Museum (+Kolam Renang) Panji, Tumpang, Malang

Sejak tahun lalu, seorang kawan saya, Cak Syarif, memberitahu saya bahwa dia tengah mempersiapkan sebuah museum (membuat diorama dan lain-lain) dan beberapa bulan terakhir dia mengajak saya ke museum tersebut. Namanya Museum Panji, baru dibuka tahun 2017 ini. Akhirnya, pada liburan Maulid Nabi kemarin, di sebuah hari Jumat, saya pun ke sana, dengan mas Didit, seorang kawan dosen di Universitas Ma Chung yang juga editor film sekaligus juga crew band top daerah Tani Maju. Pada kunjungan pertama itulah saya mendapati betapa tidak standar-nya konsep Museum Panji ini–dan pagi ini tadi saya mengulangi kunjungan sambil terjebak ketidakstandaran konsep tersebut.

Apa ini maksudnya? Saya akan coba jelaskan dalam tiga paragraf ke depan.

Ternyata, Museum Panji sangat hadir di dunia maya, tapi kurang petunjuk di dunia nyata. Museum ini sangat mudah ditemukan di Google Maps. Mestinya, para penggagas museum sangat peduli dengan eksistensi di Google Maps, satu hal yang wajib pada jaman sekarang kalau kita ingin membuat sebuah layanan komersial publik. Nah, uniknya, ketika mendekati lokasi, saya tidak temukan sedikit pun petunjuk yang mengatakan bahwa di sini bakal ada Museum Panji (yang berkualitas internasional, menurut sebuah review). Bahkan, ketika tiba di pelataran bangunan museum pun, saya tidak melihat tulisan “Museum Panji,” yang ada hanya tulisan “Kolam Renang.” Sebagai pengunjung pertama, saya agak ragu. Tapi untungnya mas Didit sudah stand by di lobby dengan secangkir kopi yang mengepul dan topi merah Tani Maju bertengger di kepala.

“Hmmm,” kata Master Yoda.

Ternyata, Museum Panji memang juga kolam renang (dengan arsitektur yang mengingatkan kita pada sebuah Patirtan). Waktu saya melongok dari Lobby ke arah halaman tengah lokasi, tampak di sana kolam renang dengan dasar biru dengan beberapa anak kecil berkecipakan di air seperti Spongebob dan Patrick berburu ubur-ubur. Waktu saya lihat fotonya dari Cak Syarif dan dari hasil googling, memang ada terlihat kolam dan gapura dan fasad candi dari batu-bata (yang sangat mengesankan jaman Majapahit). Kalau melihat adanya elemen candi dan air, saya mau tidak mau langsung ingat Jolotundo, sebuah Patirtan (dan mungkin candi pertama dalam hidup saya). Memang sih Jolotundo adalah candi dari batu andesit, bukan batu-bata; tapi ya namanya imajinasi ini sulit dikendalikan, gapura Museum Panji pun bisa mengingatkan pada Jolotundo. Dari gambar-gambar yang sebelumnya saya dapatkan, saya tidak mendapat kesan bahwa kolam biru di depan gapura itu adalah kolam renang. Ternyata, eh ternyata, itu kolam renang yang hidup, yang aktif, dan belakangan saya ketahui ternyata lebih populer daripada Museum Panji itu sendiri.

“Meditate on this I will,” kata Master Yoda saat melihat konsep museum plus kolam renang tersebut.

Panji2

Ternyata, lagi-lagi ternyata, koleksi Museum Panji sendiri sangat bagus dan melebihi ekspektasi saya, meskipun masih perlu penataan lebih maksimal untuk mencapai level “museum internasional.” Di lobby tempat saya dan mas Didit ketemu itu, kita bisa melihat banyak hal, mulai dari topeng malangan (topeng dari kayu yang menampilkan karakter-karakter dari Cerita Panji), silsilah para bupati Malang yang kalau dirunut sampai raja-raja Jawa jaman kuno, hingga wadah makanan dari kaleng yang populer disunggi oleh orang jualan makanan pada jaman dahulu. Ada juga di sana sebuah panggung ukuran sedang yang bertuliskan “Museum Panji.” Nah, akhirnya, ada satu label yang menegaskan nama tempat ini! begitu pikir saya. Waktu mas Didit mengajak masuk ke museum, saya semakin takjub dengan koleksi wayang-wayang kulit (yang ada beberapa di antaranya sudah tidak lengkap lagi–yang justru menunjukkan orisinalitasnya sebagai barang koleksi yang sudah lama dimiliki si pemilik). Wayang-wayang ini pun dipajang pada kain putih yang dipasang pada latar kaca yang mendapat cahaya alami dari luar. Saat dipotret, tentu saja hasil gabungan antara backlight dan wayang menghasilkan efek seperti melihat bayangan wayang di balik geber. Asyik. Di dalam, juga ada diorama peperangan jaman kerajaan yang digarap dengan sangat apik dan ditata di bagian tanah yang digali hingga kedalaman sekitar 2 meter. Dari tempat kita melihat, terlihatlah peperangan dengan prajurit infantri bertombak, prajurit berkuda dengan kuda-kudanya yang ramping, dan bahkan ada pasukan bergajah di bagian belakang. Palagan yang asli tanah itu agak bersemu hijau di beberapa bagian, memberikan kesan rerumputan tipis yang menumbuhi palagan. Ada juga koleksi tembikar hasil arkeologi bawah air (yang ditemukan dari kapal-kapal karam–seperti yang juga kita temui di Museum Candi Borobudur). Pada banyak koleksi, terdapat informasi yang menjelaskan sejarah benda-benda koleksi atau diorama yang dimaksud, tapi masih banyak koleksi yang belum memiliki penjelasan tersebut.

Kalau dibandingkan museum-museum yang sudah mapan sejak jaman old, mungkin koleksi museum panji sendiri terbilang sedikit. Tapi, saat mengetahui bahwa benda-benda koleksi museum ini adalah benda-benda koleksi pribadi si pemilik (pak Dwi Cahyono), terbit kekaguman saya. Di Arkansas, saya cukup akrab dengan Museum of Native American History, sebuah museum yang awalnya adalah benda-benda koleksi pribadi David Bogle, dan sekarang jadi museum kecil yang kaya koleksi sejarah Native American, baik suku pribumi di Amerika Utara maupun Amerika Selatan–bahkan ada juga skeleton mammoth, yang tak kalah pribuminya di benua Amerika. Dwi Cahyono adalah juga tokoh di balik Yayasan Inggil Malang, yang sudah lebih dikenal sebelumnya. Benda-benda sejarah yang menjadi koleksi bukanlah barang yang murah–dan tentu saja ini barang langka. Sangatlah menguntungkan–untuk tujuan pengetahuan pribadi maupun pendidikan formal–saat seorang kolektor mempersilakan orang lain ikut melihat benda-benda koleksi tersebut.

“Judge me by my size do you?” goda Master Yoda mengetahui rasio antara ukuran dan potensi Museum Panji.

Panji1

Maka, bagi saya pribadi, meskipun harus membayar untuk melihatnya (dewasa 25 ribu, anak-anak 20 ribu, dan menurut sebuah review terbilang mahal), hal tersebut sangat bisa dimengerti. Toh, kita sebenarnya juga bisa memilih untuk juga menikmati fasilitas museum yang lain, yaitu kolam renangnya tadi. Coba Anda ingat, berapa Anda harus membayar untuk berenang di kolam renang yang bersih? Belum lagi kalau kolam renangnya seperti Patirtan dari Jaman Majapahit. Mungkin, mungkin, mungkin, ini bisa jadi aspek museum yang sangat berpotensi dalam memberikan sumbangsih dalam pendidikan kemasyarakatan. Seperti halnya jaman wali songo dulu orang-orang “dipancing” dengan musik untuk datang dan kemudian diajari tentang Islam, mungkin Museum Panji bisa memancing anak-anak untuk datang dan berenang bersama keluarga untuk kemudian diajak belajar tentang sejarah. Siapa tahu.

Itu sangat bisa, asal Anda tidak seperti saya pagi tadi–dalam kunjungan kedua saya di tahun 2017 ini. Saya dan anak saya datang ke sana karena anak saya ingin berenang. Setelah berenang, sambil makan Pop Mie, saya beri tahu anak saya bahwa kita akan melihat-lihat koleksi museum lagi. Eh, ternyata, setelah Pop Mie tandas, setelah ganti baju, setelah segar kembali, kok malah langsung bablas pulang dan lupa melihat-lihat koleksi museum lagi. Ealah!

“Truly wonderful the mind of a child is,” kata Master Yoda mengomentari kami.

Sementara itu dulu yang bisa saya ceritakan tentang museum panji. Maaf yang rencananya cuman esai lima pargraf ini akhirnya jadi sedikit terlalu panjang. Dan sayangnya itu pun belum membahas aspek-aspek lain Museum Panji ini, seperti misalnya lokasinya yang berbatasan dengan sebuah sungai dan berpemandangan dam irigasi jaman kolonial, kontur tanahnya yang bisa dieksplorasi lebih jauh, dan lain-lain.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *