Mengenang Bang Zamiel

Ada beberapa duka pribadi yang yang saya alami dalam 2019 ini. Saya tidak pernah meniatkan menutup tahun ini dengan catatan seperti ini, tapi bagaimana lagi?

Awal tahun ini, di bulan Februari, saya menerima kabar yang tidak sekali pun pernah terbersit akan saya terima. M. Zamiel el Muttaqin, pengasuh pondok pesantren Guluk-guluk Annuqayah di Sumenep meninggal dunia. Usianya 40 tahun. Dia dikenal sebagai seorang ulama yang sangat gemar membaca dan menekuni pemikiran dan filsafat Islam. Dan tentu saja, dia seorang penyair, cerpenis, dan esais.

Mungkin kabar itu akan bisa saya terima dengan mudah; saya dididik bahwa maut tidak bisa ditebak dan kita semua harus siap. Tapi, masalahnya, saya pernah kenal sangat dekat dengan Bang Zamiel (begitu saya panggil dia dulu–sebelum dikenal sebagai “Ra Miming”–“Ra” adalah padanan bhs Madura untuk istilah “Gus”). Dia pendiri Bengkel Imajinasi, sebuah perkumpulan kecil pembaca, penulis, dan pembelajar sastra pertama yang saya ikuti. Ketika itu saya pada akhir masa studi, ketika tidak ada lagi kelas tapi skripsi belum juga kelar.

Di Bengkel Imajinasi, Bang Zamiel mengajak kami menikmati cerpen, puisi, dan isu-isu sastra saat itu. Cerpen-cerpen dan puisi-puisinya sendiri yang dia bagi di Bengkel Imajinasi sangat dalam dan penuh lapis-lapis makna. Dia tunjukkan pembacaannya atas karya-karya Seno Gumira Ajidarma yang ketika itu mulai sulit saya pahami (bayangkan “Kyoto Monogatari” dan “Penjaga Malam”). Pembacaannya atas “Penjaga Malam dan Tiang Listrik” sebagai cerpen posmodernis, selangkah lebih dalam dari cerpen-cerpen senja, membuat saya tidak bisa tidur. Dia ajak kami jalan-jalan malam dari kampus UM ke Alun-alun Balai Kota dan ke Stasiun Kota Baru untuk mencari bahan tulisan. Banyak lah pendeknya, sebelum akhirnya sedikit demi sedikit Bang Zamiel undur diri, pindah ke daerah UIN, dan kemudian pulang kampung karena dipanggil orang tuanya untuk mengasuh pondok pesantren. Kuliahnya tidak pernah selesai, seperti halnya membaca dan belajarnya yang tidak pernah selesai.

Satu hal yang saya ingat betul dari Bang Zamiel ini adalah cerita dia tentang ibunya. Ibunya paham betul kalau dia sangat suka telur ceplok. Tapi ibunya bukan orang yang suka menyuruh-nyuruh dia. Kalau ibunya kangen dan pingin anaknya pulang, biasanya ibunya bilang “Ming, ibu bikin telor ceplok ini.” Maka Bang Zamiel pun pulang dari Malang ke Sumenep.

Satu perbincangan terakhir kami terjadi di kolom komentar Facebook. Dalam sebuah postingan tentang Guluk-guluk Annuqayah (mungkin dari postingan Kyai M Faizi–yang dulu sekali saya kenal tulisan-tulisannya lewat Bang Zamiel), saya bilang bahwa saya masih sangat pingin main ke Guluk-guluk Annuqayah mengunjungi Bang Zamiel (sambil saya tag dia). Jawabnya, dengan gaya tongue-in-cheek kurang lebih begini: “Masih ingin ke sini ta?”

Hingga nafas terakhirnya, saya belum pernah mengunjungi Guluk-guluk.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *