Pantai 3 Warna & Pengelolaan Wisata Alam yang Perlu Ditiru

(Versi yang lebih ramah koran dari tulisan ini dimuat di kolom Citizen Reporter koran Surya di sini dan pada edisi cetak koran tersebut Sabtu 4 November kemarin)

Pantai Tiga Warna adalah objek wisata alam di Malang Selatan yang wajib kawan-kawan kunjungi. Bukan sekadar karena objek ini kekinian dan layak-selfie. Tapi, setidaknya ada empat hal hebat yang sebagian tidak ada di mana pun di Indonesia. Klaim saya ini berdasarkan kunjungan saya ke Pantai Tiga Warna beberapa waktu lalu bersama kawan-kawan saya menerjemah di Transkomunika, dan ditambah dengan informasi yang saya peroleh dari acara “Bincang Alam” di P-WEC (sebuah balai edukasi konservasi di kawasan Dau, Kabupaten Malang) pada 15 Oktober 2017 lalu. Lebih dari sekadar urusan berwisata, mengunjungi Pantai Tiga Warna bisa menjadi pengalaman yang akan mengubah cara pandang kita memandang wisata alam.

Kepedulian. Objek wisata alam ini muncul kembali berkat kepedulian warga setempat yang ingin mengatasi kerusakan alam. Setelah pada awal tahun 2000-an hutan pantai selatan di kawasan ini rusak karena eksploitasi, warga berinisiatif untuk memperbaikinya. Maka, berkat pendampingan beberapa pihak dan kedisiplinan para warga setempat, kondisi alam di wilayah Pantai Tiga Warna mulai bisa dipulihkan.

Komitmen kebersihan. Pengelola objek ini berkomitmen memastikan kebersihannya. Ketika baru memasuki kawasan wisata, para pengunjung harus melewati pos pemeriksaan isi tas dan potensi sampah. Berapa botol air minum kemasan, isu basah, tas plastik, masker hidung, dan sebagainya, yang Anda bawa? Semuanya dicatat. Nanti, ketika meninggalkan lokasi, pengunjung harus kembali membawa barang-barang tersebut keluar. Kalau tidak, silakan pilih: kembali ke pantai dan mengambil sampah itu atau bayar denda Rp.100ribu.

Park Interpreter. Pengunjung harus ditemani pemandu dalam perjalanan dari pintu masuk hingga ke Pantai Tiga Warna. Setiap sepuluh orang harus disertai seorang pemandu. Kelompok saya dulu dipandu oleh Pak Pi’i dan mas Cepi. Pak Pi’i menceritakan riwayat pengembangan objek wisata alam ini dan upaya pemulihan alam yang telah ditempuh. Di kancah internasional, para pemandu ini disebut Park Interpreter, yang tugasnya menceritakan semua elemen, sejarah, dan kekhasan objek wisata. Hasilnya, para pengunjung dapat menghargai taman wisata ini lebih dari sekadar keindahan fisiknya.

Pembatasan. Pengelola membatasi jumlah pengunjung yang bisa berada di Pantai Tiga Warna dalam satu waktu sekaligus. Hanya boleh ada 100 orang dalam satu waktu (2 jam). Selama dua jam itu, pengunjung bisa menyewa pelampung dan alat snorkeling untuk melakukan untuk melihat kecantikan terumbu karang dengan ikan warna-warninya, satu hal yang langka di Jawa Timur.

Banyak lagi yang bisa dituliskan tentang Pantai Tiga Warna, ruang saya di sini sudah habis. Silakan kunjungi dan saksikan bagaimana objek wisata alam ini dikelola dengan disiplin dan rasa cinta. Menurut Agus Wiyono, kepala East Java Ecotourism Forum, penyaji di acara “Bincang Alam” yang saya sampaikan di atas, belum ada yang menyamai pengelolaan Pantai Tiga Warna ini di Indonesia. Jadi, pergilah ke sana, bukan hanya untuk selfie, tapi juga untuk melihat bahwa ada harapan cerah dalam pengelolaan wisata alam di Indonesia bisa ditiru. Dan inilah yang wajib diviralkan.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *