(Terjemahan Lagu) Aerials – System of a Down

Perlu kiranya sedikit pendahuluan untuk postingan kita kali ini. Saya kenal System of a Down pertama kali melalui album Toxicity, melalui kebaikan hati seorang kawan yang memperkenalkan band metal yang didengarkannya waktu itu. Ketika itu, awal tahun 2000-an, tengah naik daun band-band metal (atau nu metal atau hip metal) semacam Korn, Limp Bizkit, Soulfly dan lain-lain. Tentu saya sempat merasakan teriak-teriak ngerap “Take a Look Around” sambil mungkin membayangkan diri akan menjadi seganteng Tom Cruise. Nah, di satu kesempatan saya minta rekomendasi band baru dari seorang kawan, gitaris yahud di Malang asal Blitar bernama Yudi Ijum. Dia meminjami saya kaset Toxicity yang kemudian saya puter di kamar kost sampai berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Itulah perkenalan pertama saya dengan System of a Down.

Ketika itu saya merasakan musiknya asyik–ada ruang-ruang jernih yang selalu saya suka–dan vokalnya tak ada duanya–ada cengkok-cengkok yang tidak lazim di band metal mana pun. Waktu itu saya anggap saja biasa, karena Korn juga punya kecenderungan memakai cengkok-cengkok khas yang tak bisa ditemui di band-band lain. Power vokal Serj Tankian yang super-bariton itu jug atak urung membuat saya cinta. Saya juga suka vokal Korn meskipun ketika itu musiknya menurut saya terlalu berisik dan sulit dicerna (pandangan serampangan yang selanjutnya berubah setelah saya dengar versi akustik mereka dan semakin jatuh cinta setengah mati–apalagi di situ ada vokalis gothic-metal “Amy Lee, from Evanescence”). Kayaknya, waktu itu ukuran vokal adiluhung adalah bariton, seperti halnya Tuan Jim Morisson yang baru beberapa tahun sebelumnya saya kenal. Tapi, seiring waktu, seiring hadirnya musisi-musisi baru dalam hidup saya, System of a Down pun melesap ke latar…

Sepuluhan tahun kemudian, ketika YouTube menjadi realitas tak terhindarkan yang tak ubahnya wartel di masa 2000-an awal, saya sempatkan mencari lagi System of a Down. Hmmm… Tetap menarik.

Beberapa tahun kemudian, saya kenal seorang pianis perempuan asal Lebanon, yang datang ke kampus saya di Arkansas untuk menyajikan resital dalam peringatan 100 tahun genosida bangsa Armenia. Saya kebagian tugas memvideo dan merekam audio dalam resital tersebut. Keluarga Amy, nama pianis itu, sudah tiga generasi tinggal di Lebanon, tapi dia orang Armenia. Dia hanya memainkan nomor-nomor karya para komponis yang nama-namanya memiliki kemiripan yang tak mungkin terlewatkan: semua nama belakangnya diakhiri dengan “-ian.” Saya langsung teringat System of a Down (vokalisnya Serj Tankian, dan yang lainnya juga mengandung “-ian”). Yang lebih penting lagi, ketika mendengarkan resital tersebut: saya dikejutkan oleh ketidakbiasaan yang terasa seperti gelombang yang membentur karang di pantai saya belasan tahun yang lampau. Semua komposisi klasik yang dimainkan oleh Amy adalah karya komponis Armenia. Di situlah, ada nada-nada khas, yang berkisar antara misterius dan manis dan pilu, yang berbeda dengan yang kita temui dalam komposisi-komposisi klasik dari Eropa–apalagi Amerika, ya tentunya skor-skor film Hollywood itu juga komposisi klasik kekinian dong! Komposisi-komposisi klasik Eropa penuh kemegahan, keceriaan musim semi, kesyahduan spiritual, dan sejenisnya. Keganjilan nada-nada komponis Armenia itu–dalam benak saya–memiliki kemiripan dengan ganjilnya cengkok-cengkok Serj Tankian dalam Toxicity.

Saya langsung riset kembali tentang System of a Down. Ternyata oh ternyata! Semua anggota System of a Down memang keturunan Armenia. Bahkan beberapa di antara mereka lahir di luar Amerika (Lebanon? Armenia?) dan baru kemudian bermigrasi ke Amerika. Dan, pada tahun 2015 itu, ternyata Serj juga ikut berkampanye menumbuhkan kesadaran orang tentang genosida bangsa Armenia oleh kekaisaran Turki Utsmani (yang masih belum begitu saja diakui oleh negara Turki saat ini). “Riset” saya juga akhirnya membuat saya menguji asal-usul semua orang Amerika yang namanya berakhiran “-ian” dan memang semuanya terbukti sebagai keturunan Armenia (termasuk Derek Sherinian, kibordis ultra-agresif yang pernah berkarir di Dream Theater itu).

Baiklah, saya cukupkan di sini saja obrolan saya tentang System of a Down. Kenapa saya nulis ini? Karena kebetulan saja kemarin sore waktu di kantor saya mendengar rekan kantor depan saya muter soundtrack-nya Dea Lova sementara rekan di ujung lorong muter Toxicity. Saya memutuskan untuk menikmati saja musik yang siap pakai itu. Dan baru kemudian saya ingat punya terjemahan “Aerials” yang tidak pernah saya terbitkan. Jadi silakan nikmati terjemahan “Aerials” berikut ini. Kata “Aerial” sendiri tidak saya terjemahkan karena saya sendiri masih ragu-ragu, kira-kira apa yang dimaksud “Aerial” di sini. Secara harfiah sih artinya di sini seperti mengacu ke antena-antena yang biasanya menghiasi pandangan kita saat melihat ke langit di tengah pemukiman padat. Tapi, saya cukup yakin juga bahwa aerial ini bisa berarti semacam serangga yang berkitaran di atas kita dan bisa melihat kita secara “aerial view” :). Jadi, daripada membunuh potensi makna yang mungkin akan datang kepada Anda, biarkan saja “Aerials” tetap menjadi “Aerial.”

Selamat menikmati!

AERIAL

Hidup adalah air terjun
Kini kita yang di sungai
Dan nanti lagi setelah jatuh

Berenang di kehampaan
Kita dengar firmannya
Kita lalu tersesat
Tapi temukan semuanya.

Karena kita yang ingin bermain
Selalu ingin jalan
Tapi tak pernah mau tinggal

Aerial di langit
Saat sirna benak ciutmu
Kau bebaskan hidupmu

Hidup adalah air terjun
Kita minum dari sungai
Lalu berbalik dan membangun tembok

Berenang di kehampaan
Kita dengar firmannya
Kita lupa diri
Tapi temukan semuanya.

Karena kita ingin bermain
Selalu ingin jalan
Tapi tak pernah mau tinggal

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *