintas Selatan.

Saya sudah lama ingin jalan ke pantai selatan Malang naik motor, tapi belum sempat-sempat juga. Maka, ketika kemarin saya tanya kawan saya Novenda tentang tempat dia pernah belajar surfing dan mendapat rekomendasi Pantai Wedi Awu, saya pun cukup excited. Ini bukan pantai yang saya akrabi. Lokasinya pun di kecamatan Tirtoyudo, bukan Sumbermanjing Wetan atau Donomulyo yang saya sudah agak akrab.

Perjalanan dari Malang kami mulai sejak pagi-pagi sekali. Jam 6.00 WIB kami sudah meninggalkan kota Malang. Di kawasan Bululawang sampai Turen suasana sangat berkabut. Namun, ketika sudah tiba di Dampit, hari mulai terasa terang. Dari Dampit, kami mulai mengambil jalur ke arah Lumajang tapi tidak terlalu lama di jalur itu kami belok kanan dan memasuki jalan desa yang lebih kecil untuk mencapai pantai selatan.

Bululawang berkabut tebal. Saking tebalnya bisa digulung seperti bed cover.

Di sinilah saya mulai ketemu jalur berkelok-kelok, naik turun, gabungan aspal dan cor baru. Ini yang tidak ada dalam ekspektasi saya. Jalannya relatif kecil. Apalagi karena setting google maps saya untuk motor, saya diarahkan lewat jalur perkebunan yang lebih kecil lagi.

Di sini kami melewati beragam wilayah, mulai wilayah ladang tebu, kebun singkong, pohon pisang di sela-sela, pedesaan, dan hutan jati. Sangat beragam.

Kejutan Menuju Pantai Wedi Awu

Kejutan yang paling kejutan adalah saat melewati gerbang menuju Desa Wisata Bowele, tempatnya pantai Wedi Awu dan pantai Lenggoksono. Di sini naik turunnya jalur terasa sangat ekstrim. Beberapa ruas jalan yang terbuat dari beton cor membuat hati berdesir. Bagaimana tidak, cor yang ada memiliki ketebalan hingga sampai 40 cm dari tanah di beberapa bagian.

Tapi, selama kita berjalan di arah yang tepat, dan mau menepi atau bahkan berhenti sebentar ketika berpapasan dengan kendaraan lain yang besar seperti truk, insya allah kita aman-aman saja.

Bowele menyambut

Sekadar info, Desa Wisata Bowele termasuk ke dalam 75 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia. Desa wisata ini terdiri dari dua desa administratif, yaitu Desa Balearjo dan Desa Purwodadi.

Kalau Wedi Awunya tahu dari kawan yang belajar surfing, saya kenal Bowele baru-baru ini dari mas Agus Wiyono, koordiator EJEF yang terlibat penjurian Anugerah Desa Wisata Indonesia. Beberapa waktu terakhir dia banyak cerita tentang kegiatan pengembangan desa wisata Bowele lewat Instagram.

Mendekati pantai, jalur bercabang dua. Jalur kiri membawa kita ke kawasan Desa Balearjo. Jalur ke kanan membawa kita ke kawasan Desa Purwodadi, yang lebih dikenal sebagai pantai nelayan Lenggoksono.

Untuk ke Pantai Wedi Awu, kita harus lewat Desa Wisata Bowele. Kita ambil jalur kiri. Di sinilah jalur paling ekstrimnya. Selama perjalanan singkat yang harus berkelok=kelok itu elevasi turun drastis.

Jalur ekstrim mendekati Pantai Wedi Awu

Buat warga lokal yang banyak di antara memakai motor matic CC tinggi, jalur ini mungkin sudah biasa mereka lalui. Namun, buat para pendatang, sebesar apapun motornya, inilah saatnya kalian bersikap rendah hati dan mencoba mengenali jalur.

Turunnya memang jelas harus hati-hati karena ada beberapa tikungan tajam. Pada dasarnya ini adalah jalur zig zag menuruni punggung bukit. Naiknya bagaimana? Tentu harus hati-hati. Tikungan itu menuntut kita mengurangi kecepatan, sementara kita juga harus segera gas pol agar tidak merosot. Saya lumayan beruntung karena pakai motor manual 175 CC. Bisa buat boncengan, namun untuk menanjak harus menggunakan persneling satu di banyak bagian, demi keamanan.

Memang seperti itulah perjalanan ke pantai selatan Malang. Tidak semuanya mulus dan lebar seperti yang sudah terjangkau oleh Jalur Lintas Selatan. Di sini saya baru mulai memahami apa yang dikatakan seorang kawan yang suamianya fotografer beberapa tahun yang lalu: dia mencari pantai-pantai bagus di Malang Selatan.

Ya, tidak semua pantai bagus di Malang Selatan sudah “ditemukan” oleh para pencari pantai. Tentu pantai-pantai ini sudah menjadi bagian dari kehidupan para warganya, sudah menjadi urat nadi dan bahkan sumber protein mereka lewat ikan tongkol dan lain-lain. Namun, para pencari pantai, penggemar surfing, sekadar penjelajah amatir–sebagian besar mereka hanya tahu pantai-pantai yang mudah dijangkau seperti lewat Jalur Lintas Selatan.

Namun, fakta bahwa kawasan Balearjo dan Purwodadi ini memilih mendirikan Desa Wisata dan menyambut pendatang adalah sesuatu yang bagus. Mereka bukan hanya menjadi objek yang dituju orang, tapi subjek yang mengundang orang. Soal itu, kita lihat di postingan selanjutnya ya.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

ABNORMALITY – Art Exhibition or Design Exhibition?

What's the difference between an art exhibition and a design exhibition? You probably want to…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *