Meskipun belum akan ke Rusia dalam waktu dekat (masih banyak koreksian), baca buku ini lumayan mengasyikkan. Bukunya lebih fokus menyajikan rincian apa-apa yang bisa kita lihat di sepanjang perjalanan kereta Transsiberia (dan bagaimana cara melakukannya dengan aman dan nyaman). Buku ini bisa dibilang merupakan hasil catatan perjalanan yang dibuat relatif teknis. Nilainya lebih pada kemampuannya untuk dipakai sebagai panduan kalau mau jalan-jalan naik kereta Trans Siberia dan berhenti di kota-kota kecil sepanjang jalur yang menembuh 9 zona waktu ini. Dimulai dari ujung Timur (Vladivostok) sampai bagian paling barat (St. Petersburg). Anggap saja ini Merauke-Sabang-nya Rusia.
Meski seteknis itu, tetap saja buku ini berharga untuk lebih mengenalkan Rusia ke kita. Di tengah-tengah yang teknis-teknis itu, ada colongan-colongan cerita tentang hal-hal yang tentu berhubungan dengan Rusia. Mendapatkan catatan-catatan kultural tipis-tipis dari buku yang tidak berpretensi melaporkan dari sudut pandang sosiologis seperti ini cukup menarik.
Buat saya, setidaknya, buku ini berhasil semakin menghilangkan kesan eksotis Rusia. Perkenalan saya dengan Rusia lebih melalui karya sastra dan perkawanan. Karya sastra Rusia termuda yang pernah saya nikmati hanya dari akhir dekade 80-an atau awal 90-an (pendeknya dari masa Soviet–thanks to guru Sastra Rusia saya Natalia Schegoleva). Dari karya-karya itu, Rusia terasa dingin, beku, kusam, dan pendeknya oldies. Dari kawan-kawan, Rusia sulit saya bayangkan selain internetnya yang bahkan belasan tahun yang lalu kecepatannya sudah gila-gilaan. Tapi tetap saja pengetahuan itu tidak berhasil mengurangi eksotisme Rusia. Catatan Kurniawati Setyanningrum ini membuat Rusia tampak seperti negara yang tetap hidup setelah Soviet bubar, dan tampak semakin tak berbeda dengan semua negara lain.
Satu hal yang mungkin agak saya sayangkan dari buku ini adalah adanya saat-saat Kurniawati menghindari perbincangan tentang budaya. Saat mampir di Danau Baikal, dan khususnya di Pulau Olkhon, penulis menyatakan diri tidak mau membahas soal “shamanisme” yang ada di sana karena merasa belum cukup pengetahuan untuk itu. Tapi, yang pasti dia menyajikan foto-foto dan menceritakan manifestasi-manifestasi shamanisme itu (seperti potongan kain dan lain-lain). Mestinya internet dan Google Translate bisa membantu Kurniawati memberikan gambaran lebih dalam.
Bagaimana pun, buku Kurniawati ini sudah memuaskan saya yang suka sekali dengan cerita-cerita tentang Danau Baikal, perjalanan Trans Siberia, dan kehidupan di kota-kota kecil di sepanjang jalur ini. Biasanya saya hanya bisa baca dan nonton tentang ini dari Reader’s Digest, National Geographic, dokumenter di YouTube-Hulu-Netflix, dan film. Kali ini, kalau orang Indonesia sendiri yang melaporkan, sumpah berbeda rasanya!