Dari Selokan Denpasar ke Markas Besar PBB: Kenikmatan dalam Keasingan

Sejauh yang saya ingat, perjalanan yang membuat saya bisa menikmati tempat-tempat asing adalah perjalanan ke Bali pada saat liburan antara kelas 2 dan kelas 3 SMA. Selama di kelas 2 SMA, saya dan kawan saya Nasim berikrar untuk menabung uang saku kami setahun itu agar pada saat liburan kami bisa liburan ke Bali. Akhirnya, dengan dibantu uang dari orang tua, saya dan Nasim jadi ke Bali. Ketika berada di sana, ada satu kesempatan ketika kami duduk-duduk di dekat selokan tak jauh mall Tiara Dewata, saya mendapat kesadaran indahnya selokan tersebut karena saya tahu saya tidak bisa melihatnya setiap hari. Sejak itulah, setiap kali saya berjalan-jalan (baik di kota tempat saya tinggal, dan apalagi kota yang asing bagi saya), saya selalu bisa menikmati suasana ketika saya menyadari bahwa suasana tersebut tidak setiap hari saya alami.

Kesadaran itulah yang membuat saya selalu bisa menikmati waktu yang saya habiskan ketika berada jauh dari rumah, termasuk ketika menghadiri seminar di kota-kota di Amerika Serikat hanya untuk tiga empat hari. Satu momen yang sebenarnya biasa saja yang saya ingat adalah perjalanan dari kampus New York University hingga ke Markas Besar PBB di sekitar 42nd Street dan kemudian berlanjut hingga mencapai hotel saya di perempatan 51st Street dan Lexington Road. Saya ingat menikmati setiap sudut tempat-tempat itu dan menamatkan melihat setiap gedung yang ada di sana karena saya sadar bahwa mungkin pengalaman tersebut tidak akan teringat kembali.

Sore itu, setelah saya mempresentasikan makalah, saya menikmati sore menunggu kawan saya Asaad Al-Saleh di Washington Square. Namun, karena saya mencoba menghubunginya dan dia tidak segera menjawab, akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke hotel dahulu. Seperti beberapa hari ini, saya ambil kereta bawah tanah jalur M dari stasiun Astor Place di dekat NYU menuju Grand Central-42nd Street, berjarak sekitar 40-an blok. Belakangan, ternyata dari NYU saya juga sebenarnya bisa ambil stasiun subway di Bleecker Street, jalan yang ada di lagunya Simon and Garfunkel. Tapi waktu itu bagi saya Astor Place adalah yang paling nyaman, karena di depan stasiun itu ada orang jualan Shawarma halal di gerobak.

Dari Grand Central-42nd Street, saya berjalan mengikuti panduan Google Maps yang saya lihat pada siang harinya. Hari-hari itu saya tidak memakai smartphone. Beberapa bulan sebelumnya, saya merasa smartphone terasa terlalu mahal dan saya ingin mengurangi pengeluaran saya. Akhirnya, saya pun memakai handphone Samsung clamshell super murah (harganya belasan dolar) dan mengandalkan wifi gratis dan komputer untuk mengakses internet. Untungnya, tata ruang Manhattan yang petak-petak itu sangat memudahkan navigasi buat saya. Tidak lama setelah turun dari kereta api dan naik ke permukaan tanah, saya bisa menemukan Markas Besar PBB.

Di depan bangunan itu, saya takjub dengan gedung yang menurut saya rancangannya sangat sederhana itu. Bentuknya seperti persegi panjang tapi tebal (secara teknis disebut “balok” tentu saja). Di depannya ada tiang-tiang untuk bendera negara-negara anggota PBB. Sayangnya, hari itu tidak ada satu pun bendera berkibar, semuanya diturunkan. Bagian depan gedung PBB sedang diproyek. Sekilas agak kecewa juga karena tidak bisa berfoto-foto dengan bendera dari berbagai negara. Dan lagi, saya tidak habis pikir dengan gedung Sekretariat PBB yang arsitekturnya super simpel itu.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Gedung sekretariat PBB yang ternyata adalah karya arsitek Le Corbusier

Belakangan, setelah saya google kanan dan kiri dan ketika melihat foto gedung Sekretariat PBB yang telah saya ambil dari berbagai sisi, saya menyadari bahwa bentuk gedung yang persegi panjang tebal itu bisa menyerupai beberapa hal. Yang pertama, bangunan itu mengingatkan saya kepada monolith di film 2001: Space Odyssey yang merupakan penanda perkembangan kosmos itu. Tapi ya tentu saja ini tidak tepat karena gedung ini dirancang sebelum film 2001. Dan bisa juga gedung ini menyimbolkan bendera sebuah negara yang rata-rata adalah persegi panjang. Entah mana yang benar.

Belakangan lagi, setelah sempat googling, saya mendapati bahwa sebenarnya gedung super simpel itu dirancang oleh Le Corbusier. Le Corbusier ini dikenal sebagai arsitek dan seniman pascamodern. Dan arsitektur dari markas besar PBB ini pun ternyata dikenal sebagai “International style architecture” yang menurut saya tepat adanya, karena memang akhirnya jadi tidak merepresentasikan satu bangsa saja di dunia. Ternyata, lama-kelamaan saya baru mulai bisa mengapresiasi arsitektur yang, lagi-lagi, super simpel itu. Justru, yang saya dapati berarsitektur unik adalah sebuah bangunan perwakilan negara di seberang jalan dari Markas Besar PBB itu. Tentang gedung itu, mungkin saya akan memberikan gambarannya di lain waktu.

Setelah puas menikmati suasana senja di sekitar Markas Besar PBB itu, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke hotel. Jarak dari tempat itu ke hotel saya, Double Tree by Hilton adalah sekitar 12 blok. Hotel tersebut berlokasi di perempatan Lexington Road-51st Avenue. Dari Markas Besar PBB, saya hanya perlu berjalan tiga blok menuju Lexington Road dan dari sana saya tinggal berjalan 9 blok menuju Double Tree.

Saya menempuh perjalanan itu sambil melihat gedung-gedung yang sebenarnya sebagian pernah saya lihat di film-film (gedung Chrysler, misalnya, yang selalu muncul di film-film berlatar Manhattan). Di sepanjang jalan itu, ada beberapa kantor yang dindingnya kaca penuh sehingga dari pinggir jalan itu saya bisa melihat isi kantor dan bahkan ada beberapa yang orangnya masih bekerja. Betapa ganjilnya bekerja sambil dilihat orang dari luar, seperti melihat akuarium yang isinya ikan bekerja.

Semua itu, semua itu, semua itu, adalah sesuatu yang biasa dan sehari-hari bagi siapa saja, terutama yang tinggal di sana. Semuanya biasa. Tanpa insiden tanpa penanda. Tapi bagi saya, yang menyadari tidak tahu entah kapan lagi ada kesempatan melihatnya, semua itu adalah surga yang maujud di setiap detiknya. Di kesempatan-kesempatan seperti itu, saya seringkali teringat berdiri di dekat selokan di dekat Mall Tiara Dewata Denpasar dua puluhan tahun sebelumnya, ketika saya masih SMA dan jalan-jalan ke Bali bersama Nasim dengan agenda yang amat jelas: mencari kesempatan berbicara bahasa Inggris dengan turis.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *