The Stage: Album Konsep A7X Tema Kekinian

Waktu kita mepet, Saudara, tapi yang namanya gelora yang sedang membuih harus diberi saluran buang, biar tidak terjadi ledakan. Baiklah.

Di antara sejumlah album yang saya nikmati setahun terakhir, ada album baru dan ada album lama yang baru saya kenal. Untuk album lama yang baru saya kenal, sebut saja album-album Nick Drake, terutama tiga album dari masa hidupnya. Saya berkenalan dengan Nick Drake beberapa bulan yang lalu karena ada kawan yang menawari ngobrol soal buku biografi musisi yang mati muda tersebut. Album-album Silampukau juga termasuk kelompok ini.

Kalau untuk album baru, saya bisa menyebut album Tanimaju Bed4 Topi Miring Bersama dan album Avenged Sevenfold terakhir, The Stage. Nah, album yang terakhir ini akan kita obrolkan sedikit di sini. Sedikit saja, asal pantes. Kenapa diobrolkan? Karena album ini temanya kekinian, yaitu AI, dan “genre” liriknya asyik, yaitu fiksi ilmiah. Asyik. Pol.

Sampul album diperoleh dari sini:

Pertama kali saya tertarik kepada album ini adalah karena sampulnya. Di sampul tersebut terlihat nebula dengan warna dominan khas jagad raya, ungu dan merah, dengan bumi di pusatnya, dengan bulan mengitarinya. Juga ada kilat di sebelah kanan dan kiri. Yang pernah baca bukunya Carl Sagan, Cosmos, pasti akan langsung teringat Carl Sagan saat melihat sampul ini. Bagi yang suka lihat sampul albumnya Avenged Sevenfold, mungkin Anda akan curiga pasti nebula dan kilat dan bumi ini ada apa-apanya.

Ya, coba lihat dari jarak agak jauh dikit, maka tampaklah bahwa nebula itu bisa menyerupai tengkorak yang miring tiga perempat ke kanan (bumi ada di mata kirinya) dan kilat-kilat itu adalah sayapnya (sayap kelelawar). Sayap kelelawar dan tengkorak adalah simbol yang selalu hadir di album-album A7X (Diazab 7 Kali). Ya, kalau Anda termasuk penggemar A7X, yang menyebut diri Anda The Fallen (Kaum Ternista), maka tengkorak yang menyelingkupi bumi dalam bentuk nebula itu tampak jelas.

Begitulah betapa sarat simbolnya sampul album ini. Begitu saya membacanya.

Ada satu masalah sebenarnya: kemungkinan pembacaan saya diarahkan oleh sebuah wawancara dengan M. Shadows bahwa album The Stage ini adalah ungkapan keresahan mereka terkait perkembangan teknologi yang semakin memakan manusia. Di situ dia sebut AI dan nanobot, yang berpotensi mengambil alih posisi manusia sebagai pusat jagad raya, atau–untuk menggunakan istilah dalam Islam–“khalifah di muka bumi.”

Ketika saya membaca wawancara itu, saya sudah mulai dengar albumnya, tapi saya hanya merasakan perubahan musiknya yang kian atmosferik (lebih mirip album Nightmare daripada Hail to the King) dan lebih variatif dalam mengatur tempo (lagi-lagi, lebih mendekati Nightmare daripada Hail to the King). Kalau boleh menggunakan simplifikasi, album ini lebih nge-progressive daripada nge-metal.

Tapi ya, harus diingat, kita di sini ngobrol soal Avenged Sevenfold, yang dalam sejarahnya bisa berubah-ubah warna, mulai dari vokal yang kasar dalam City of Evil hingga yang jernih melolong dalam Nightmare, mulai dari musik yang penuh marah dan pilu dalam Nightmare hingga yang pesta pora metal dalam Hail to the King.

Jadi, kalau saya bilang album The Stage ini lebih nge-progressive, kita tidak semestinya menganggap ini sebagai puncak kematangan mereka atau sejenisnya. Bisa saja ini merupakan pilihan bentuk yang disesuaikan dengan temanya, wadah ekspresi yang disesuaikan dengan isi ekspresinya. Tapi, mungkin tidak semestinya saya mengesankan adanya perpisahan antara bentuk dan isi seperti ini. Duh!

Nah, tibalah kita ke subject matter liriknya.

Ternyata, bila lagu-lagu dalam album The Stage ini ditilik satu per satu, akan tampak bahwa mereka tidak melulu berbicara tentang AI dan nanobot. Pendeknya tidak se-sci-fi yang dikesankan dari ucapan Mas Shadows. Memang ini album terasa sekali album konsep, tapi hubungan antara lagu satu dan lagu selanjutnya tidak selinier yang mungkin kita harapkan. Beda sekali tentu saja dengan album Horslips The Tain (yang merupakan progmetisasi dari epik Irlandia tentang perebutan kerbau) atau album Dream Theater Scenes from Memory (yang berkisah tentang past life regression).

Album The Stage ini merupakan satu kesatuan, tapi benang merahnya adalah tema. Mungkin, masing-masing lagu adalah puzzle yang menggambarkan kebingungan zaman ini terkait posisi kita manusia yang dalam sejarahnya cenderung menganggap berada di pusat semesta, atau kosmos untuk menggunakan istilah yang lebih ngepas dengan sampul album A7X.

Sekilas saja, di lagu pertama yang berjudul “The Stage” kita bisa mendengar renungan mengenai manusia yang mulai mempertanyakan posisinya di dunia. Di situ, Anda akan merasakan pertanyaan tentang benarkah kita ini ciptaan Tuhan, benarkah Tuhan mengawasi seluruh gerak kita, pantaskah setelah melihat ulah manusia yang brutal (bom nuklir!) kita tetap percaya adanya Tuhan yang mengawasi. Aku lirik dalam lagu itu bertanya siapakah yang mengawasi dari luar sangkar selagi kita berlaga di atas panggung ini? Pendeknya, lagu ini berisi pertanyaan eksistensial manusia. Dan ujung-ujungnya lagu ini bilang “aku percaya adanya jawaban, tapi tidak sekarang.”

Baru pada lagu kedua, “Paradigm,” kita bisa mulai merasakan nuansa fiksi ilmiah. Dalam lagu ini, kita mendengar lirik tentang tokoh yang sudah lama tidak bisa merasakan hidup bagai manusia biasa, tidak lagi sakit, tidak lagi butuh makan. Tapi dia tetap hidup. Dia tetap hidup, menjalani apa yang disebut di sini sebagai “paradigma akhir.” Kalau Anda mengikuti perdebatan mengenai “jiwa” dalam kacamata ilmu pengetahuan, pasti Anda akan segera memahami lagu ini.

Dalam diskusi keabadian tersebut, ada argumen bahwa yang menjadi intisari dari jiwa manusia adalah isi pikirannya. Dalam argumen tersebut, bila isi pikiran tersebut diunduh dan kemudian disimpan ke dalam sebuh hard drive atau sejenisnya, maka “jiwa” seseorang akan tetap ada. Maka, jika yang seperti itu  bisa dilakukan, “keabadian” bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebagai ilustrasi, ambillah contoh sosok Jor El, bapak si Superman. Si bapak sudah lama mati, tapi memorinya berhasil disimpan dalam pesawat yang membawa bayi Kal El ke bumi, dan saat memori itu diaktifkan, maka Jor El bisa hadir dan berkomunikasi dengan Superman, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin lagi dijawab oleh Jor El yang asli (dia sudah wafat di planet Kripton sana). Memori Jor El bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Superman dan tetap memberi bimbingan dan hikmah kebijaksanaan karena memori itu sifatnya adalah Artificial Intelligence, isi pikiran Jor El yang masih aktif, yang masih bisa merespons hal-hal baru. Jor El, pendeknya, sudah mengalami “keabadian.”

Dalam lagu “Paradigm,” hal inilah yang menjadi bahasan. Tapi, di lagu itu, si orang abadi menjadi sengsara, sebab dia tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Dia bertanya “Masihkah ada sisa manusia pada diri ini?” Nah!

Dua saja dulu ya? Lagu-lagu yang lain akan kita bahas dalam diskusi di Klub Buku dua minggu lagi. Di lagu-lagu lain ada bahasan tentang artificial intelligence yang membuat kita manusia terancam, karena kita yang dulu membuatnya, “tuannya, [kini] hanya menjadi batu pijakan” (lihat lagu “Creating God”).

Ada juga lagu “Fermi Paradox” yang tentunya merupakan metalisasi dari paradoks bahwa “kemungkinan adanya makhluk lain di jagad raya ini sangat besar sementara bukti tentang keberadaan mereka sama sekali tidak ada.”

Dan juga ada lagu “Exist” yang mungkin mengandung utopian impulse atau isyarat adalah harapan bagi umat manusia dan diakhiri dengan narasi dari Neil deGrasse Tyson–fisikawan yang sering dianggap sebagai penerus Carl Sagan dan bahkan baru-baru ini menjadi pembawa acara Cosmos versi baru, yang tentunya merupakan TV-isasi dari buku Carl Sagan yang terkenal itu.

Kembali ke sampul album, mungkin kita bisa menafsirkan posisi bumi yang ditengah layar itu sebagai pandangan manusia yang masih merasa sebagai pusat semesta, tapi hal tersebut mungkin tidak lama, entah karena bumi akan dimangsa nebula dan sepasang kilat yang ada di sekitarnya itu, atau pula mungkin karena akan tumbuh kesadaran manusia bahwa kita ini hanya seujung upil dari jagad raya yang tanpa batas ini (itu kalau kita mempertimbangkan narasi Neil deGrasse Tyson di lagu terakhir album ini).

Jadi begitulah menariknya album ini. Tentu masih ada hal-hal menarik yang bisa dibahas. Apakah munculnya The Stage ini adalah kaitannya dengan bergabungnya Brooks Wackerman, yang dari tahun 2001 hingga 2015 kemarin merupakan penggebuk drum Bad Religion, band punk yang pandangannya belakangan sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan biological anthropology pentolannya, Greg Graffin, yang merupakan seorang naturalis itu?

Entahlah. Apa yang terjadi dengan Avenged Sevenfold sampai-sampai bergabungnya mantan penggebuk drum Bad Religion–yang bisa dibilang temponya relatif konstan itu–malah membuatnya memiliki tempo yang lebih warna-warni (progresif?)? Banyak pertanyaan lainnya. Mari kita jawab kalau ada waktu.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *