Mengenang Hilman

Saya sedang membersihkan halaman pagi itu ketika istri saya bilang, “Mas, katanya ibuk, mas Hilman meninggal.” Saya tidak yakin dengan apa yang saya dengar. Ternyata, istri saya mendapat kabar dari ibuk bahwa Hilman baru saja meninggal. Ibuk mendapat info itu dari salah satu grup WA. Saya cek twitter, ternyata ada yang mengabarkan bahwa Hilman mengalami kecelakaan. Selanjutnya kita tahu apa penyebab kematian tersebut.

Hilman adalah putra almarhum K.H. Hasyim Muzadi yang saat ini mengasuh pondok pesantren mahasiswa Al-Hikam, yang didirikan bapaknya di Malang. Para santrinya memanggil dia Gus Andik. Saya memanggil dia Hilman karena–meskipun usia kami terpaut lima tahunan–kami satu angkatan waktu kuliah di jurusan yang sama. Saya jadi dekat dengan dia melalui kawan baik saya di semester satu, Heli, yang merupakan teman sekamar Hilman waktu mondok di Gontor. Heli menceritakan ke saya siapa itu Hilman, yang ternyata putra orang nomor satu di NU pada masa itu.

Besama Heli dan Hilman, saya pernah ke Probolinggo, mengantarkan pulang salah satu teman kost Heli ke daerah Maron dan kemudian melanjutkannya ke Bromo. Itulah pertama kali saya ke Bromo. Tentu saja kami berangkat dari kawasan utara. Begitu tiba di Cemoro Kandang pada petang hari, kami ke warung dulu dan kemudian mencari hotel. Pukul 2 dini hari kami bangun dan bersiap berjalan turun ke lautan pasir. Saya ingat waktu itu kami berjalan kaki dan suasana sangat ramai. Di puncak gunung kami ketemu seorang wisatawan asing, dan dia selanjutnya menempel dengan kami. Seingat saya dia kerja menjaga toko beberapa tahun dan akhirnya memutuskan jalan-jalan selama beberapa bulan. Sebelum ke Bromo, dia ke Thailand juga. Satu yang saya ingat dari turis itu adalah bahasanya sulit sekali kami pahami. Ketika berjalan di lautan pasir, dia tanya kami belajar apa di universitas, dan kami bilang kami kuliah bahasa Inggris. Dia heran, “Masak kalian belajar bahasa Inggris? Kok begini?” Dia mengatakan itu seperti tulus. Ternyata, dia nebeng kami sampai ke terminal Probolinggo tanpa memberi sedikit pun uang sekadar basa-basi. Sepertinya saya waktu itu belum kenal istilah backpacker. Oh ya, ketika itu kami ke Bromo dan Probolinggo naik mobil Escudo-nya Hilman, dan Hilman yang menyetir sepanjang perjalanan. Tak satu pun dari kami bisa menyetir mobil, seingat saya, kecuali Hilman.

Di tahun selanjutnya, kami semakin kenal Hilman. Dan sepertinya dia dikenal suka mentraktir kawan-kawannya. Saya pernah terlibat upaya “penodongan” Hilman, bersama Sonny. Satu kali, sekitar tahun kedua kuliah, saya sempat mengajar kursus privat anak SMP di kawasan Purwantoro. Sepulang dari kursus itu, saya menelpon Sonny yang juga tidak di kawasan Purwantoro. Dia ada di rumah, dan saya pun ke sana. Dari Purwantoro itu, Sonny mengajak saya naik motor Suzuki Crystal-nya ke rumah Hilman. Di rumah Hilman, di pondok Al-Hikam, ternyata setelah ngobrol kanan-kiri dan ngakak-ngakak, Sonny menodong Hilman minta dibelikan soto. Hilman langsung mengajak kami naik mobilnya ke Soto Lombok. Ketika malam harinya sampai di kost saya lagi di Jl. Jombang, saya bingung dan tidak habis pikir: bisa-bisanya kami menodong orang untuk mentraktir kami.

Belakangan, Hilman sempat menjadi ketua panitia English Week, acara tahunan yang terdiri dari serangkaian lomba dan seminar dan event-event yang diadakan oleh himpunan mahasiswa Bahasa Inggris di kampus Universitas Negeri Malang. Saya waktu itu kebagian tugas di sie publikasi, dokumentasi, dan dekorasi. Di satu malam, saya membuat baliho dari tripleks (waktu itu, baliho harus dibuat, bukan dipesan dengan laser printing) dengan bantuan kawan-kawan dari Jurusan Seni Rupa, Mas Syarif dan Cak Rosidi. Salah satu kawan meminta dibelikan kopi. Hilman, si ketua panitia yang malam itu juga ikut menginspeksi, langsung membelikan kopi satu kilo. Ya, praktis memang, dengan begitu kami tidak perlu beli-beli lagi ke warung, dan tidak akan segera habis, bahkan bisa dipakai tidak hanya untuk English Week, tetapi juga English Month.

Belakangan, saya tahu bahwa Hilman dan keluarganya dekat dengan keluarga perempuan yang kelak menjadi istri saya (mau bilang pacar, tapi kok katanya sekarang #Indoensiatanpapacaran :D). Bapak mertua saya kuliahnya bareng dengan Alm. KH Hasyim Muzadi dan rekan di kepengurusan di NU. Pada foto pernikahan bapak mertua dan ibu mertua saya, ada juga KH Hasyim Muzadi muda.

Fast forward, tibalah kami di masa ketika saya sudah menikah dan Hilman juga sudah menikah. Kami mendengar kabar bahwa istri Hilman sudah melahirkan. Maka berkunjungkan saya dan istri saya–yang sudah setahun lebih tapi belum punya bayi. Di sana istri saya sempat menggendong adek bayi, dan tidak lama setelah dia menggendong, ternyata si adek bayi ngompol. Kata orang-orang yang waktu itu ada di sana, biasanya yang diompoli bayi itu akan segera hamil. Tentu saja, sebagai lulusan penjurusan IPA waktu SMA, saya hanya tersenyum sopan dan mungkin ketawa senang.

Sepuluh bulan kemudian anak saya lahir.

Sepertinya itu terakhir kali saya bertemu Hilman, pada tahun 2005. Mungkin. Sejak itu, dia semakin sibuk mengasuh pondoknya dan saya juga sibuk kanan-kiri. Pindah-pindah kerja. Kerja hiperaktif. Kuliah lanjut. Kerja hiperaktif. Kuliah lanjut lagi. Dan mengajar. Pada tahun 2017, saya ikut mengampu kelas Agama di Universitas Ma Chung. Salah satu highlight dari kelas agama kami adalah kunjungan ke dan berkenalan dengan komunitas keagamaan. Di antara daftar komunitas keagamaan di sana, ada Pondok Pesantren Al-Hikam. Saya memilih itu dengan harapan bisa bertemu dengan Hilman lagi di sana. Saya teks dia di WA, tapi ternyata dia sedang pergi ke Kepanjen. Saya memang tidak terlalu berharap bisa bertemu dia saat itu menyadari sesibuk apa seorang pemuka masyarakat, pelayan umat.

Yang pasti, kepergian Hilman di akhir tahun 2019 ini, beserta kepergian beberapa orang dekat itu, memberi peringatan sederhana: kunjungi kawan atau saudara segera saat ingin. Langsung terngiang lirik lagu “A Letter to Me” dari Brad Paisley: “P.S. Go hug Aunt Rita every chance you can.”

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *