Pertemuan Generasi Kembali ke Akar dan Akar yang Mau Mendekat: Catatan Pementasan Wayang Topeng Panji Mangu

Ada yang berbeda di Taman Krida Budaya, 13 Juli 2025 lalu. Malam itu, suasana begitu ramai, penuh tawa, bisik-bisik, dan tentu saja, deretan kamera ponsel yang siap mengabadikan setiap momen. Pementasan Wayang Topeng Panji Mangu yang digelar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur benar-benar jadi magnet, bukan hanya bagi para pecinta seni tradisi, tapi juga generasi muda yang katanya “kembali ke akar”.

Saya sempat membaca buku Muhammad Faisal, yang menyebut generasi sekarang sebagai Generasi Phi—generasi yang punya kecenderungan untuk mencari akar, kembali ke tradisi, tapi dengan cara yang sangat kekinian. Dan benar saja, hampir semua pengunjung malam itu adalah anak-anak muda. Para penonton ini adalah generasi yang lazim disebut Milenial dan Gen Z, atau yang oleh Dr. Muhammad Faisal disebut Generasi Phi. Tapi jangan bayangkan mereka duduk diam, khusyuk menonton seperti penonton wayang zaman dulu. Mereka menikmati pertunjukan sambil sibuk mengambil gambar, merekam video, bahkan ada yang live IG! Saya bayangkan story Instagram dan story WhatsApp malam ini penuh dengan cuplikan wayang topeng Malangan, lengkap dengan caption penuh kebanggaan: “Nonton wayang, bestie!”

Memang banyak yang mungkin menjadi faktor yang membuat anak-anak muda ini datang. Banyak mahasiswa saya dari Universitas Ma Chung datang. Kami mengumumkan undangan menghadiri pementasan Wayang Topeng Panji Mangu ini ke seluruh mahasiswa hari Jumat kemarin. Di Universitas Ma Chung ada yang namanya sistem poin keaktifan untuk mencatat berbagai kegiatan mahasiswa yang bertujuan meningkatkan soft skill mahasiswa. Di email kami sampaikan bahwa menonton pertunjukan budaya ini bisa dicatat sebagai poin keaktifan rumpun kepedulian sosial, yang dimaksudkan bahwa mereka mendukung upaya pelestarian seni tradisi.

Yang menarik, penampilan wayang topeng Malangan malam itu juga jauh dari kata “biasa”. Judulnya saja sudah unik: “Panji Mangu”—yang langsung mengingatkan saya pada lagu viral yang sempat wara-wiri di TikTok beberapa waktu lalu. Musik pengiringnya pun tidak melulu gamelan klasik, tapi banyak disisipi elemen modern semacam sound saksofon, drum elektrik, biola, dan sejenisnya yang bikin telinga generasi Z tetap betah. Gerakan para penari juga kadang di luar pakem, ada improvisasi yang bikin penonton senyum-senyum sendiri. Kawan saya Adit menyoroti adegan-adegan akrobatik yang muncul dalam tarian. Kawan lain, Didit, menyoroti ceritanya pun tidak terlalu panjang. Saya menduga mungkin diniatkan pendek karena daya tariknya tidak hanya pada konten ceritanya.

Dari respons audiens pada titik-titik tertentu, tampak bahwa mereka memang menikmati penampilan. Narasi dari dalang memang dalam bahasa Jawa, yang mungkin tidak semua penonton memahami, tapi gerakan-gerakan tarinya pastinya bisa dinikmati para penonton muda. Kita tahulah keindahan gerak jauh lebih diapresiasi di zaman pasca TikTok ini. Bedanya, kalau biasanya kita akan dengan K-pop cover dance, hip hop dance, dan sebagainya, kini kita ketemu dance yang nyaris semuanya tradisional dalam cerita Panji Asmarabangun ini.

Tapi yang tak kalah seru, tentu saja perbincangan para punakawan di atas panggung. Mereka bukan cuma jadi pelengkap cerita, tapi benar-benar jadi bintang malam ini. Dialog mereka kebanyakan kocak dan menyoroti kesenjangan generasi, tentunya jadi bikin mikir buat sebagian penonton. Bahasanya campuran bahasa Jawa pergaulan dan bahasa Indonesia. Ada sindiran halus tentang kehidupan sehari-hari, ada juga guyonan yang bikin seluruh ruangan pecah tawa. Rasanya, tradisi dan kekinian benar-benar bertemu di satu titik.

Saya jadi berpikir, mungkin inilah yang dimaksud pertemuan dua hal yang sama-sama menguntungkan: generasi yang ingin kembali ke akar, dan akar budaya yang mau mendekat ke generasi baru. Wayang topeng Malangan malam itu bukan sekadar pertunjukan seni, tapi juga jembatan antara masa lalu dan masa kini. Tradisi tidak lagi terasa jauh dan kaku, tapi justru hadir dengan wajah baru yang lebih segar, lebih dekat, dan tentu saja, lebih Instagramable.

Taman Krida Budaya malam ini benar-benar jadi ruang pertemuan lintas generasi. Anak-anak muda yang biasanya sibuk dengan gadget, malam itu justru sibuk mengabadikan budaya. Para seniman yang biasanya tampil di depan penonton “serius”, malam itu justru tampil di hadapan penonton yang ekspresif, interaktif, dan kadang sedikit heboh. Tapi di situlah letak keindahannya: budaya memang semestinya dinamis, saling berdialog dengan yang mau merayakannya—dengan cara apapun.

Jadi, buat kamu yang masih ragu datang ke “acara budaya” karena takut “nggak nyambung”, coba deh sekali-sekali datang. Siapa tahu, kamu malah menemukan akar yang selama ini kamu cari, di tempat yang nggak pernah kamu duga. Siapa tahu, kamu juga jadi bagian dari generasi yang kembali ke akar—dengan cara yang kekinian.

Dan malam itu, saya belajar satu hal: budaya dan generasi muda ternyata bisa akur, asal keduanya mau saling mendekat. Tradisi bisa tetap hidup, selama kita mau membuka ruang—dan hati—untuk merayakannya bersama.

Klana vs Panji

More From Author

Macbook Air Ketumpahan Air? Mungkin Ada Solusinya?

“Hari sial tidak ada di kalender,” begitu kata teman saya Ounu ketika kami makan siang…

Kitab Omong Kosong: Kisahnya Kisah-kisah

Kitab Omong Kosong karya SENO Gumira Ajidarma ini kaya dengan kisah-kisah kecil yang tersebar di…

Teori Penerjemahan dan Terjemahan Puisi Shastra Deo

Beberapa waktu terakhir ini saya mengulik teori-teori penerjemahan sastra, khususnya untuk penerjemahan puisi. Ada beberapa…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *