Road Trip ke Blitar adalah Hakiki

Liburan Natal dan Tahun baru kali ini terlalu banyak yang harus diurusi. Akhirnya, sampai tanggal 31 pun kami sekeluarga tidak sempat ke mana-mana. Anak saya sudah liburan sejak tanggal 20 Desember, dan selama itu dia hanya pergi liburan ke rumah nenek (yang sebenarnya hanya beda kelurahan dari tempat saya) plus sekali hiking ke air terjun baru (yang sebenarnya bisa dibilang kegiatan rutin saya dan anak saya). Maka, sebagai orang tua yang kebetulan punya kesempatan, saya agak merasa bersalah. Akhirnya, untuk mengurangi rasa bersalah, kami memilih menutup liburan dengan sesuatu yang bermakna, kami bertiga, pergi agak jauh, melihat sesuatu dan syukur-syukur bisa belajar dari situ. Karena ke Bali tidak memungkinkan lagi, maka kami pun memilih Balitar, aka Blitar, yang ternyata tak kalah cetar. Dan ternyata malah memberikan pengalaman road trip yang hakiki. Atau, kalau menggunakan merek keripik singkong produksi kawan saya, trip ke Blitar ini ternyata HQQ!

Untuk kabupaten Blitar ini, kami memilih tiga tempat yang bisa dibilang destinasi wajib di Blitar: 1) Makam Bung Karno (agar anak saya semakin kenal sejarah bangsanya), 2) Candi Penataran (sebuah situs penting buat penggemar cerita panji, dan kabarnya semakin bagus saat ini), dan 3) Kampung Coklat (destinasi yang wajib buat generasi InstaGram). Istri saya juga mengajak Ibuk karena memang kami tidak pernah mengajak Ibuk jalan-jalan. Dan seperti biasa, sebagai orang yang kurang suka ngebut dan karena perjalanan-perjalanan saya woles, sejak awal saya bilang: “Kita rencana mengunjungi tiga tempat, tapi tidak ada target yang ketat lho ya? Sedapatnya saja?” Dalam hati, saya lanjutkan, “The journey is the destination. Pret!”

Dari dulu-dulu saya sudah sering menuliskan di blog ini: saya suka road trip, mampir ke gas station, mampir ke tempat-tempat yang tidak terlalu ramai tapi punya sejarah. Dan yang seperti itu mudah, karena apa sih yang tidak punya sejarah? Tinggal bisa-bisanya kita saja menggali sejarah tempat tersebut. Ya nggak?

Perjalanan dari Malang cukup lancar karena hari itu tahun baru, orang-orang mungkin masih males keluar rumah setelah pesta semalaman. Tapi, setelah melewati Kepanjen, GPS (saya masih pakai GPS Garmin oldies biar kayak road trip Amerika begitu lah) menyarankan kami lewat danau Lahor. Ternyata di situ agak ramai. Tidak masalah. Ternyata bayar Rp3000 untuk lewat Bendungan Lahor. Tidak masalah. Ternyata banyak orang berhenti di bendungan dan berlibur di sana. Tidak masalah. Bahkan asyik juga. Karena lewat jalur Bendungan Lahor, maka perjalanan lewat hutan pun jadi lebih lurus dan cepat, tidak seberliku kalau lewat Bendungan Karangkates.

Sekitar pukul 11.30 kami sampai di makam Bung Karno. Ramai sekali. Saya pernah ke tempat ini waktu masih sangat kecil, dan yang ada di ingatan saya adalah sebuah rumah tua yang di dalamnya ada makamnya. Ternyata, yang saya lihat kemarin sudah tidak seperti itu. Makam Bung Karno ada di sebuah kompleks besar dengan beberapa gapura candi bentar. Di sebelah utara makam ada perpustakaan, yang rencananya akan saya kunjungi setelah ke makam Bung Karno. Ternyata makam Bung Karno ada di semacam joglo, diapit makam bapak-ibu beliau. Orang-orang ramai menabur bunga dan banyak yang membacakan doa. Ada yang datang satu rombongan dan melakukan tahlilan di sana. Ada beberapa petugas yang mengarahkan para peziarah agar lancar sirkulasinya.

Catatan: kalau ke Makam Bung Karno dan ingin juga ke museum/perpustakaannya, lakukan museum dulu, sebab setelah ke makam, biasanya keluarnya sudah mendekati tempat parkir, jadi akhirnya males ke museum. Catatan kedua: jalur keluar dari makam Bung Karno melewati pasar suvenir yang sangat berliku-liku dan sempit. Kalau boleh mengkritik sih: Pengelola harus mempertimbangkan cara membuat kunjungan ke makam Bung Karno lebih nyaman. Dipaksa mengikuti kelak-kelok pasar yang sempit saat banyak orang berkunjung sangatlah tidak nyaman. Pengelola harus mempertimbangkan bagaimana membantu para pedagang sekaligus menyamankan pengunjung. Titik.

Sekeluarnya kami dari kompleks makam Bung Karno dan kelak-kelok pasarnya, setelah juga membeli beberapa potong daster dan gula aren, kami keluar dan berniat melanjutkan ke destinasi berikutnya. Tapi, karena sudah mendekati jam 2 dan kami belum makan, maka harus stop dulu lah. Kuliner yang kami pilih sungguh adiluhung dan serbaguna: soto. Simpel Otomatis Tepat, dan Okeh (pronunciation Blitar-nya kata “akeh” atau banyak). gemuruh kuah soto dipanci ditingkahi gemuruh guntur di kejauhan. Kami tahu akan kehujanan. Kami menikmati makan sambil beberapa memindah bangku dan meja karena posisi awal kami terkena tempias gerimis. Saya menyelesaikan makan lebih dahulu dan bersiap mengambil mobil dari tempat parkir. Tapi, hujan keburu turun. Saya tetap berlari ke parkiran. Ketika saya sudah tiba di depan warung soto, hujan sudah membadai dan istri, anak, dan ibu saya pun harus basah ketika masuk mobil, padahal jarak tenda soto dengan pintu masuk mobil tak kurang dari dua meter.

Setelahnya perjalanan berlanjut. Hujan berangsur-angsur reda ketika kami mulai menjauh dari kawasan makam Bung Karno. Jalanan tampak basah dan terdapat genangan di beberapa bagian. Hujan super deras yang singkat itu tadi seperti cuma menumpahkan seember raksasa air ke Kota Patria. Di dekat alun-alun, tanpa sadar kami masuk ke situasi yang berpotensi mengerikan. Jalan satu arah yang kami lewati ternyata tergenang setinggi lutut. Dengan menurunkan persneling ke gigi satu, saya melewati genangan (dengan arahan dari bapak-bapak relawan berpayung yang bersiaga agak ke tengah jalan). Di ujung genangan, sekitar 50-an meter, kami sangat bersyukur ketika bisa sampai ke seberang tanpa mesin mati di tengah. Terima kasih buat para relawan.

Destinasi kami selanjutnya adalah Kampung Coklat, yang sudah sangat (dan bahkan terlalu) hits itu. Ternyata Kampung Coklat memang di wilayah kampung, atau pedesaan. Jalannya cukup mudah dan lurus-lurus saja. Tapi, karena waktu itu adalah liburan Tahun Baru, banyak sekali orang yang berkunjung ke Kampung Coklat, menyebabkan jalan menuju ke lokasi macet, bahkan sejak berkilo-kilo sebelumnya. Seorang pengendara mobil warna putih yang tidak sabar mencoba mendahului kami yang sedang berhenti menunggu sebuah mobil masuk garasi. Akhirnya, karena mungkin sopir yang tidak sabar itu kurang presisi perhitungannya, dia menyerempat mobil saya. Tapi ya wis, repot sama orang sabar. Saya teriaki dia secukupnya asal gugur mewajiban. Saya ajak minggir, eh kok malah kabur. Ya begitulah, sudah gak sabar, penakut lagi. Tak jauh dari situ, anak saja yang habis kehujanan itu juga bilang kebelet pipis. Akhirnya, kami harus menepi sebentar dan berhenti di sebuah musholla keluarga untuk pinjam toiletnya.

Ketika sampai di pintu masuk Kampung Coklat, saya mendapati bahwa pengunjung terlalu banyak. Maka, karena tadi kami mengawali perjalanan untuk sekadar road trip dan tidak mau memaksakan apa-apa, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan balik ke Malang. Saya memilih mengikuti GPS. Saya memilih melanjutkan ke arah selatan Blitar, lewat Lodaya, yang terkenal dengan harimau keramatnya itu. Dari Lodaya, baru saya ambil kiri dan berjalan kembali ke arah timur. Kalau tadi kami lewat kawasan Blitar kota, Wlingi, dan sejenisnya, sekarang kami lewat pegunungan dan hutan-hutan jati di kawasan selatannya Wlingi. Jalur lebih kecil tapi lebih sepi. Dan tentu saja berkelok-kelok melewati perbukitan dan hutan-hutan jati. Sangat menyenangkan.

Ketika sudah mendekati pukul 4 sore, kami berhenti di sebuah masjid pinggir jalan di kawasan Binangun. Menurut Google Maps, masjid ini bernama Thorfata Addaayil. Saya sendiri kok sangsi dengan nama ini, terutama karena namanya yang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Arsitekturnya cukup unik, ada kubah lancipnya di ujung, tapi di bawahnya juga ada piramida tumpuk tiga khas masjid Jawa. Tempatnya sangat terbuka dan agak berdebu. Air hujan yang deras juga masuk ke kawasan teras masjid sehingga basah dan cukup licin. Dari sebelah masjid dan tempat wudhu, terlihat Sungai Brantas, yang kalau diikuti ke barat dan ke utara akhirnya akan sampai di Kediri dan kalau terus diikuti dari Kediri ke arah timur, akhirnya bisa sampai ke Mojokerto dan kalau diteruskan lagi bisa sampai di Ngoro (desa Tanjangrono, dekat rumah saya di Krembung) dan kalau diteruskan ke timur lagi bisa sampai Porong dan akhirnya ke laut.

Desain luar masjid
Interior masjid yang longgar tanpa tiang. Atap ditopang kolom-kolom tepi dan dinding.
Kali Brantas di belakang masjid yang terlihat dari tempat wudhu.

Selepas masjid tersebut, saya memutuskan untuk mengambil jalur Kesamben, yang artinya kami harus menyeberang ke utara. Kami menyeberangi sungai dan melewati kampung-kampung yang akhirnya membawa kami ke kawasan Kesamben. Kami mampir ke pedagang buah dan sayur untuk beli ketala rambat, bentul, salah dan sejenisnya. Salaknya lebih dari 50 persen sudah busuk waktu kami buka. Sepertinya kami salah memilih pedagang. Perjalanan berlanjut dan ketika memasuki kabupaten Malang, saya memilih untuk melewati bendungan Karangkates, bukan bendungan Lahor. Jalur lebih berkelok-kelok dan menurun. Saya ingat perjalanan di Devil’s Den State Park di Arkansas atau Mark Twain National Forest di Missouri.

Kami berhenti lagi di kawasan Kepanjen, tepatnya di Jalur Lingkar Luar Kepanjen, tepatnya di Masjid Darul Muttaqin, sebuah masjid baru dengan gaya mediterania, dengan kubah tinggi dan lampu kristal gantung berkilauan dan dinding marmer. Megah sekali–meskipun tidak ada Jawa-jawanya sama sekali. Di sebelah masjid itu, ada sebuah depot makan yang sepi. Tempatnya cukup luas, tetapi hanya ada satu keluarga yang juga makan di sana. Kami memesan soto (lagi!) dan istri saya pesan beras kencur. Bapak yang melayani ternyata juga mempersiapkan sotonya. Dapurnya terlihat kosong dan penyiapannya agak lambat. Ketika makanan keluar, ternyata yang menyajikan adalah mas tukang parkir mobil yang tadi berjaga di pos satpam masjid. Si mas sangat sopan dan berhati-hati sekali.

Lampu kristal di bawah kubah dan mihrab yang megah.

Ternyata oh ternyata, soto yang disajikan sangat lengkap, ada suwiran ayam (tentu saja), ada koyah, ada gorengan kentang, dan juga sayurnya. Mangkoknya memang agak kecil, seperti mangkok bakso, bukan mangkok soto, tapi rasanya enak sekali dan pas, tidak terlalu mengenyangkan. Mungkin makanan ini yang bisa membantu kita menjalankan sunnah, makanlah setelah lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Oh.

Selesai makan, istri saya yang membayar makanan sempat kaget karena harga soto yang enak dan pas itu tadi ternyata Rp8.000 per porsi. Usut punya usut punya usut, Pak Penjualnya bilang bahwa bangunan warung itu adalah milik masjid. Bapak yang memasak dan menerima pesanan tadi mengaku masih belajaran. Beliau sendiri sebenarnya adalah marbut masjid Darul Muttaqin itu yang dipersilakan oleh takmir untuk menggunakan warungnya untuk berjualan. Karena itulah si bapak tidak mengambil untung terlalu banyak. Yang mengantarkan pesanan tadi juga memang tukang parkir tetap di masjid.

Bangunan sebelah kanan itulah warung istimewanya.

Begitulah, kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Malang dengan woles. Sesekali gerimis. Saya pulang dengan membawa renungan, dari tiga destinasi yang direncanakan secara santai itu, hanya satu yang berhasil kami kunjungi. Tidak masalah. Tapi, ada dua destinasi yang tidak kami rencanakan tapi kami kunjungi, yaitu masjid di sebelah kali Brantas di Binangun tadi plus depot soto fenomenal sebelah masjid Darul Muttaqien di Kepanjen itu. Hmmm, kalau dipikir-pikir, kok Islami sekali perjalanan saya kali ini ya? Destinasinya ke makam (di mana banyak orang berdoa dan tahlilan), terus ke dua masjid, dan terakhir bahkan sempat makan sambil menjalankan sunnah. Ini benar-benar tidak kami rencananyakan sebenarnya. Tapi ya perjalanan menitahkan demikian. Mungkin ini pertama kalinya kami merasakan road trip yang hakiki di Jawa Timur ini. Kami tidak sabar untuk road trip lagi…

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

2 comments

Cerita jalan-jalan yang sederhana tapi punya makna renungan yang dalam. Ditunggu cerita jalan-jalan lainnya Bang!

Siap! Semoga segera ada kesempatan lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *